Menjadi seorang koki disebuah restoran ternama di kotanya, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi Ayra. Dia bisa dikenal banyak orang karena keahliannya dalam mengolah masakan.
Akan tetapi kesuksesan karirnya berbanding terbalik dengan kehidupan aslinya yang begitu menyedihkan. Ia selalu dimanfaatkan oleh suami dan mertuanya. Mereka menjadikan Ayra sebagai tulang punggung untuk menghidupi keluarganya.
Hingga suatu hari, ia dipertemukan dengan seorang pria kaya raya bernama Daniel yang terkenal dingin dan kejam. Ayra dipaksa menjadi koki pribadi Daniel dan harus memenuhi selera makan Daniel. Ia dituntut untuk membuat menu masakan yang dapat menggugah selera Daniel. Jika makanan itu tidak enak atau tidak disukai Daniel, maka Ayra akan mendapatkan hukuman.
Bagaimana kah kisah Ayra selanjutnya?
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu_ Melani_sunja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maya berkhianat
Rayyan dibawa ke rumah Bram, di sana ia dipukuli dipaksa untuk mengakui segala perbuatannya.
Namun, Rayyan tetap bersikukuh, jika dia tidak melakukan apapun.
"Cepat katakan!! Atau kau ku paksa untuk mengakui dengan kekerasan, yang tak akan pernah kau lupakan seumur hidup mu!" hardik Bram.
"Aku tidak tahu apa-apa!!" jawab Rayyan sambil terengah-engah.
Daniel datang membawa cambuk ditangan, sementara Ayra sengaja masih di dalam mobil, ia tak diperkenankan untuk masuk dahulu.
"Bagaimana Bram? Apa dia sudah mengakui?"
Bram menggeleng sambil terus menatap wajah Rayyan.
Daniel mengangkat cambuknya, lalu melayangkan ke tubuh Rayyan berulangkali.
"Cetar...cetar...!" suara cambukan itu terdengar sangat memilukan.
Namun Rayyan masih juga belum mau mengakui segala perbuatannya.
Dari dalam kamar, Maya yang melihat kejadian itu, segera mengarahkan kamera untuk merekam kejadian penyiksaan itu.
Selesai merekam, ia tertegun, terdiam duduk di tepi ranjang sambil menggenggam ponselnya.
"Apa yang kulakukan? Kalau sampai rekaman ini sampai ke tangan tuan Steven, Bram pasti akan mendapatkan masalah, dia telah banyak membantu ku..." batinnya bimbang.
Ia menatap anaknya yang masih terlelap, matanya berkaca-kaca sambil terus meremas ponselnya.
"Tapi kalau aku kirimkan video ini, aku akan mendapatkan uang yang banyak, setelah itu aku akan pergi dari ini dan memulai hidup baru," ucapnya lagi.
Ia menatap ponselnya, mencari nomor Steven yang masih ia simpan.
Hatinya kembali bimbang, antara yakin dan tidak akan melakukan pengkhianat itu.
"Aku rasa aku sudah melakukan yang benar, aku akan coba bernegosiasi dengan tuan Steven, aku yakin dia mau memberiku imbalan yang besar padaku. Setelah ini aku tidak perlu lagi berada di sini, merepotkan Bram.Bram pasti bisa menyelamatkan diri, aku tahu dia sangat cerdik. Dengan begini aku bisa membalaskan dendam ku pada tuan Daniel yang telah menghina ku!!" ucapnya, kali ini nampak sorot mata Maya penuh keyakinan.
ia segera mengirimkan pesan pada Steven. Setelah saling balas pesan cukup lama, akhirnya Steven mau mengirimkan sejumlah uang pada Maya, dengan imbalan video penyiksaan Rayyan yang dilakukan oleh Daniel.
Tak lama, adanya notif masuk ke ponselnya, Maya tersenyum bahagia, menatap nominal yang cukup besar telah masuk kedalam rekeningnya.
Maya segera mengambil tas, ia tatap anaknya sejenak, lalu mendekat.
"Maafkan aku! Bukan aku tak peduli padamu, tapi kehadiran mu telah banyak membawa keterpurukan untuk ku, aku sudah kesulitan karena mu selama ini, aku harap akan ada yang menemukan mu di sini dan membawa mu pergi," ucapnya lalu bergegas melangkah menuju jendela.
Maya membuka jendela kamarnya, ia tatap anaknya sekali lagi, lalu keluar dari jendela tanpa membawa anaknya.
Ia berjalan mengendap-endap, lalu berlari ke semak semak agar tak ketahuan oleh anak buah Bram dan Daniel.
***
Di luar, Rayyan sampai lemas di siksa oleh Daniel. Kedua tangan Daniel pun sampai terluka karena terkena gesekan cambuk yang ia gunakan untuk menyiksa Rayyan.
"Sepertinya percuma kita siksa dia tuan, dia tidak akan pernah mengakui. Bagaimana kalau kita ambil adik dan ibunya juga?!" usul Bram sambil menatap Rayyan yang sudah terkulai lemas.
"Kalau begitu, perintahkan anak buah untuk menculik mereka!" perintah Daniel.
Mendengar itu, seketika Rayyan mendongak, matanya memicing menatap keduanya.
"Kenapa?! Kamu keberatan?? Kalau begitu cepat katakan semua yang kami ketahui!!" bentak Bram lagi.
Rayyan menunduk, lengannya lunglai tak kuasa lagi menahan beban tubuhnya, akhirnya ia tersungkur jatuh ke lantai.
Daniel melemparkan cambuknya, lalu duduk sambil membersihkan telapak tangannya dengan kapas.
"Bawa Ara masuk Bram, dia susah terlalu lama di dalam mobil, biarkan saja dia tahu kondisi suaminya. Lagi pula bukankah dia sudah tidak menginginkan pria ini lagi?" ujar Daniel sambil melirik Rayyan.
Mendengar itu, lagi lagi Rayyan menoleh, kedua tangannya mengepal memukul lantai.
Bram tersenyum sekilas lalu keluar menjemput Ayra di dalam mobil.
"Kemana Ayra?!" tanya Bram panik melihat Ayra tak ada di dalam mobil.
"Dia izin ke kamar mandi Bram!" jawab Dito.
"Kamar mandi belakang?" tanya Bram sambil menunjuk ke belakang rumahnya.
"Iya..."
Bram hendak menyusulnya, tapi dari arah belakang, terlihat aura berlari sambil terengah-engah.
"Huh... huh... huh..."
Ayra berhenti di depan Bram, ia membungkuk sambil terus mengatur nafasnya. Ia mengangkat tangannya memberi isyarat agar ia diambilkan alat inhaler miliknya.
"Apa?? Apa yang kamu minta?" tanya Bram kebingungan.
Ayra berulang kali menunjuk hidungnya,
"Ohh dia minta alatnya Bram!" kata Dito.
Ayra mengangguk angguk.
"Di mana alat itu?" Bram kebingungan.
Sambil terus terengah-engah, Ayra berusaha menjawab meskipun kesulitan.
"TAS...!" teriaknya.
Tanpa pikir panjang lagi, Bram membopong tubuh Ayra untuk di bawa masuk ke dalam rumah.
"Ada apa Bram?!" tanya Daniel.
Bram tidak langsung menjawab, ia merebahkan tubuh Ayra di sofa, lalu mencari tas Ayra yang ternyata ada di dapur.
"Heh...! Kenapa kamu? Kenapa bisa sesak lagi?" tanya Daniel.
Ayra hanya menggeleng geleng.
Bram berlari kembali, memberikan alat itu pada Ayra.
"Huuuhhhh..."
Ayra menghirup dalam dalam inhaler tersebut, selang beberapa menit kemudian, ia bisa pulih kembali
"Hari ini aku sudah hampir mati dua kali! Dikejar anjing pria brengsek itu, dan barusan!" kata Ayra menatap Rayyan dengan nafas yang masih naik turun.
Ia beralih menatap Bram Daniel secara bergantian
"Oiya...aku hampir lupa!! Maya...! Maya keluar dari jendela, tapi saat ku panggil dan ku kejar, dia justru lari kedalam semak semak. Aku tidak bisa mengejarnya, karena asma ku kambuh!" kata Ayra.
Bram dan Daniel terkejut, lalu Bram bergegas memeriksa kamar Maya.
Melihat itu, Rayyan tersenyum menyeringai.
"Sial...!! Pergi kemana dia? Kenapa anaknya tak dibawa?" kata Bram.
Ia segera memanggil anak buahnya dan meminta mereka untuk mengejar Maya.
"Aku sudah pernah bilang padamu Bram! Wanita itu wanita licik! Dia pasti akan jadi benalu untuk mu!" ujar Daniel.
"Iya tuan, aku telah salah menilainya, ku pikir dia telah berubah, tapi ternyata dugaan ku salah."
Saat mereka saling berbincang, Ayra berjalan menghampiri Rayyan yang tersungkur di lantai dalam keadaan terikat. Tubuhnya penuh luka dan memar.
Ayra menatapnya, ia merasa sedikit pilu melihat keadaannya.
"Puas kamu!! puas lihat aku begini? Istri macam apa kamu? Tega menjebak suami mu dan bekerja sama dengan mereka!" kata Rayyan tanpa menatap Ayra.
"Sudah sepantasnya kamu mendapatkan ini!! Pria jahat seperti mu memang tidak sepantasnya hidup!!" balas Ayra lalu berbalik.
"Mau dikasihani, malah nyolot!" ucapnya lagi.
Tak membutuhkan waktu lama, anak buah Bram sudah kembali sambil menyeret Maya ke hadapan Daniel dan Bram.
Bram tak banyak bicara, ia rebut tas Maya lalu mengambil ponsel.
Ia periksa semua isi ponselnya tersebut.
Bram sangat terkejut membaca pesan Maya dengan Steven. Wajah bram seketika memerah.
Maya segera merangkul kaki Bram dan memohon ampun kepada-nya.
"Ampuni aku Bram? Ku mohon ampuni aku! Aku khilaf Bram...!" rengeknya.
"Bruuugh..." Bram menendang tubuh Maya dengan kuat.
Ayra reflek hendak menolong Maya, namun tangannya ditahan oleh Bram.
Daniel tidak banyak bertindak, ia hanya duduk sambil menyilangkan kaki menontonnya.
"Bram..." ucap Ayra lirih.
"Biarkan...!" jawab Bram dengan tegas.
Ayra terpaksa diam, ia takut melihat Bram yang nampak benar benar telah murka. Padahal sebelumnya ia tak pernah melihat Bram semarah itu, apalagi pada seorang wanita.