NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa / Wanita Karir / Romantis / Cinta setelah menikah / Balas Dendam
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sindi kembali Berulah

Pagi itu udara terasa sejuk, mentari baru saja naik dari ufuk timur. Cantika dan Bu Hasna sudah rapi bersiap untuk berangkat ke rumah sakit.

Hari ini adalah jadwal rutin cuci darah Bu Hasna, ritual mingguan yang selalu mereka jalani bersama.

Namun kali ini ada yang berbeda.

Wajah Bu Hasna tampak lebih segar dari biasanya, senyumnya lebih cerah, dan matanya berkilau bahagia. Sejak pulang dari pantai kemarin, aura hidup seolah kembali menyelimuti dirinya.

“Ayo, Bu. Berangkat, yuk. Taxi-nya udah datang,” ujar Cantika riang sambil mengambil tas kecil berisi perlengkapan ibunya.

Bu Hasna mengangguk, melangkah perlahan. Cantika segera menggandeng tangan ibunya dengan lembut, seolah takut hembusan angin pun membuatnya goyah.

Sesampainya di rumah sakit, suasana masih cukup lengang. Cantika langsung menuju meja pendaftaran, lalu mereka duduk menunggu giliran.

“Ibu minum dulu, ya. Pasti haus setelah di jalan.”

Cantika membuka tutup botol dan menyodorkannya pada sang ibu.

Bu Hasna menerima dengan senyum, meneguk sedikit demi sedikit. “Tumben lama, ya, Tik. Biasanya cepet.”

“Mungkin pasiennya lagi banyak, Bu,” jawab Cantika lembut.

Bu Hasna hanya mengangguk, menatap sekeliling ruangan yang penuh aktivitas.

Beberapa menit kemudian, suara perawat memanggil nama mereka. Cantika segera berdiri, menggandeng ibunya masuk ke ruang dokter Arkana.

“Selamat pagi, Dok,” sapa Cantika sopan.

Dokter Arkana yang tengah menulis resep mendongak. Senyum ramah langsung merekah di wajahnya.

“Pagi, Cantika. Pagi juga, Bu Hasna.”

Bu Hasna membalas senyum itu dan duduk di kursi pasien, sementara Cantika duduk di sampingnya. Arkana menuntaskan tulisannya, menyerahkan resep itu kepada perawat.

“Resep ini untuk pasien sebelumnya, Sus,” ucapnya tenang.

“Baik, Dok,” jawab sang perawat sebelum keluar ruangan.

Kini perhatian Arkana sepenuhnya tertuju pada Bu Hasna.

“Bagaimana, Bu? Setelah beberapa kali cuci darah, masih sering merasa pusing atau mual?” tanyanya sambil memeriksa detak jantung dengan stetoskop.

“Ya, sesekali masih ada yang sakit, Dok. Tapi gak separah dulu,” jawab Bu Hasna jujur.

Arkana mengangguk kecil. “Syukurlah, berarti ada kemajuan. Nanti setelah ini kita lanjut ke ruang hemodialisa, ya.”

Ia membantu Bu Hasna berdiri, tangannya sigap namun penuh kehati-hatian. Dari belakang, Cantika memperhatikan dengan senyum lembut. Ada rasa syukur sekaligus kagum dalam pandangannya, melihat dokter yang begitu sabar dan penuh perhatian pada ibunya.

Senyum Cantika merekah pelan, memantulkan sinar hangat dari pagi yang tenang.

Selesai menjalani cuci darah, Bu Hasna beristirahat di ruang tunggu sementara Cantika kembali menemui dokter Arkana untuk mengambil resep obat.

“Ini, Tika,” kata Arkana sambil menuliskan sesuatu di lembar resep. “Obat ini harus ditebus, ya. Diminum sesuai petunjuk biar kondisi Ibu tetap stabil.”

Cantika menerima resep itu dengan senyum lembut. “Iya, Dok. Terima kasih banyak. Kalau begitu saya pamit dulu, ya.”

Arkana mengangguk, namun baru saja Cantika melangkah menuju pintu, suaranya terdengar lagi.

“Tika!”

Cantika berhenti, menoleh. “Iya, Dok? Ada yang tertinggal?”

Arkana tampak sedikit kikuk, tapi matanya tetap menatap Cantika. “Malam ini kamu sibuk nggak?”

Cantika sempat berpikir sejenak. “Hmm... kayaknya enggak, sih.”

“Alhamdulillah,” ucap Arkana spontan. Nada suaranya terdengar lega, terlalu lega, hingga membuat Cantika menatapnya bingung.

“Ehh... maksud saya,” Arkana buru-buru menambahkan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “biar aku bisa main ke rumah, sekalian lihat kondisi Bu Hasna.”

Cantika terkekeh kecil, menahan senyum. “Dokter bisa datang kapan saja. Pintu rumah saya selalu terbuka lebar untuk dokter Arkana.”

Senyum muncul di wajah Arkana, hangat, tapi menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalitas seorang dokter.

“Oke,” katanya pelan, “kalau begitu, tunggu aku malam ini.”

Cantika hanya mengangguk, bibirnya tersenyum samar sebelum melangkah keluar dari ruangan.

Di koridor, ia segera menghampiri Bu Hasna yang duduk menunggu sambil memijat pelipisnya.

“Ayo, Bu, kita tebus obatnya dulu, ya.”

Bu Hasna mengangguk pelan. “Iya, Nak. Ibu masih agak pusing dikit, tapi gak apa-apa.”

Cantika menggenggam tangan ibunya dengan lembut. “Pelan-pelan aja, Bu. Nanti Tika bantu.”

Mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong rumah sakit yang ramai. Hingga mereka berhenti di apotik yang tersedia di rumah sakit.

Obat sudah di tangan. Cantika menuntun ibunya perlahan menuju pintu keluar rumah sakit. Udara siang terasa panas, tapi hati Cantika terasa hangat, ia hanya ingin segera sampai rumah dan membiarkan ibunya beristirahat.

Namun langkah mereka terhenti begitu saja ketika sosok yang paling ingin Cantika hindari tiba-tiba muncul di area parkiran.

Sindi.

Wajahnya menampilkan senyum licik yang penuh sindiran, seolah sudah menyiapkan sesuatu yang busuk.

“Hai, Cantika,” sapa Sindi manis, terlalu manis, sampai terasa pahit.

Cantika menatapnya tajam, matanya penuh kewaspadaan. Ia tahu betul, di balik senyum itu selalu ada niat buruk.

“Selamat, ya,” lanjut Sindi dengan nada menggoda. “Katanya kamu menang olimpiade kemarin. Hebat banget.”

Bu Hasna, yang berdiri di sisi Cantika, menatap bergantian keduanya dengan bingung.

“Temannya Cantika, ya?” tanya Bu Hasna sopan, mencoba mencairkan suasana.

Sindi tersenyum lebar, memainkan rambutnya dengan gaya dibuat-buat.

“Iya, betul, Bu. Saya teman Cantika di kampus... sekaligus di tempat kerjanya juga,” ucapnya, nada suaranya lembut namun penuh racun.

Cantika langsung membulatkan mata. “Apa maksud kamu, Sindi?” suaranya bergetar menahan marah.

Sindi tertawa kecil, pura-pura polos. “Kok tegang sih, Tika? Apa ibu kamu belum tahu pekerjaan kamu yang sebenarnya?”

Ucapan itu membuat Bu Hasna menatap putrinya dengan heran. “Maksudnya apa, Nak?” tanyanya pelan.

Cantika cepat-cepat menggenggam tangan ibunya. “Nggak usah dengar omongannya, Bu. Yuk, kita pulang. Taxi-nya udah datang.”

Namun Sindi menahan mereka, langkahnya menghalangi jalan. “Eits, jangan buru-buru, dong. Aku belum sempat ngasih tahu Ibu kamu siapa kamu sebenarnya.”

Cantika menelan ludah. Tangannya gemetar, tubuhnya kaku. Ia tahu Sindi bisa menghancurkan hidupnya hanya dengan satu kalimat.

Dan benar saja—

“Bu, Cantika itu... LC,” ucap Sindi lantang, dengan senyum penuh kemenangan.

Wajah Cantika langsung pucat. Dunia seolah berhenti berputar.

Bu Hasna menatap Sindi, bingung. “LC?”

“Iya, Bu,” jawab Sindi cepat. “Wanita penghibur. Yang kerja di klub malam buat nemenin laki-laki hidung belang.”

Deg!

Kata-kata itu menghantam seperti petir.

Bu Hasna tertegun, wajahnya mendadak pucat. Tangannya refleks menekan dada, napasnya tersengal.

“Benar itu, Cantika?” suaranya gemetar, nyaris berbisik.

“Bohong, Bu! Dia fitnah Tika!” seru Cantika panik. Ia ingin menyeret ibunya pergi secepat mungkin.

Tapi Sindi tertawa. “Fitnah? Kalau fitnah, kenapa kamu panik begitu?”

Ia membuka ponselnya dan menampilkan sebuah foto, Cantika di klub malam, berpakaian ketat, sedang berbicara dengan Mami Viola.

Wajah Cantika langsung membeku.

“Ibu... Tika bisa jelasin semuanya, tapi sekarang kita pulang dulu, ya,” ujarnya dengan suara serak, menarik tangan ibunya yang masih gemetar.

Bu Hasna tak bicara lagi. Hanya diam, matanya kosong dan wajahnya pucat pasi.

Cantika buru-buru membawanya ke taxi yang sudah menunggu di depan.

Begitu pintu mobil tertutup, Sindi tersenyum puas menatap punggung Cantika yang menjauh.

“Hahaha... rasain, Cantika. Lihat aja nanti. Ibu kamu pasti hancur setelah tahu siapa kamu sebenarnya,” bisiknya, diiringi tawa pelan yang dingin, tawa seorang perempuan yang berhasil menusuk dari belakang.

Begitu taxi berhenti di depan rumah, Bu Hasna langsung turun tanpa menunggu Cantika.

“Bu, Tika bisa jelasin…” suara Cantika bergetar, mencoba menggenggam tangan ibunya, tapi tangan itu ditepis kasar.

Langkah Bu Hasna cepat, walau tubuhnya masih lemah. Ia masuk ke rumah, menurunkan tas, lalu duduk di sofa dengan wajah merah karena amarah yang tertahan.

“Jelaskan, Cantika…” suaranya rendah tapi tajam, membuat dada Cantika sesak.

Cantika langsung berlutut di hadapan ibunya.

“Ibu, maafkan Tika… hiksss…” suaranya pecah, tangisnya pecah di lantai ruang tamu yang hening.

Air mata Bu Hasna menetes pelan. “Kenapa, Nak? Kenapa kamu tega bohong sama ibu?”

“Bu… Tika nggak punya pilihan lain. Gaji di restoran nggak cukup buat biaya rumah sama cuci darah ibu. Tika cuma… pengen ibu sembuh.”

Bu Hasna berdiri, wajahnya menegang, napasnya naik turun.

“Tika… ibu gagal jadi seorang ibu. Ayahmu pasti kecewa, anak yang dulu dia banggakan, sekarang… jadi begini.”

Tangisan Cantika makin keras. “Bu, jangan bilang gitu. Semua ini Tika lakuin buat ibu.”

Namun Bu Hasna menggeleng pelan, air matanya deras.

“Bukan kamu yang salah… tapi ibu. Kalau ibu sehat, kamu nggak akan harus menanggung beban seberat ini.”

“Bu, jangan ngomong gitu…” Cantika memegangi tangan ibunya.

“Lebih baik ibu nggak usah hidup, Tika… daripada terus nyusahin kamu begini…”

“Bu, jangan bilang begitu! Ibu, dengar Tika dulu—”

Belum sempat Cantika menyelesaikan kalimatnya—

Bruuukkkk!

Tubuh Bu Hasna ambruk, tangannya masih mencengkeram dada.

“Ibuuu!!” Cantika menjerit, matanya membesar, panik.

Dia langsung memeluk tubuh ibunya yang terkulai di lantai.

“Ibu bangun, Bu… jangan tinggalin Tika… Ibuuu!”

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!