Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keberadaan 3 Hantu
“Dia terlalu kejam untuk ukuran sesuatu Yang Maha Agung.”
Koridor rumah sakit menjadi saksi atas setiap gerutuan yang meluncur bebas dari bibir Suri. Pertanyaannya soal harga apa yang harus dibayar kepada yang di atas, baru saja dijawab oleh Dean. Lelaki itu bilang Suri harus mulai terbiasa melihat hantu-hantu lain yang tidak serupawan dirinya. Suri harus mempersiapkan mental, kalau-kalau nanti sesosok hantu muncul di hadapannya dengan wujud menyeramkan.
Daripada takut, Suri lebih merasa kesal. Hidupnya seperti sedang dipermainkan oleh yang di atas, yang keberadaannya saja Suri tidak seratus persen yakini.
“Padahal aku hanya bertanya, itu pun karena aku yakin ada hubungannya dengan misi, tapi Dia memintaku membayar harga yang begitu mahal.”
Di depan lift, dia berhenti. Persetan saat Dean bilang mereka sebaiknya lewat tangga darurat seperti biasa. Suri sedang tidak ingin membuang tenaga.
“Bukan begitu,” Dean menyela. Telunjuknya bergerak lebih cepat daripada Suri, menekan tombol lift. “Tapi seperti katamu, karena kau sedang bersinggungan dengan dunia lain, maka kau harus siap dengan pergesekan energi. Setiap pertanyaan yang kau ajukan kepada yang di atas itu seperti jalan pintas, seperti mengeluarkan jawaban dari dimensi lain yang sudah pasti menimbulkan kontak.”
Dean menjeda sejenak, mencondongkan tubuh sedikit ke arah Suri, seakan ingin memastikan ucapannya masuk ke telinga sang gadis dengan jelas. “Nah, dari kontak-kontak tersebut, inderamu otomatis akan menjadi lebih sensitif. Bisa dibilang, kemampuanmu ini baru setengah, makanya hantu-hantu yang kau lihat itu hanya sebagian kecil, itu pun karema memang mereka yang mau menampakkan diri.”
Suri memutar bola mata sebal. “Tetap saja!” serunya, “tidak bisakah Dia sedikit bermurah hati? Apa jadinya hidupku ini kalau setiap pertanyaan harus dibayar mahal? Yang ada nanti aku bukan lagi melihat hantu, tapi malah bergabung dengan mereka.”
"Hush!” Dean mengibaskan tangan di depan wajah Suri. “Jangan bicara melantur. Kau tidak akan bergabung dengan kami, tidak akan pernah.” Ia menggeleng ribut, panik dan khawatir menjadi satu. “Tidak, tidak. Aku tidak akan membiarkannya terjadi.”
Lidah Suri masih begitu gatal ingin memaki, namun denting nyaring disusul terbukanya pintu lift di depan mereka membautnya mau tak mau menahan diri. Menunggu tiga orang keluar dari sana, Suri melangkah masuk dan langsung mengambil posisi di belakang, berdiri di sudut kanan. Dean menyusul kemudian, turut berdiri persis di sampingnya.
“Kalau begitu tidak usah ditanyakan,” kata Suri, seraya berkacak pinggang. Sorot matanya tajam menembus pintu lift yang sudah kembali ditutup. Dirinya beruntung lift dalam keadaan kosong, sehingga bisa melanjutkan kembali ocehannya, mencurahkan kekesalan sampai tuntas ke akar.
“Jangan tanyakan apa pun padanya. Mulai sekarang, aku akan memikirkan semuanya sendiri. Aku akan mencaritahu sendiri jawabannya.”
Dean menarik napas begitu dalam, kemudian mengembuskannya perlahan seraya mengulurkan tangan. Suri meliriknya sekilas, lalu beralih menatap mata Dean dengan sorot tidak suka.
“Apa?” ketusnya.
“Berikan tanganmu,” balas Dean.
“Untuk apa?”
“Berikan saja.”
Karena Dean terus menggerakkan tangan seakan memaksa, Suri akhirnya menyambut uluran tangan tersebut dengan gerakan kasar.
“Sekarang apa?” todongnya.
Jawaban Dean datang dalam bentuk tindakan. Dia meraih jemari Suri lembut, membawanya rekat dalam genggaman yang hangat. Tubuh keduanya semakin rapat, lengan saling menempel dengan perbedaan tinggi yang signifikan.
“Apa-apaan kau ini?” Suri hendak menyentak tangan, memutus gandengan, namun Dean menahan sekuat perasaan.
“Cobalah diam selama beberapa saat. Diam, dan rasakan energiku mengalir perlahan ke dalam tubuhmu melalui gandengan tangan kita ini.”
“Omong kosong lagi,” Suri mencibir. “Energi ap—”
“Coba dulu,” potong Dean cepat.
Suri menyerah. Ia turuti perkataan Dean. Diam, dan perlahan merasakan energi atau apalah itu yang sebenarnya Dean maksud.
Lift masih terus bergerak turun. Dari lantai 12 ke lantai dasar, perjalanan mereka seharusnya tidak lebih dari 2 menit. Tapi Suri rasakan, waktu seakan melambat, dimulai dari saat tangannya bersentuhan dengan tangan Dean.
Aneh, namun Suri justru menemukan ketenangan dari sana. Selama waktu terasa melambat, Suri merasakan kekesalan yang bercokol di dadanya perlahan memudar. Keinginannya untuk mengomel turun pesat. Pun tersisa, kini tidak ada lagi tenaga untuk merealisasikannya. Dean seperti membawanya memasuki dimensi lain, di mana waktu tidak hanya bergerak lebih lambat, tetapi juga memiliki efek healing yang luar biasa hebat.
“Bagaimana? Tidak buruk, kan?”
Suri tidak menjawab, hanya bergerak sedikit, menarik Dean lebih dekat.
Inikah alasannya ingin selalu menggandeng tanganku? Supaya aku tidak marah-marah, huh?
...🍃🍃🍃🍃🍃...
Bising di meja makan perlahan melambat. Sendok di tangan Suri menggantung di udara, ketika baru saja keluar dari mulutnya. Perlahan, Suri meletakkan kembali sendoknya ke atas piring. Kunyahan di dalam mulutnya tergerak lambat, sementara pandangannya mulai berpendar mengitari seluruh sudut dapur.
Dean, yang menyadari ada yang salah, lekas bertanya, “Kenapa?” dengan nada khawatir. Sebab sampai beberapa waktu sebelumnya, Suri masih berceloteh, mengomentari rasa masakan Dean yang katanya lebih enak daripada biasanya. Sang gadis bahkan sempat bercanda, mengatakan hal itu mungkin terjadi karena dirinya terlalu kelaparan.
“Sudah terlalu lama mereka tidak muncul,” kata Suri, suaranya mengalun teramat pelan di saat pandangannya masih menyisir sekitar.
Dean mengernyit. “Mereka siapa?”
Suri berhenti menyapukan pandangan, menatap Dean, tatapannya tampak gusar. “Claire, Kenneth, dan Mirah,” jawabnya, “mereka bertiga sudah tidak muncul lagi sejak kali terakhir Kenneth membuat keributan.”
Dean beroh panjang, kepalanya mengangguk tipis.
“Kau tidak pernah bertemu mereka?” tanya Suri lagi.
“Tidak.”
“Sama sekali?” Dean mengangguk. “Sama sekali.”
Suri mendesah pelan. Selera makannya sekarang sepenuhnya sirna. Perutnya mendadak kenyang. “Kenapa mereka menghilang tanpa berpamitan begini?” gumamnya, nyaris tak terdengar.
Dean, yang telah menyimpan soal ini sejak lama, memutuskan bicara. Dia menegakkan punggungnya, menautkan kedua tangan yang diletakkan di atas meja makan. “Sebenarnya … mereka mungkin sudah tidak ada di rumah ini lagi.”
Suri menyimak dengan sedikit kerutan menghiasi dahi. “Maksudmu?”
“Sedari awal, aku menyadari energiku tidak selaras dengan milik mereka, itu menciptakan ketegangan yang sulit untuk dikompromikan. Jadi kurasa, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi.”
“Bisa begitu? Bukankah mereka lebih dulu ada di rumah ini? Bukannya para hantu biasanya protektif dengan wilayah teritorial mereka?”
“Mereka memang lebih dulu ada di sini,” Dean mengiyakan juga diiringi anggukan. “Hanya saja, karena aku datang membawa misi penting yang melibatkan dirimu, mereka jadi tidak punya pilihan selain mencari tempat lain untuk sementara waktu.”
Mendengar penuturan Dean, Suri tampak sedih. Dean menyadari itu, dan segera menambahkan, “Tapi kau tenang saja, saat misi kita selesai dan aku bisa ke atas, kau akan bertemu lagi dengan mereka.” Tentu, dengan keadaan yang jauh lebih baik.
Bersambung....