Eirene, seorang model ternama, karena kesalahannya pada malam yang seharusnya dapat membuat karirnya semakin di puncak malah menyeretnya ke dalam pusara masalah baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, menjadi istri seorang tentara marinir.
Rayyan, anak kedua dari 3 bersaudara ini adalah seorang prajurit angkatan laut marinir berpangkat kapten, bukan hanya sederet prestasi namun setumpuk gelar playboy dan keluarganya turut melekat di belakang namanya. Tak sangka acara ulang tahun yang seharusnya ia datangi membawa Rayyan menemui sang calon penghuni tetap dermaga hati.
"Pergilah sejauh ukuran luas samudera, tunaikan janji bakti dan pulanglah saat kamu rindu, karena akulah dermaga tempat hatimu bersandar, marinir,"
-Eirene Michaela Larasati-
"Sejauh apapun aku berlayar, pada akhirnya semua perasaan akan berlabuh di kamu, karena kamu adalah dermaga hatiku."
-Teuku Al-Rayyan Ananta-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TANDA TANYA BESAR
Tanpa Eirene tau, di balik pintu kamar mandi itu Rayyan sedang berbunga-bunga, sampai-sampai bunganya bisa ia jual ke florist. Hidungnya sudah kembang kempis kaya uang belanja di akhir bulan. Jika saja Eyi tau, kini Rayyan sedang cengar-cengir sendiri mirip orang kebentur, mungkin ia sudah tertawa.
"Annjirrrrr, sosis gue gosong!" umpatnya mematikan kompor. Gejala jatuh cinta mirip gejala sakit jiwa, dan sebentar lagi perwira ini akan menjadi penghuni di dalamnya.
Rayyan telah rapi dengan pakaian dinas lapangannya, sekaligus baret ungu yang terpasang di kepala. Saat ini yang paling Eirene sukai, Rayyan terlihat gagah---no pecicilan, no ban ci-ban ci.
"Nanti siang sepertinya ada junior yang mau masangin lagi mesin pompa air, kemaren mesinnya rusak. Jangan pake baju pendek!" perintahnya sudah turun kaya air hujan, begitu deras nan menghujani.
"Iya," jawab wanita itu tanpa melihat Rayyan, Eirene sedang sibuk membongkar koper-kopernya yang macam walk in closet pribadi, hanya saja ia bingung, harus di taruh dimana semua barang-barang miliknya, kamarnya kali ini begitu sempit.
Mata Rayyan tergerak untuk melihat begitu banyaknya aksesoris yang dimiliki Eirene, pasti harganya mahal, kalo cuci gudang pasti laku!
Awalnya Eirene anteng-anteng saja melihat satu persatu aksesorisnya, namun tak lama wanita itu mendadak muram, terlihat jelas garis kesedihan memayunginya. Dibukanya sebuah kotak perhiasan dimana tersimpan satu gelang miliknya, sepertinya itu lebih spesial karena memiliki tempat tersendiri. Hanya sebuah gelang rantai kecil namun banyak menggantung ornamen kecil-kecil seperti bentuk bintang, love, beruang kecil, dan bulan, juga ada tulisan kecil '*Virgo*' di antara ornamen-ornamen itu.
Eirene mengecup gelang tersebut kemudian memasukkannya kembali ke dalam kotak lalu menyimpannya di atas nakas.
"Ra--y...abang!" ucapnya masih merasa kaku.
Rayyan terkekeh, "it's oke. Seenak kamu saja jika masih kaku! Pelan-pelan oke?"
Eirene berdiri dari tempatnya dan menyentuh dada Rayyan, mengusapnya lembut seraya menyelami warna seragam yang dipakai Rayyan, menyimpan aroma parfum lelakinya diingatan, meski tak sewangi bos parfum tapi cukup membuat dirinya terbius.
...***Kapt. Mar. T. Al-Rayyan***...
Nama itu begitu jelas dibaca Eirene, dengan sejumlah tanda kehormatan di beberapa bagian.
"Nanti siangan, Eyi mau cari pantai terdekat boleh? Bareng honey!" ijinnya, mengusap membersihkan jikalau ada debu yang menempel di seragam kebesaran Rayyan.
"Kamu mau mantai?" tanya Rayyan, Eirene menggeleng.
"Engga, cuma ada kebiasaan setiap tahunnya buat Eyi sama honey," jawab wanita itu.
"Hm, oke. Hati-hati! Jangan terlalu lama di luar, nanti kamu di gondol kucing," kelakarnya demi melihat wanita itu kembali tersenyum, pasalnya sejak moment gelang tadi ia terlihat berduka. Rayyan belum berani bertanya, tapi pasti ia akan bertanya satu waktu nanti. Butuh waktu senggang dan bicara dari hati ke hati untuk menyentuh sisi privasi dari Eirene.
"Ya sudah, abang pergi bertugas dulu!"
"Ya," jawabnya.
*Hati-hati bang Rayyan*. Eirene menatap penuh hangat kepergian Rayyan.
"Mohon ijin melapor kapt!" seorang perwira muda masuk ke dalam ruangan Rayyan, memecah konsentrasi Rayyan yang tengah melihat laporan.
"Ya silahkan,"
"Para perwira sudah bersiap menunggu kedatangan komandan!"
"Ya. Saya bergabung sebentar lagi."
Rayyan ikut beranjak lalu merapikan pakaiannya, tak lupa ia mengunci pintu ruangan. Dan berjalan tegap ke arah ruang rapat.
"Cie! Manten baru, sampe lupa sama teman!" Langit ikut berjalan berdampingan dengan Rayyan, begitupun Pramudya.
"Liat----liat! Muka loe mirip kap mobil baru di semir! Kinclong!" tawa mereka menggoda.
"Nikah sono! Biar mukanya secerah sinar patromak! Biar ngga cuma ngintipin orang pacaran!" Rayyan mengusap kasar wajah Pramudya.
"Ck, si@lan! Lagi otewe!"
Rayyan mengangkat alisnya, "otewe kemana? Ke hutan, ke jurang, ke kuburan?"
"Otewe terus! Nyali ngga ada!" cibir Langit.
"Kaya yang loe engga aja. Marina apa kabar?!" sarkas Pramudya.
"Baik-baik aja," jawab Langit mencebik.
"Kita ke rumah loe lah Ray! Mau kenalan sama ibu," Pramudya menaik turunkan alisnya.
"Kan udah kenal, bini gue takut kadal," jawab Rayyan. Langit tertawa, "lah kadal takut, tapi buaya engga?!"
Pramudya menyemburkan tawanya hingga ia memegangi perutnya.
Rayyan dan yang lain sontak berdiri dari kursi serentak setengah menyentak saat seorang Laksamana muda berpangkat Brigadir jendral datang ke ruangan.
Mereka memberi penghormatannya kemudian kembali duduk.
"Hari ini tepat 9 tahun yang lalu kejadian kelam jatuhnya pesawat Hawa Air di perairan tengah, tragedi yang membuat tanah air menangis. Demi menghormati para korban dan prajurit yang gugur. Maka di setiap tanggal ini setiap tahunnya akan selalu diadakan peringatan seperti biasanya."
"Bagaimana para keluarga korban yang ikut?" tanya nya pada salah satu perwira.
"Siap! Sudah bersiap di tempat ndan!"
"Baik kalau begitu, langsung saja. Jangan membuat mereka menunggu!" ia memakai topi kebangaan dan membawa serta tongkat komando-nya.
Derap langkah para perwira itu gagah nan tegap. Tak harus jauh-jauh ke perairan tengah yang memakan jarak berhari-hari, sebagai simbolis mereka akan melakukan tabur bunga di area rute perairan yang dilintasi pesawat naas tersebut saat terbang dulu.
Masih teringat di memory Rayyan saat ia masih bergabung di pasukan Intai Amfibi, membantu pencarian dan pengevakuasian puing-puing bank kai pesawat juga korban. Tapi sayangnya tak ada satupun dari penumpang yang selamat disana, pesawat seperti hilang ditelan lautan tanpa menyisakan apapun selain puing sayap pesawat dan salah satu black box, begitu miris nan menyedihkan. Disanalah hati nuraninya selalu ikut tergerak, dan merasakan hal yang sama dengan pihak keluarga. Alasan kemanusiaan inilah salah satu faktor yang membuatnya ingin menjadi prajurit.
Langit ibukota cukup cerah pagi ini, ada beberapa wartawan yang sudah diam di tempatnya untuk ikut meliput aktivitas ini dengan menggunakan kartu identitas yang sudah berijin.
Beberapa mobil batalyon meluncur ke dermaga pangkalan angkatan laut, dimana sudah ada sekumpulan keluarga korban yang menunggu.
"Ijin melapor! KRI kelas Martadinata sudah siap berlayar!" lapor personel tentara lain.
"Laporan diterima," Rayyan merapikan letak baretnya, bersama personel lainnya ia berjalan masuk ke dalam Anjungan.
"Ray!" seseorang berseru memanggilnya.
"Weheyyy! Mas bro! Apa kabar?" sapa Rayyan membalas jabatan tangannya.
"Bang Esa, apa kabar?!" Langit dan Pramudya ikut bergabung.
"Pram--Lang!"
"Ikut juga bang?"
"Baik alhamdulillah! Yap! Jauh-jauh dari Java ti moer pake acara ngajuin diri, biar bisa ikut acara disini!" jawabnya. Jabatan tangan erat nan hangat sesama rekan kerja, Mayor Esa dipindah tugaskan ke bagian timur Java island setahun yang lalu.
"Wah! Bedalah kalo prajurit yang cinta tanah air," jawab Langit.
"Kejadian ini selalu membekas di sanubari saya! Terlebih tak satupun dari korban bisa kita temukan, ditambah---" ia meredup mengingat salah satu prajurit Intai Amfibi yang ikut gugur dalam misi ini akibat keganasan lautan tanah pertiwi, rekan sekaligus saudara mereka Sersan Anumerta Munaf.
"Bang Munaf sudah tenang di sana, bang!" Rayyan menepuk pundak seniornya ini.
Ia segera menyudahi drama rekan yang merindu, lalu mengganti air mukanya, "yah---kamu benar! Beliau sudah tenang disana, oh ya! Maaf saya tidak hadir di acara pernikahanmu," ucapnya menyesal.
"Ah abang, sayang banget! Ngga bisa liat banyak artis!" seru Pramudya.
"Matamu! Artis---artis, cari jodoh Pram, Lang masa sudah usia segini masih menjomblo! Liat nih prajurit flamboyan kita," imbuhnya menepuk-nepuk bahu Rayyan dengan lirikan mata jahil.
"Mau gimana lagi, belum ada jodohnya bang, belum dikasih hilal sama Allah buat ketemu!" jawab Langit diplomatis, jawaban basa-basi para jomblo abadi.
"Hey, wes---wes! Kerjo-kerjo! Malah gosipan disini, tuh liat jendral sudah akan masuk geladak bersama para keluarga korban!" ujarnya melengos melewati para seniornya.
"Woahhh! Si kamvrettt Rendra!" bang Esa menepuk kepala junior menyebalkan itu sedikit keras sambil tertawa.
Dari tempatnya, Rayyan dapat melihat komandan yang mengobrol bersama para keluarga korban, namun ada satu yang mencuri perhatiannya, seorang pria yang boleh dikatakan sudah berada si usia senja namun masih gagah nan perwira, meskipun ia memakai tongkat sebagai penyanggahnya berdiri tapi postur dan gestur seorang yang memiliki kharisma tak dapat terbantahkan meski ia cacat sekalipun.
Sepertinya mereka berteman karib, karena dari gelagat keduanya yang mengobrol begitu hangat. Sesekali senyum serta pelukan dan jabatan tangan mereka lemparkan satu sama lain.
Rayyan terpaksa harus menghampiri komandan dan memberikan laporan. Langkahnya begitu mantap seiring terisinya deck oleh para keluarga korban, wartawan dan perwakilan pihak maskapai.
"Ijin melapor ndan!"
"KRI kelas Martadinata siap berlayar!" lapor Rayyan.
Perbincangan keduanya terhenti dan mereka menoleh pada Rayyan, ada sorot mata yang dikenali Rayyan di antara wajah keriput nan tua itu, topi bertuliskan angkatan laut terpasang di kepalanya, sebelah kakinya diganti jadi kaki palsu.
"Ton, apa semuanya sudah naik?" tanya Brigjen Samudra melirik ajudannya.
"Siap sudah jendral!"
"Oke," ia mengangguk singkat pada Rayyan pertanda siap untuk berlayar.
"Siap laksanakan!" Rayyan menghormat dan hendak bermanuver balik kanan, namun kakinya sempat membeku saat melihat sesuatu yang bersinar nan berkilau yang melingkar di tangan pria itu.
"Gelang yang sama dengan milik Eyi,"
"Ada apa kapten Ray?"
Ia menggeleng, "siap! Tidak ada apa-apa ndan!" Rayyan berjalan kembali menuju Anjungan sepaket tanda tanya besar di kepalanya.
.
.
.
.