Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4- Dua Pintu Gerbang
Saat aku menelponnya, suaranya terdengar dalam.
"Jadi, apa jawabanmu?"
"Aku... minta maaf, karena tidak bisa menerima perjodohan ini."
Keheningan menyergap. Hanya napas berat dari seberang, lalu terdengar suara deru mesin mobil. Aku menatap layar ponselku yang kini sudah mati.
Aku berusaha menenangkan diri dengan makan chicken katsu kesukaanku. Tapi rasanya hambar. Es Lemon tea yang kuminum pun tak mampu menyingkirkan gumpalan sesak di dada.
Selesai makan siang, sempat duduk santai sambil mendengarkan musik namun tiba-tiba perutku sakit. Aku pun pergi ke toilet. Setelah itu aku mencuci tangan dan bergumam pelan di depan cermin.
"Akhirnya lega juga... wah, perutku kempes lagi."
Namun saat aku membuka pintu, langkahku terhenti.
"Zephyr?"
Ia sedang berdiri dengan menyilangkan tangan di dada, lalu melangkah mendekat.
"Fim, aku sudah minta izin pada Ayahmu. Ikut aku!"
Sebelum sempat protes, ia menarik tanganku masuk ke mobilnya. Aku meronta, tapi sia-sia. Mobilnya melaju meninggalkan kantor.
"Hari ini kita fitting baju," katanya tenang.
"Apa? Fitting baju? Aku sudah menolakmu! Jangan konyol, Zephyr!"
Ia hanya menjawab santai, "Aku sudah putus dari pacarku."
Aku tak percaya begitu saja.
"Apa?"
"Kau tak mau menikah denganku karena aku punya pacar, kan? Sekarang aku sudah putus. Jadi menikahlah denganku. Kau puas?" ucapnya sambil menyetir.
Aku tertawa kecil. "Hahaha... tidak semudah itu. Kau pasti bohong, tolong turunkan aku, Phyr!"
Zephyr melirik, wajahnya datar.
"Silakan turun dari mobil. Aku tidak akan berhenti. Tapi kalau kau terluka, kemungkinan aku hanya akan dimarahi ibu dan calon mertuaku."
Aku mendengus. "Hentikan, jangan mengancamku."
Akhirnya aku duduk tenang, dan hanya diam. Saat kulihat kaca spion, ia tersenyum kecil.
Wah, senyum liciknya... batinku kesal.
Lalu musik mulai terdengar, tentang lagu pernikahan klasik. Aku menoleh tajam, Ia pura-pura tak bersalah. Aku hanya mencibir dalam hati.
Kau pasti senang karena merasa menang, dan berhasil memaksaku? Kita lihat saja nanti, aku tidak akan membuat harga diriku di injak-injak oleh pria sepertimu.
Aku menatapnya diam-diam lewat spion, khawatir kalau dia bisa membaca pikiranku lagi seperti kemarin. Tapi ternyata tidak.
Syukurlah, mungkin itu hanya kebetulan, pikirku lega.
Mobil hitamnya yang mengkilap serta memiliki logo titik tiga itu berhenti di depan butik besar dengan cat cream. Staf langsung menyambut kami dengan ramah.
"Wah, Mr. Zephyr sudah datang! Jadi ini calon istrinya? Ya ampun, cantik sekali! mirip artis ya! kalian terlihat serasi!" ucapnya, seperti melihat kami adalah sepasang calon pengantin yang sesungguhnya.
Aku hanya tersenyum dan membiarkan mereka mendandaniku.
Gaun pengantin itu memeluk tubuh dengan anggun, bagian dadanya sedikit terbuka, lengan panjang ngepress, dihiasi bordiran bunga mawar dan manik-manik kecil yang berkilau lembut. Desainer dan perias wajah terus memujiku hingga membuat aku tersipu.
Beberapa menit kemudian, aku keluar dengan gaun putih yang sederhana tapi elegan. Rambutku disanggul seadanya, tapi justru membuatku terlihat natural.
Saat aku melihat ke arahnya Zephyr terpaku.
Untuk pertama kalinya, dia tidak memasang wajah sinis, hanya diam, seolah lupa caranya bernapas.
Saat aku melihat ke arahnya, dia juga sudah rapi memakainya setelan jas pengantin hitam dan putih dengan style modern, tak ku pungkiri dia memang tampan dan tulang pipinya menonjol, tubuhnya ideal, si pemilik tinggi badan seratus sembilan puluh sentimeter itu terlihat sempurna."
"Bagaimana, Mr. Zephyr? cantik kan calon pengantinnya?" tanya salah satu staf.
Zephyr masih bengong. lalu akhirnya berkata datar.
Ia tersenyum tipis.
"Iya tentu saja gaun itu memang cocok untukmu."
Pegawai butik pun terlihat lega.
Saat ia menatapku, aku mengangkat bibir atasku karena masih kesal padanya.
Saat dia mengobrol dengan mereka, aku meraih ponselku dan memotret diriku di depan kaca.
Dia melangkah dengan perlahan menghampiri ku, dari arah belakang, lalu memasukkan tangannya kedalam saku celana.
"Kau menolak menikah denganku, tapi sempat-sempatnya selfie dengan gaun pilihanku."
Aku melotot, bicara dengan ketus.
"Siapa bilang aku menyukainya? Ini sempit, sesak dan agak terbuka, pilihanmu kacau!"
"Jangan munafik. Aku tahu isi hati wanita."
Aku mendecak.
"Ck... dasar pria hidung belang."
"Dasar pria hidung belang," sahutnya hampir bersamaan.
Kami hening sejenak... lalu tertawa kecil.
"Jangan mengikuti ucapanku!" protesku.
"Dasar wanita keras kepala. Sejak bertemu denganmu, itu selalu menjadi kata favoritmu tentangku," balasnya santai.
Akhirnya ia mengajakku foto bersama. Katanya, untuk dikirim ke Bu Inez sebagai bukti kami sudah setuju menikah. Aku tak punya pilihan selain menuruti. Setelah selesai, dia mengantarku kembali ke kantor.
Sebelum pergi, ia berkata.
"Kita akan bertemu seminggu sekali. Itu permintaan ibu mertuamu."
Aku hanya mengangguk tanpa bicara.
Beberapa bulan kemudian.
Kami akhirnya menikah. Ciuman di pelaminan pun hanya pura-pura. Zephyr bahkan menutupi bibirku dengan jarinya.
Kami tinggal serumah, tapi tidak sekamar. Hari-hari kami sunyi, seperti dua orang asing di bawah atap yang sama.
Hingga suatu hari, seorang wanita datang.
Ia hampir menamparku, tapi aku menangkis tangannya.
"Dasar wanita tidak tahu diri, murahan! Berani-beraninya kau menikahi Zephyr! Apa kau tahu dia tidak pernah mencintaimu?"
Aku menghadapinya dengan berani
"Dia suamiku. Kau hanya mantan pacarnya."
"Mantan pacar? Kami masih bertemu setiap hari! tapi sudah beberapa hari ini dia tak menemuiku. Apa kalian sudah tidur bersama, apa kau menggodanya, katakan padaku?" teriaknya hingga membuat telingaku sakit
Aku memejamkan mataku dan terdiam sesaat lalu membukanya kembali, keningku berkerut, menatapnya tajam.
"Seharusnya kau bercermin terlebih dahulu, yang harus sadar diri itu dirimu sendiri. Aku... adalah istri sahnya, camkan itu! jadi Zephyr memberitahumu semuanya?"
Zea mengangkat wajahnya, dan mendekatiku.
Batinku ingin tertawa. …wanita ini benar-benar tidak tahu malu.
"Tentu saja. Serafim... kau jangan besar kepala, dia hanya tertarik padaku. Aku adalah orang yang sangat diinginkannya bukan kau!"
Zea menambahkan.
"Zephyr juga sudah berjanji, kalau dia tidak akan pernah menidurimu."
"Sudah cukup. Pergi dari rumah kami," kataku dengan suara gemetar.
Setelah ia pergi, aku menangis tersedu-sedu.
Aku kabur ke hotel, tapi malam itu Zephyr datang.
"Dari mana kau tahu aku menginap di sini?"
"Aku memasang GPS di ponselmu."
Aku menatapnya tak percaya. Rasanya dingin menjalar di punggungku.
"Kau keterlaluan kau sudah menipuku!" ujarku sambil memukul bahunya.
Aku berteriak dan berusaha mengusirnya.
"Pergi dari sini, aku tidak mau melanjutkan pernikahan palsu ini!"
Dia mencengkram tubuhku.
"Kalau kau kabur lagi, Fim," suaranya turun pelan, "kau akan menyesal seumur hidupmu."
Aku sadar dan ini bukan untuk pertama kalinya, lelaki ini bisa melakukan apa saja demi ibunya.
Ia memaksaku pulang, dan terus mengancam dengan nyawa ibunya.
Karena aku menolak ia memanggulku dari penginapan hingga rumah, dan memasukkanku ke kamar.
"Tidurlah, jangan macam-macam. Aku akan pergi ke rumah Zea."
"Bajingan. Pergilah. Tinggal saja di rumah pacarmu. Jangan kembali lagi. Kita hanya menikah di atas kertas. Suatu saat aku pasti bisa lepas darimu."
Setelah itu, Zephyr jarang pulang. Kadang sebulan sekali atau dua kali. Kami tak pernah makan di meja yang sama.
Dan entah kenapa, dia mundur dari pencalonan pejabat pemerintah.
Tiga tahun berlalu.
Ibu mertuaku memintaku dan Zephyr menginap di rumahnya.
Saat makan malam, beliau berkata lembut,
"Fim, ibu ingin sekali menggendong cucu, agar rumah ini tidak sepi lagi."
Aku dan Zephyr hanya saling pandang.
"Iya Bu," jawabnya singkat.
Sedangkan aku hanya terdiam.
Setelah makan, Ibu memberiku kunci mobil.
"Serafim sayang. Lihatlah di garasi, kau pasti menyukainya."
Aku pun langsung menuju kesana, diikuti mertua dan suamiku.
Saat pintu terbuka, sebuah mobil putih keluaran terbaru menempati ruangan itu.
"Ya ampun, Ibu... terima kasih." Aku berlari dan memeluknya erat.
Malam itu, sebelum tidur, kami sempat mengobrol dan bercanda.
"Jadi Ibu menyogokku dengan hadiah, supaya aku segera memberikamu cucu...?"
Ia menutup mulutnya kemudian tertawa.
"Yah, Ibu ketahuan."
Kami tertawa bersama. Setelah menyelimutinya, aku pamit tidur dan meninggalkan ciuman lembut di pipinya.
Malam terus bergulir. Sekitar pukul dua lewat sepuluh menit, aku mendengar teriakan.
Aku berlari ke kamarnya, dan melihat ibu mertuaku bersimbah darah.
"Ibu...ibu!"
Suaraku pecah, tapi yang terdengar hanya detak jam di dinding. Malam itu, sesuatu dalam diriku ikut mati.
Aku mencoba membuka pintu gerbang baru demi dirinya. Tapi dia menutupnya begitu saja. Aku terdiam, berdiri di ambang harapan yang rapuh, hanya ditemani gelap yang menusuk tulang.
Bersambung...