Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Mencuri Kesempatan
Sampai di lobi apartemen, Stasia bersiap turun dari mobil. Namun ia heran saat melihat Damar juga membuka pintu.
“Mengapa ikut turun, Dam?” tanyanya bingung.
“Aku mau ikut, Sayang.”
Dahi Stasia berkerut. “Nggak pulang?”
“Kan aku bilang, aku mau habiskan waktu sama Ares.”
“Ares belum datang. Alangkah baiknya kamu pulang dulu.”
“Tapi…”
“Dam… aku mohon. Tidak baik kalau kamu datang saat aku sendirian di apartemen.”
“Aku bisa menunggu Ares di sini.”
“Tidak. Lebih baik kamu pulang, mandi, ganti baju. Tante Rini pasti juga cari kamu.”
Damar terkekeh pelan. “Aku bukan anak kecil yang harus selalu dicari mamanya, Sayang.”
“Aku tahu. Tapi tetap saja, tidak tepat kalau aku biarkan kamu naik sebelum Ares datang.”
Damar mendengus kesal. Stasia malah tersenyum melihatnya.
“Kenapa senyum, Sayang?” Damar melirik dengan tatapan setengah merajuk.
“Kadang aku heran… apa benar di depanku ini CEO Starlight yang dingin dan kaku? Kenapa yang aku lihat justru pria manja, suka ngambek, dan bahkan lebih manja daripada Ares?”
Damar mendengus kesal ekspresi wajahnya jelas tidak terima. “Kamu bilang aku lebih manja dari Ares?”
Stasia mengangguk, tersenyum karena merasa lucu.
“Karena yang di depanku ini kamu, Sayang,” jawab Damar, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. “Kalau orang lain, aku nggak akan bisa begini. Aura kamu itu bikin aku pengen nempel terus.”
Stasia menunduk, wajahnya merona. “Sudah, ah. Aku mau naik. Kamu pulang, ya.”
“Baiklah, aku pulang. Tapi ingat…” Damar menatapnya lekat. “Malam ini aku akan ke sini lagi. Aku janji, aku akan habiskan waktu denganmu dan Ares.”
Stasia menghela napas, setengah kesal, setengah tersipu. “Dasar keras kepala…”
Damar tersenyum lebar, lalu menutup pintu mobil untuknya. Saat Stasia melangkah masuk ke lobi, ia masih bisa merasakan tatapan hangat Damar yang menempel di punggungnya.
***
Damar melangkah dengan senyum yang tak kunjung hilang dari wajahnya. Hatinya tak sabar untuk segera tiba di unit apartemen Stasia. Di tangannya, ia membawa papper bag berisi puding cokelat buatan Mama Rini—oleh-oleh khusus untuk Ares.
Sampai di depan pintu, Damar mengetuk pelan. Tak berapa lama pintu terbuka, membuatnya mengernyit heran. Bukan Stasia yang muncul, melainkan Ares.
“Yey… akhirnya Papa datang!” seru Ares dengan wajah berseri.
Tanpa menunggu lama, Damar masuk dan menutup pintu. Ia langsung menggendong Ares sambil menunjukkan paper bag yang dibawanya.
“Papa bawa oleh-oleh spesial, buatan Oma, khusus untuk Ares.”
“Wah… apa itu, Pa?”
“Hmm… coba tebak dulu,” goda Damar sambil mengangkat kantong kertas itu sedikit tinggi.
Ares melompat kecil, tak sabar. “Ayo, Pa! Kita buka di dalam!”
Damar terkekeh. “Baiklah, ayo kita buka.”
Setelah menurunkan Ares dari gendongan, si kecil langsung meraih tangan Damar dan menariknya menuju ruang tengah. Namun, langkah Damar terhenti sejenak. Matanya menangkap pemandangan yang membuat hatinya berdesir: Stasia tertidur di sofa, televisi masih menyala, dan mainan Ares berserakan di lantai.
“Sejak kapan Mama tidur di situ?” bisik Damar.
“Belum lama,” jawab Ares polos. “Kayaknya Mama capek. Tadi habis makan malam Mama tungguin Ares main sambil menguap terus.”
Damar tersenyum tipis, menatap wajah Stasia yang damai dalam tidurnya. “Kalau begitu, jangan ganggu Mama, ya. Kita main sama Papa saja.”
“Siap, Papa!” sahut Ares penuh semangat.
Mereka berdua menuju dapur. Damar membuka paper bag, mengeluarkan puding cokelat, dan meletakkannya di meja.
“Wah… puding cokelat! Ares suka sekali, Papa!” seru bocah itu dengan mata berbinar.
Damar tersenyum hangat. “Ini buatan Oma. Kata Oma, dia kangen sama Ares.”
“Ares juga kangen Oma. Oma baik sekali, Ares sayang Oma,” ucap Ares polos.
Damar tersenyum. “Kalau sayang Oma, Ares sayang Papa juga, kan?”
“Tentu! Ares juga sayang Papa.”
“Kalau begitu, peluk Papa.”
Ares segera melangkah mendekat lalu memeluk Damar erat. “Papa, terima kasih sudah baik sama Ares dan Mama. Jangan tinggalkan Ares dan Mama, ya… Ares sayang sekali sama Papa.”
Hati Damar bergetar mendengar ucapan polos itu. Ia membalas pelukan Ares dengan penuh rasa. “Papa janji, Papa nggak akan pernah tinggalkan Ares dan Mama.”
“Terima kasih, Papa.”
Damar menghela napas pelan, lalu menatap putranya. “M… tapi, Ares bisa bantu Papa nggak?”
“Bantu apa, Pa?” tanya Ares penasaran.
“Bantu Papa supaya Mama mau menikah sama Papa. Dan pastikan nggak ada laki-laki lain yang bisa dekatin Mama.”
Ares terdiam, menatap bingung. “Apakah Mama nggak mau menikah sama Papa?”
Damar tersenyum miris. “Entahlah… setiap Papa membicarakan soal menikah, Mama selalu diam.”
“Ares akan bantu Papa,” jawab Ares mantap. “Tapi kalau Mama menikah sama Papa, kita akan tinggal bertiga, kan? Sama-sama?”
“Tentu. Setelah Papa dan Mama menikah, kita nggak akan tinggal di apartemen ini lagi. Papa sudah siapkan rumah untuk kita.”
“Mau ada kolam renang, Pa?” mata Ares berbinar.
“Tentu saja. Ares boleh bikin kolam renang, tempat bermain, apa saja yang Ares mau di rumah baru kita nanti.”
“Wah… pasti menyenangkan! Ares akan punya Mama dan Papa, bisa main bareng terus. Benar, kan Pa?”
“Benar sekali, Nak.”
“Yey! Kalau begitu, Ares pasti bantu Papa supaya bisa menikah sama Mama!”
Damar tertawa kecil dan mengacak rambut Ares. Mereka lalu menghabiskan waktu bersama dengan obrolan ringan dan permainan, hingga akhirnya Ares terus menguap—tanda ia sudah sangat mengantuk.
Damar segera menggendongnya, membawanya ke kamar. Setelah memastikan Ares sudah sikat gigi, cuci tangan dan kaki, ia membaringkan bocah kecil itu di tempat tidur.
“Anak Papa sudah siap tidur?”
Ares mengangguk, matanya setengah terpejam. “Apa Papa mau tidur sama Ares? Ares pengen dipeluk Papa.”
“Baiklah, Papa temani.”
Damar pun berbaring di sampingnya, memeluk Ares hingga akhirnya bocah itu tertidur pulas. Sesaat Damar menatap wajah polos itu dengan penuh cinta, lalu perlahan bangkit dan keluar kamar.
Langkahnya membawanya ke ruang tengah. Stasia masih tertidur di sofa, tak bergeming sedikit pun.
Ia putuskan untuk mengangkat tubuh Stasia ke kamarnya dan membaringkannya dengan nyaman.
Damar menunduk, duduk di dekat kepala Stasia. Jemarinya mengusap lembut rambut Stasia. “Apa kamu begitu lelah sampai nggak terbangun sama sekali…” bisiknya pelan.
Tangannya beralih ke pipi Stasia, membelai lembut. Wajah tenang itu membuat dada Damar sesak oleh rasa yang tak bisa ia bendung. Namun beberapa detik kemudian atensi Damar teralihkan pada sesuatu yang berada di leher Stasia.
Senyum Damar merekah. Ia masih ingat benda itu. Ia tidak pernah tahu bahwa Stasia masih menyipan benda itu dengan baik, bahkan memakainya.
“Maaf kalau aku mencuri kesempatan…” ucapnya lirih, suaranya nyaris patah. “Tapi aku janji, aku akan bertanggung jawab atas semua tindakanku padamu.”
Tanpa ragu Damar mencium dahi Stasia begitu lama, meraakan cintanya yang begitu dalam.