Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penginapan
Pedang itu terangkat tinggi, sinarnya berkilau memantulkan cahaya obor. Putri Minghua menutup mata rapat-rapat, jari-jarinya mencengkeram kain lusuh di tangannya hingga hampir robek. Wei sudah menundukkan tubuh, siap menebas kapan saja bila pedang itu benar-benar menembus tempat persembunyian mereka.
Namun tepat saat ujung pedang hendak bergerak, terdengar suara dari arah lain.
“Cepat! Periksa sisi timur! Aku melihat bayangan bergerak ke sana!”
Prajurit bertopeng itu berhenti, menoleh cepat. Ia mendengus, lalu menurunkan pedangnya. Dengan langkah berat, ia berbalik dan berlari mengikuti yang lain menuju arah timur istana.
Putri Minghua hampir saja roboh karena lega. Tubuhnya masih gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Sanghyun tetap menahan pundaknya agar ia tidak menimbulkan suara. Wei perlahan mengendurkan cengkeraman pada gagang pedang, meski wajahnya masih menegang penuh amarah.
Mereka bertiga—empat dengan Putri Xiaolan—hanya bisa berdiam di balik reruntuhan itu. Waktu berjalan terasa sangat lambat. Suara langkah para prajurit, teriakan, denting pedang, dan pintu-pintu yang dihancurkan terdengar memenuhi udara.
Setiap kali suara itu semakin dekat, jantung Putri Minghua berdegup kencang, seakan hendak meloncat keluar dari dadanya. Ia bahkan harus menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah, hanya agar tidak menjerit.
Beberapa kali cahaya obor melewati dekat mereka, bayangannya hampir menyapu tempat persembunyian. Tapi untunglah reruntuhan tiang marmer itu cukup besar untuk menutupi mereka.
Akhirnya, setelah waktu yang terasa seperti selamanya, suara itu perlahan menjauh. Derap langkah bergema ke arah luar istana.
Sanghyun tidak langsung bergerak. Ia menunggu, memastikan tak ada satu pun dari mereka yang tertinggal. Hanya ketika keheningan benar-benar kembali, ia menarik napas panjang.
“Mereka sudah pergi,” bisiknya, suaranya serak menahan tegang.
Putri Minghua menurunkan tangannya dari mulut. Napasnya terengah-engah, seakan paru-parunya baru saja dilepaskan dari genggaman besi. Air mata mengalir di pipinya, kali ini bukan hanya karena ngeri, tapi juga karena kesedihan mendalam melihat pelayan yang tewas begitu saja.
Wei menghantam reruntuhan dengan kepalan tangan. “Kalau bukan karena kita harus menyelamatkanmu, Putri Minghua… aku sudah membunuh mereka satu per satu.”
Sanghyun menatapnya tegas. “Justru karena itu kau harus menahan diri. Hidup Putri Minghua jauh lebih penting daripada amarahmu sekarang.”
Wei terdiam, meski rahangnya masih mengeras.
Di sisi lain, Putri Xiaolan menunduk. Bahunya berguncang kecil, tangannya yang masih berlumur noda darah bekas luka menggenggam kain jubahnya sendiri. Ia berusaha keras menahan air mata, tapi akhirnya menyerah. Tetesan demi tetesan jatuh membasahi lantai berdebu.
Putri Minghua, meski masih gemetar, segera menghampiri adiknya. Ia memegang kedua bahunya lembut. “Xiaolan… kau terluka. Jangan paksa dirimu.”
Putri Xiaolan menggeleng, suaranya parau. “Aku… bukan lukaku yang membuatku menangis, Kak. Aku hanya… aku hanya tidak mengerti… mengapa Ayahanda tega ingin menjadikanku sepir untuk kaisar tua itu… hanya demi kekuasaan.”
Putri Minghua terdiam. Kata-kata adiknya menusuk hatinya seperti belati.
Putri Xiaolan menatapnya, mata berkaca-kaca. “Aku masih muda, Kak… tapi ayahanda memaksaku… duduk di sisi lelaki yang bahkan seumur ayah. Setiap kali aku ingat… rasanya tubuhku kotor, hatiku hancur. Dan sekarang… bahkan istana kita pun lenyap. Apa arti semua ini?”
Tangisannya pecah. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar tak terkendali.
Putri Minghua memeluknya erat, menahan air matanya sendiri agar tetap kuat di hadapan sang adik. “Xiaolan… kau tidak kotor. Kau tidak bersalah. Semua ini adalah permainan orang dewasa yang rakus dan haus kuasa. Kau hanyalah korban. Dan aku bersumpah… aku tidak akan membiarkanmu sendirian lagi.”
Pelukan itu erat, penuh luka dan janji yang berat. Wei menundukkan kepala, sorot matanya melembut meski amarah masih membara. Sanghyun sendiri memalingkan wajah, memberi mereka ruang untuk meluapkan emosi.
Putri Minghua mengusap rambut adiknya lembut. “Dengarkan aku, Xiaolan. Kita mungkin telah kehilangan segalanya—istana, keluarga, nama baik. Tapi aku masih punya kau. Dan kau masih punya aku. Selama kita bersama, kita masih bisa bertahan… dan menemukan kebenaran. Aku berjanji, suatu hari, kau akan bebas dari semua belenggu itu.”
Putri Xiaolan menggenggam erat lengan kakaknya, seolah pegangan hidup satu-satunya. “Jangan tinggalkan aku lagi, Kak…”
Putri Minghua tersenyum samar, meski air mata menetes di pipinya. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Xiaolan. Tidak lagi. Mulai sekarang, kita berjalan bersama.”
Keheningan kembali menyelimuti reruntuhan itu, hanya disertai isakan pelan Putri Xiaolan dan desah napas berat Putri Minghua. Tapi di balik rasa takut yang masih menyelimuti, ada tekad baru yang mulai tumbuh—tekad untuk bertahan, melawan, dan menemukan kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Malam semakin larut, langit ditutupi awan kelabu, menyembunyikan cahaya bulan. Sisa api dari istana yang terbakar masih mengepul di kejauhan, aroma asap dan darah bercampur menyesakkan dada. Mereka berempat melangkah pelan, meninggalkan reruntuhan yang dahulu menjadi rumah mereka.
Sanghyun berjalan paling depan, pedangnya selalu siaga di tangan, tatapannya awas mengamati setiap sudut jalan yang mereka lalui. Putri Minghua berjalan di belakangnya sambil menggenggam kain bercorak naga bermahkota erat-erat, seakan benda itu adalah satu-satunya peta yang bisa menuntunnya.
Wei memilih berjalan di sisi Putri Xiaolan. Sesekali ia melirik gadis itu—wajahnya masih pucat, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Meskipun tubuhnya lemah, Putri Xiaolan berusaha tegar, melangkah tanpa suara agar tidak merepotkan. Namun Wei tahu, di dalam dirinya, luka itu masih terlalu dalam.
Wei mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lirih namun hangat. “Xiaolan… jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau sudah cukup kuat untuk bertahan sejauh ini. Itu saja sudah membuatku bangga.”
Putri Xiaolan menunduk, ujung bibirnya bergetar. “Aku… tidak merasa kuat, Wei. Aku hanya mengikuti kakak. Kalau aku sendirian… aku mungkin sudah menyerah.”
Wei tersenyum tipis, meski matanya basah. “Dan aku tidak akan membiarkanmu sendirian. Kau tahu, kan? Selama aku masih bernafas, aku akan berjalan di sampingmu. Apa pun yang terjadi.”
Ucapan itu membuat Putri Xiaolan menoleh padanya. Ada sinar kecil di matanya, meski diselimuti kesedihan. “Kau… sungguh akan tetap di sisiku? Bahkan jika aku akan di buang oleh ayah, tanpa apa-apa lagi?”
Wei berhenti sejenak, menatap dalam ke arah matanya. “Xiaolan… bagiku, kau bukan hanya seorang putri. Kau adalah satu-satunya alasan aku tetap bertahan hidup dalam kekacauan ini. Aku tidak peduli dunia menganggapmu apa. Di mataku… kau adalah segalanya.”
Mata Putri Xiaolan berkaca-kaca lagi, namun kali ini bukan hanya karena sedih. Ada kehangatan yang menelusup di sela-sela luka. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Wei erat-erat. Wei membiarkan genggaman itu, bahkan membalasnya dengan lembut.
Putri Minghua yang berjalan di depan mereka sempat menoleh. Melihat kebersamaan itu, hatinya sedikit lega. Meski dunia seakan runtuh, setidaknya adiknya masih memiliki seseorang yang benar-benar tulus menjaganya.
Perjalanan mereka panjang. Melewati jalanan sepi yang dipenuhi reruntuhan rumah warga, pepohonan gelap yang bergoyang tertiup angin malam, hingga ladang kering yang hanya diterangi cahaya obor kecil yang mereka bawa.
Sesekali terdengar lolongan serigala di kejauhan, membuat Putri Minghua merapatkan selendang tipis di bahunya. Tapi Sanghyun selalu berjalan sigap, pandangannya tajam, seakan tubuhnya sendiri adalah benteng bagi mereka semua.
Setelah berjam-jam berjalan, akhirnya di kejauhan tampak cahaya samar. Sebuah rumah kayu kecil, berdiri sendirian di tepi jalan setapak. Asap tipis keluar dari cerobongnya, tanda masih ada kehidupan di dalam.
“Penginapan,” gumam Sanghyun lirih.
Mereka mendekat hati-hati. Ternyata benar, itu sebuah penginapan sederhana, mungkin milik warga desa. Bangunannya tidak besar, hanya satu lantai dengan beberapa kamar di dalamnya. Atapnya ditambal seadanya, namun setidaknya cukup untuk berteduh dari dinginnya malam.
Seorang lelaki tua keluar menyambut, menatap mereka dengan rasa curiga. “Kalian… pendatang dari mana? Malam-malam begini?”
Sanghyun maju, menundukkan kepala sopan. “Kami hanya pengembara. Kami butuh tempat untuk beristirahat. Kami akan membayar.”
Lelaki itu memperhatikan mereka satu per satu. Matanya berhenti sejenak pada Putri Minghua dan Putri Xiaolan, seakan merasakan ada sesuatu yang berbeda dari penampilan mereka, tapi ia tidak bertanya lebih jauh. Mungkin ia sudah cukup bijak untuk tidak mencampuri urusan orang asing.
Akhirnya, ia mengangguk. “Baiklah. Ada dua kamar kosong. Tidak besar, tapi cukup hangat.”
Mereka pun masuk. Suasana di dalam penginapan itu sederhana, dengan lantai kayu berderit dan dinding berasap bekas tungku. Namun bagi mereka yang hampir mati tadi, tempat itu terasa seperti surga.
Putri Xiaolan duduk di sudut ranjang kayu, wajahnya lelah. Wei segera menutup pintu kamar, lalu duduk di sampingnya. Ia meraih tangan Putri Xiaolan, mengusapnya lembut.
“Tidurlah. Aku akan berjaga di sisimu,” ucapnya pelan.
Putri Xiaolan menoleh, suaranya bergetar. “Wei… terima kasih. Jika bukan karena kau… mungkin aku sudah hancur.”
Wei tersenyum, lalu menepuk bahunya perlahan. “Kau tidak akan hancur. Selama aku ada, kau akan selalu utuh.”
Putri Minghua yang berada di kamar sebelah bisa mendengar suara lirih adiknya. Ia menutup matanya sejenak, menahan air mata. Di dalam hatinya, ia bersyukur Putri Xiaolan memiliki Wei. Namun sekaligus, tanggung jawab besar semakin menekan dadanya—ia harus menemukan kebenaran di kuil barat itu. Karena hanya dengan itu, mereka bisa berhenti hidup dalam pelarian.
Malam itu, di penginapan kecil yang remang, mereka akhirnya bisa beristirahat. Tapi di balik keheningan itu, hati mereka masih dipenuhi luka, janji, dan ketakutan yang belum usai.