Gadis yang tidak pernah bahagia di hidup nya satu kali saja pun tidak pernah
Di rumah?di sekolah? sama saja! tidak ada yang mau membahagiakan dirinya
bahkan seolah olah dunia ikut mendukung ketidakberdayaan diri nya,semua...SEMUA SAMA SAJA!! tidak ada yang peduli ! Tidak ada yang mengasihani diri nya, punya keluarga namun seperti hidup sebatangkara
MAURA ZAFINA AMORA, gadis yang mencoba untuk mencari secercah kebahagiaan walupun mustahil bagi diri nya
"Gue ada di sini karna gue masih hidup" Fina mengulas senyum kecil pada sudut bibir nya.
"Tapi gue bisa bikin lo sembuh"
Fina menggeleng pelan dengan senyuman manis nya. "Gua sendiri aja gak pernah bisa, apa yang bikin lo yakin banget bisa nyembuhin gua??"
"Hidup gua udah terlalu rumit dan sial, jangan terlalu deket sama gua atau lo juga bakalan rusak, ini juga demi diri lo sendiri"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alwayscoklat_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
self harm
Arkan terdiam menelan saliva nya dengan kasar, terkejut dengan fakta yang baru saja dia dengar. mempertanyakan, mengapa ada orang tua yang begitu tega mencambuk anak kecil seperti itu hanya karna tak memenuhi ekspektasi mereka??
"gue selalu di bedain sama adik gue, ntah dengan alasan apapun itu. Mereka perlakuin dicky layak nya raja sedangkan gue?" fina menatap Arkan dengan berkaca kaca, lalu menggelengkan kepala nya dengan helaan nafas berat.
"Gue harus selalu rapiin rumah, mau itu gue dalam keadaan sakit, bikin tugas, atau bahkan hampir pingsan karna kecape-an pun mereka gak pernah peduli. Mereka hanya tau rumah harus rapi dan juga bersih."
Arkan menghela nafas nya lagi, tak ada yang bisa di ucapkan untuk merespon Fina untuk saat ini. Dia membiarkan Fina menceritakan keluh kesah nya yang selama ini tak pernah dia sampaikan.
"Gue gak pernah bisa makan di meja makan setiap pagi. Sedangkan adik gue? Dia selalu dapet itu. Makan di meja makan sama kedua orang tua gue. Papa selalu anter dicky ke sekolah sesibuk apapun dia, tapi sama sekali gak pernah antar gue ke sekolah meskipun kita berdua satu sekolah."
Fina mendongak kan kepala nya, melepaskan tangan nya yang ada di genggaman arkan lalu memejamkan mata nya untuk sesaat. Ntah kenapa bercerita pun rasa nya berat.
Hati Fina begitu sakit.
Fina kembali menunduk, menarik sedikit lengan baju nya dan menunjukan luka barcode yang masih tampak merah. Ada beberapa bagian luka yang juga tampak sudah mengering di sana.
"Ini..ini terlalu rusak untuk bisa di perbaiki. Setiap kali permasalahan datang, gue gak bisa handle diri gue sendiri untuk gak nyakitin diri dan nyalahin diri gue sendiri." ucap fina.
Arkan menatap lurus ke luka itu, memandang sendu dan kasian.
"Setiap luka ini terukir, setiap kali itu lah gue bisa ngerasa tenang. Meski ini hanya bagian dari salah satu yang gue lakuin untuk ketenangan mental gue." ucap Fina lagi.
"Lo gak boleh begini Fina, lo bisa lampiasin emosi lo ke gue." Arkan memegang pergelangan tangan Fina dengan erat.
"Gue gak bisa..mental gue kayak nya udah gak bisa di ajak kerja sama arkan." ucap Fina terdengar putus asa.
Dia menunduk untuk kesekian kali nya, merasa malu untuk menceritakan semua nya.
"Setiap kali gue nangis, dada gue terasa sesak. Kepala gue berisik dan gue udah gak bisa kendaliin diri gue sendiri. seakan akan ada bisikan yang ngedorong gue untuk mati berkali kali."
"Fina..."
"Gue juga mau hidup Ar..gue juga capek nyakitin diri gue sendiri. Gue sadar yang gue lakuin itu emang salah, tapi kalo gak kek gitu..gue bakalan kesiksa tanpa pelampiasan." jelas Fina. Nada nya gemetar, sangat jelas bahwa gadis itu menumpahkan keluh kesah nya lewat untaian kalimat yang dia keluarkan.
"Gue barcode, gue narik rambut gue sendiri, gue tinjuin dinding sampe gue gak ngerasa apa apa, gue tenggelemin kepala dalam bak mandi, gue nyubitin diri sendiri kalo gue kesal dan semua bentuk self harm yang bahkan dulu nya gak pernah pengen gue ada di posisi itu." jelas Fina.
Arkan terpaku, mendengar semua yang sudah di alamai oleh Fina. Nafas nya tercekat menatap fina dengan penuh tanda tanya.
Fina membalas tatapan Arkan dengan mata sembabnya, beradu pandang dengan mata Arkan yang penuh sesal. Tanpa sepatah kata, Arkan merengkuh tubuh Fina ke dalam pelukannya. Aroma lavender dari rambut Fina menyeruak, Pelukan itu terasa hangat, namun Fina merasakan sesuatu yang lain. Ada ganjalan, sebuah beban berat yang menekan dadanya. Bukan beban dari pelukan Arkan, melainkan beban dari segala kesedihan yang selama ini ia pikul sendiri. Pelukan itu, alih-alih melegakan, justru membuat dada Fina semakin sesak.
arkan memejamkan mata nya di balik punggung kecil yang menanggung begitu besar beban nya sendirian. Arkan mengelus punggung Fina, Arkan merasa diri nya bodoh, membiarkan gadis nya melalui semua ini sendirian.
"Gue ada di sisi lo. Gue janji." ucap Arkan pelan. Menyesal harus bertemu dengan Fina di saat dia sudah separah ini.
Fina? Fina hanya diam di dalam pelukan itu, tak ada lagi pemberontakan. Fina hanya diam, menikmati setiap sakit di dada nya yang mulai kembali menyerang. Gadis itu merasa sesak, dia tau ini akan terjadi di setiap kali rasa tertekan muncul pada diri nya.
"Gue minta maaf Fina..gue minta maaf." ucap Arkan. Ada penyesalan yang membuncah. Arkan tahu, ia telah datang terlalu akhir. Ia tiba setelah Fina melewati badai sendirian. Ia hadir saat semua luka itu sudah mengering, menyisakan bekas yang takkan pernah bisa hilang.
"Maafkan gue," bisik Arkan, suaranya parau. Penyesalan yang mendalam menggerogoti setiap inci dirinya. "Seharusnya gue ada di sana. Seharusnya gue datang lebih cepat di hidup lo."
Fina tak menjawab. Napasnya terengah, tercekik oleh rasa sakit yang tak terlukiskan. Ia mencoba menggerakkan tangannya, mencoba melepaskan diri dari pelukan Arkan yang terasa begitu menyesakkan. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang dingin. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia harus mengatakan sesuatu, ia harus memberi tahu Arkan.
"gue... gue sesak..." lirih Fina, suaranya nyaris tak terdengar. Ia mencengkeram erat kemeja Arkan, matanya memejam. Sebelum Arkan sempat bereaksi, sebelum ia sempat menyadari, tubuh Fina melemas. Napasnya berhenti. Dan dengan satu tarikan napas terakhir yang terengah, Fina tak sadarkan diri, terkulai di dalam pelukan Arkan.
●●●●●
Lorong rumah sakit yang dingin dan sepi terasa seperti terowongan panjang tanpa ujung bagi Arkan. Suara derit roda brankar yang didorongnya dengan panik memecah keheningan, memantul di dinding-dinding putih yang menjulang. Di atas brankar, Fina terbaring pucat, mata terpejam rapat. Arkan tak henti-hentinya menggenggam tangan Fina yang dingin, bisikan-bisikan doa tak pernah luput dari bibirnya. Detak jantungnya berpacu, seiring dengan kecepatan langkahnya yang tak beraturan.
Sampai di depan pintu ruang UGD, Arkan berhenti sejenak. Tangannya gemetar, sementara napasnya tersengal-sengal. Para perawat dengan sigap mengambil alih brankar dari tangannya, mendorongnya masuk ke dalam ruangan.
Saat pintu itu tertutup, Arkan merasa dunia di sekelilingnya ikut runtuh. Ia hanya bisa melihat melalui celah kaca kecil, menyaksikan bayangan Fina yang semakin menjauh. Ia ingin berteriak, merobohkan pintu itu, dan menggantikan posisi Fina. Namun, ia hanya bisa terdiam, pasrah pada ketidakberdayaan yang menyesakkan.
Rasa khawatir dan gelisah bercampur menjadi satu. Arkan tak bisa duduk tenang. Ia mondar-mandir di depan pintu UGD, setiap detik terasa seperti satu jam. Pikirannya melayang, membayangkan hal-hal terburuk yang bisa terjadi. Wajah Fina yang pucat dan tubuhnya yang lemah terus berputar-putar di kepalanya.
Ia menyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin, memejamkan mata, dan berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Ia ingin segera terbangun dan melihat Fina tersenyum seperti sedia kala. Namun, kenyataan pahit itu tetap di sana, menggerogoti setiap sudut hatinya.
"Maafin gue fina.."