Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Panah
Angin sore menyapa daun-daun pepohonan, merayap masuk lewat celah-celah setiap rumah, termasuk penginapan murid Sekte Pedang Azura.
Banxue duduk di tepi pelataran halaman depan. Ia menatap langit yang mulai mengoren.
“Anyu… ternyata dia baik-baik saja,” gumam batinnya. Ia menghela napas; ada rasa sesak di dalam sana, tapi itu tidak tampak mengubah wajahnya.
Tepukan di bahu dari belakang membuyarkan pandangannya. Ia menoleh pelan.
Jingyan.
Banxue kembali menatap langit—langit jingga yang indah—namun matanya kosong, tanpa rasa. Hanya ada sedikit lega, entah mengapa.
“Ada apa, Jingyan…” serunya pelan, menutup mata sementara wajahnya tetap menghadap cakrawala.
Jingyan menuruni dua anak tangga rendah, lalu duduk perlahan di samping Banxue, berjarak satu langkah. Suasana riak aktivitas warga desa tampak sunyi dan damai: sapaan lirih, senyum yang mengambang tenang.
“Banxue, ada yang mengganggumu?” tanya Jingyan, menopang dagunya dengan telapak tangan, matanya seperti tahu banyak tapi memilih diam.
Banxue perlahan mengalihkan pandangannya ke depan tanpa menoleh ke arah Jingyan.
“Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir. Sebelum orang itu mengangguk, mungkin orang itu akan terbunuh sebelum sempat melakukannya,” jawabnya, tatapannya menyapu sekeliling dengan seolah melihat sesuatu yang tak terlihat.
Jingyan menunduk, menyembunyikan wajahnya dalam kelelahan yang tertahan. Ia tahu Banxue sedang mendorongnya menjauh, tapi ia juga tahu Banxue butuh seseorang yang bisa dipercaya.
“Apakah kau akan membunuhku juga jika aku mengganggumu, Banxue?” balasnya, suaranya pasrah, seperti orang yang menyerah pada jarak yang dibuat sahabatnya sendiri.
Sebelum Banxue sempat menjawab, dari arah depan—sekilas, dengan kecepatan tajam—sebuah panah melesat, meluncur di antara keduanya.
Keduanya sontak melompat, berpindah posisi beberapa langkah, sebelum panah itu menancap di dinding kayu penginapan dengan bunyi CRAKK!!
Panah itu tertancap, dan di punggungnya melilit selembar kertas.
Tiga orang keluar dari dalam penginapan: Fengyu, Wayne, dan Linrue. Mereka berdiri di sisi panah, menatap Banxue dan Jingyan yang juga memandangi panah itu. Fengyu melangkah maju dan mencabut panah.
Banxue buru-buru merebut panah dari tangan Fengyu. Ia melepas surat yang terikat di punggungnya dan membukanya perlahan. Ia tak mendengar Fengyu memanggil namanya, tak memperhatikan lagi sekitar—perhatiannya tertambat pada kertas itu.
Isi surat:
Apa kau sungguh Banxue?
Jangan gunakan identitas palsumu untuk membohongi teman-teman yang percaya padamu.
Kau tahu rasanya dikhianati, bukan?
pohon plum
Mata Banxue membelalak. Ia menelan sesuatu yang tak bisa diungkapkan.
“Apa maksud pesan itu? Apa yang mereka ketahui? Atau apakah ada sesuatu yang telah terjadi tanpa aku sadari?” pikirnya, tatapannya kosong, mulutnya diam. Tangan kanannya meremas kertas itu hingga lipatan-lipatnya tertekuk.
Jingyan memperhatikan wajah dan tangan Banxue—ketidakselarasan yang tak biasa. Ia melangkah maju, mendekat.
“Banxue, ada apa? Kenapa kau bereaksi seperti itu?” tanya Jingyan, menepuk bahu Banxue dengan lembut.
Linrue ikut mendekat.
“Banxue, kau tidak apa-apa?” suaranya bergetar tipis, penuh kekhawatiran.
Wayne menimpali, suaranya lebih tegas.
“Kalau ada masalah, bagi pada kami. Jangan kau sembunyikan, Banxue. Kami akan bantu.”
Fengyu melangkah dua langkah, hendak meraih surat itu. Tapi sebelum ia sempat menyentuhnya, Banxue dengan cepat mengangkat satu tangan—dan dengan teknik satu tangannya yang tidak banyak diketahui orang, kertas itu terbakar. Api hitam kecil membias, lalu nyala itu melahap kertas hingga menjadi abu.
Dan Sore itu Sebuah Rahasia yang bahkan Banxue sendiri tak tahu ini berkaitan dengannya soal apa tapi dia tau asal pesan dan panah itu Dari siapa namun dia memilih merahasiakannya .