Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4.
“Mas Syahrul?” gumam Pungki pelan.
Suara itu nyaris tenggelam oleh deru kipas angin tua di langit-langit kamar. Ia cepat-cepat merogoh saku jaketnya, menarik handphone dengan tangan gemetar. Layar menyala sekejap, memantulkan bayangan wajahnya yang tampak pucat, mata sayu, keringat dingin menetes di pelipis, dan napasnya pendek-pendek.
Sementara itu, Windy berdiri di sisi tempat tidur dengan tatapan kosong, rambut gondrong nya menjuntai menutupi sebagian wajah. Udara di kamar itu seperti menebal, seolah ada sesuatu yang mengintai dari setiap sudut gelapnya.
“Kakak Pung Pung tenang saja. Tiduran di tempat tidur, ya. Aku akan mengobati ekor depan Kakak Pung Pung,” ucap Windy santai, suaranya pelan, tapi ada sesuatu yang aneh. Nada bicaranya datar, seperti bukan keluar dari seorang anak kecil.
Pungki menatapnya sebentar, ragu, tapi nyeri di tubuh bagian bawahnya semakin parah. Ia pun melangkah ke tempat tidur. Jaket masih melekat di tubuhnya, kancing baju belum terlepas, tapi dari pinggang ke bawah ia hanya mengenakan pakaian tipis. Ia lalu berbaring perlahan, matanya menatap langit-langit yang penuh bayangan bergerak akibat cahaya lampu yang berkelip.
Windy duduk di ujung ranjang, menghadap bagian bawah tubuh Pungki.
Tatapannya berubah lembut, tapi di balik pupil matanya, seperti ada gerakan samar, seperti sesuatu yang hidup di sana.
“Kakak Pung Pung,” ucap Windy lembut, “kalau aku nanti sudah besar... apa ekor depanku juga bisa besar dan panjang kayak Kakak?”
Pungki tersentak, menoleh dengan dahi berkerut. “Wind... jangan bicara yang aneh-aneh. Cepat, obati dulu. Sakit sekali ini. Kita harus segera ke rumah sakit.”
Windy tersenyum. Namun senyum yang entah kenapa membuat bulu kuduk Pungki berdiri. Tidak biasanya seperti ini. Jantung Pungki berdetak lebih kencang. Keringat dingin mulai keluar dari pori pori tubuhnya.
“Tenang saja, Kakak Pung Pung... biar Wind bantu. Jangan tegang.”
Lalu jin bocil itu menunduk. Bibir mungilnya mendekat ke arah alat vital Pungki dan mulai meniup pelan-pelan.
Tiupannya dingin. Terlalu dingin.
Pungki menahan napas. Rasa sakitnya memang berkurang... tapi kemudian muncul sensasi lain. Seperti ada sesuatu yang merayap di bawah kulit, menggelitik urat-urat, lalu menusuk tajam hingga ke perut bawah. Ia meringis keras.
“W-Windy... hentikan...” suaranya lemah, hampir tak terdengar.
Windy berhenti, tapi tidak menjauh. Ia mendongak, menatap Pungki.
Kini bola matanya berubah... bukan lagi hitam, melainkan kelabu pucat seperti kaca berembun. Bibirnya bergerak, tapi suara yang keluar bukan lagi milik anak kecil.
“Sudah terlambat, Kakak Pung Pung...”
Suara itu berat, serak, seperti dua suara bercampur menjadi satu.
Dan seketika seluruh ruangan menjadi gelap. Windy pun hilang lenyap..
🏥🏥🏥
Sementara itu, di rumah sakit swasta yang masih menyala terang di tengah dini hari yang sepi, suasana mencekam terasa kental.
Lorong menuju ruang ICU panjang dan sunyi, hanya terdengar suara sepatu Pak Hasto yang mondar-mandir di lantai keramik yang dingin.
Fatima dan Ndaru masih di dalam ruang ICU, terbaring tak sadarkan diri. Lampu-lampu monitor berkelap-kelip, memantulkan cahaya hijau di wajah mereka yang pucat. Bunyi beep mesin terdengar teratur, tapi di telinga orang tua mereka, suara itu seperti detik jam yang semakin cepat, menghitung waktu menuju akhir yang tak mereka mengerti.
Di kursi tunggu, Bu Hasto memegang tasbih erat-erat. Jemarinya gemetar. Bibirnya terus bergetar melafalkan doa, tapi matanya basah, tak fokus. Di sampingnya, Anisa duduk diam, wajahnya pucat pasi, hanya sesekali menarik napas panjang untuk menahan tangis yang ingin pecah.
“Ma, Pungki kok belum datang-datang ya?” tanya Pak Hasto pelan, suaranya parau. Ia berhenti mondar-mandir, lalu duduk di samping istrinya.
Bu Hasto menatapnya dengan mata lelah. “Sabar, Pa... mungkin masih di jalan. Coba telepon Mas Syahrul, mungkin bisa bantu. Atau siapa tahu Pungki bareng dia.”
Pak Hasto mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya. Ia menekan nomor Syahrul. Tak ada nada sambung. Ia mencoba lagi. Namun tetap hening.
Kemudian ia mencoba nomor Pungki. Kali ini ada nada sambung... tapi tidak diangkat.
“Kenapa tidak diangkat...” gumamnya, menatap layar yang kini hitam lagi.
“Dini hari, jalan sepi... seharusnya sudah sampai. Apalagi kalau datang memakai popok Windy, hanya dalam kedipan mata langsung sampai. “
Pintu ICU tiba-tiba terbuka. Seseorang keluar. Dokter keluarga mereka, masih memakai jas putih, tapi wajahnya tampak tegang. Pelipisnya berkeringat, masker diturunkan ke dagu, napasnya berat.
“Bagaimana, Dok?” tanya Pak Hasto cepat.
Dokter mengusap wajahnya dengan tangan gemetar. “Kami sudah periksa hasil laboratorium... ditemukan mikroorganisme asing di alat vital Mas Ndaru dan Mbak Fatima.”
Sunyi.
Hanya suara beep dari dalam yang terdengar samar.
“Dok... tolong sembuhkan anak-anak kami,” ucap Pak Hasto dan Bu Hasto hampir bersamaan, suara mereka pecah.
Dokter menatap mereka penuh iba. “Kami akan berusaha, tapi... saya harus beri tahu, Mbak Fatima dalam kondisi hamil muda. Sangat muda. Pengobatan yang kami lakukan bisa berisiko pada janinnya.”
Bu Hasto menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak. “Ya Allah... cucu kami...”
“Kalau pengobatan dihentikan,” lanjut dokter, “mikroorganisme itu bisa menyebar ke rahim. Kalau diteruskan, janin mungkin tidak bertahan.”
Pak Hasto menunduk, menekan wajahnya dengan kedua tangan. Air mata jatuh tanpa suara.
“Dok... kami baru kehilangan anak kami, Dewa... jangan biarkan kami kehilangan lagi,” ucapnya dengan suara nyaris hilang.
Dokter mengangguk pelan. “Kami akan berusaha, Pak. Tapi... saya belum pernah melihat infeksi seperti ini. Mikroorganismenya aktif... bahkan seolah merespons ketika kami mencoba menyinari dengan laser.”
“Merespons...?” tanya Bu Hasto, bingung.
“Ya,” jawab dokter. “Seperti... ia hidup dan terus melawan.”
Lorong tiba-tiba terasa lebih dingin.
Lampu di atas kepala berkedip.
Dan tepat saat itu, dari ujung koridor terdengar langkah kaki berlari. Tap tap tap tap... cepat, tergesa, dan berat.
Semua menoleh.
Pungki muncul di ujung lorong. Bajunya berantakan, rambutnya acak-acakan, dan kulit tangannya dipenuhi guratan hitam seperti akar yang menjalar ke leher.
“Pak.. Bu...” suaranya serak, napasnya tersengal.
“Ada yang salah... sama Windy...”
Ia hampir jatuh saat mendekat, dan sesuatu dari bawah lengan bajunya bergerak, seperti urat yang hidup, menjalar pelan ke arah lehernya.
Dokter terpaku.
Anisa menjerit pelan.
Dan di dalam ruang ICU, tiba-tiba monitor jantung Fatima dan Ndaru berbunyi cepat .. beep-beep-beep-beep!
Sesuatu baru saja terhubung.
Suara mesin dari ruang ICU terus berbunyi cepat, dokter berlari kecil ke arah monitor, dan Pak Hasto hampir pingsan melihat tubuh Pungki yang tampak separuh menghitam seperti berurat hidup.
“Pak... Bu...” suara Pungki gemetar. “Ada yang... salah sama Windy... dan dia hilang...”
“Apa yang telah terjadi dengan kamu dan Windy?” saut Bu Hasto dan Pak Hasto secara bersamaan..
Akan tetapi belum sempat Pungki menjawab, BYUUT! lampu lorong rumah sakit tiba-tiba padam sejenak, lalu menyala lagi dengan kelipan aneh.
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣