Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjodohan
Sebulan berlalu.
Pagi itu, angin berembus lembut, menggoyangkan dedaunan hingga menebar aroma tanah basah yang tersiram embun. Di taman kecil, Anin duduk di ayunan tua yang berderit tiap kali bergerak. Rambut panjangnya tergerai, menutupi sebagian wajah yang tertunduk, larut dalam lamunan.
“Anin!”
Suara nyaring membelah kesunyian. Anin mengangkat kepala. Di tepi taman, Candra berdiri sambil melambaikan tangan, dan tersenyum lebar.
“Kenapa bengong di sini sendirian?” tanyanya sambil mendekat.
“Nggak papa. Lagi nenangin diri,” jawab Anin, matanya tetap menerawang.
“Ikut aku yuk!” ajak Candra tiba-tiba.
“Kemana?”
Tak ada jawaban. Candra langsung menggenggam tangan Anin, dan berjalan meninggalkan ayunan itu. Langkahnya terhenti di bawah pohon mangga, tempat beberapa anak kecil asyik bermain bersama.
“Halo semua!” sapa Candra riang.
“Halo, Candra! Itu siapa?” seru Ivana, salah satu gadis kecil di sana.
“Ini sahabatku, Anindira,” jawab Candra sambil menatap Anin penuh bangga. .
Anin tersenyum tipis, merasa canggung karena ia jarang berbaur.
“Ayo main bareng, Nin!” ajak Ivana.
Anin duduk di atas rumput, keraguan terpampang jelas dari wajahnya. Candra mendekati telinga Anin. “Tunggu sebentar. Aku mau bikin sesuatu.”
Anin mengernyit, memandang Candra yang berlari pergi.
“Ibu, aku beli ayam goreng ya! Jangan pedas!” seru Ivana.
Anin melirik. “Maksud kamu, aku yang jadi ibu penjualnya?”
Ivana mengangguk. “Iya.”
Ivana menggeser kompor minyak tanah versi mini dan wajan kecil ke depan Anin, kemudian Anin mengambil belimbing sayur, dan berpura-pura menggorengnya seperti ayam.
“Eh, itu Candra bawa apa?” tanya Ivana seraya menunjuk Candra yang diiringi oleh beberapa anak laki-laki.
Anin memandang Candra yang berjalan ke arahnya seraya membawa sebuah mahkota bunga di tangannya.
Candra berhenti tepat di depan Anin, lalu berlutut. “Aku mau memberikan mahkota bunga ini pada ratuku.”
Anin terpaku, wajahnya memanas.
“Bangun, Nin! Itu pangeranmu udah bertekuk lutut tuh!” goda Ivana.
Dengan kikuk, Anin berdiri. Candra pun menggenggam erat tangannya, dan menatap Anin dengan mata berbinar.
“Aku jatuh cinta sama kamu, Nin. Aku memang nggak setampan pemuda lain di kampung ini, tapi aku janji akan jaga dan lindungi kamu,” ucap Candra tulus.
Jantung Anin berdegup kencang, menatap wajah Candra yang hanya berjarak sejengkal dari wajahnya.
“Kamu mau menikah denganku? Kalau mau, aku akan minta bapakku langsung lamaran ke rumahmu,” ucap Candra.
Anin tercekat, wajah neneknya melintas di ingatan. Ia teringat oleh pesan neneknya yang menyuruh untuk mengejar pendidikan supaya tidak memiliki suami, seperti ayahnya.
“Anin ... Kamu mau, kan?” Candra mengguncang pelan tangan Anin.
“Maaf, aku belum siap menikah. Tapi kalau kamu mau, kita bisa jadi kekasih,” jawab Anin hati-hati.
“Kamu serius?” tanya Candra.
Anin mengangguk pelan.
“Horeee!! Akhirnya aku punya Anin!!” Candra bersorak bahagia, lalu memasangkan mahkota bunga di kepala Anin. “Mulai sekarang, kamu ratuku.”
“Iya, rajaku,” sahut Anin sambil terkekeh kecil.
“Nona Anin! Nona Anin!!”
Anin menoleh, melihat seorang pria paruh baya berlari mendekat. Pria itu adalah sopir keluarga Anin.
“Ada apa, Pak Agus?” tanya Anin.
“Tuan menyuruh saya jemput Nona sekarang juga,” jawabnya terengah.
“Serius, Pak? Nggak biasanya ayah suruh jemput aku,” ucap Anin heran.
“Cepat, Non. Kalau terlambat, tuan bisa marah besar.”
Anin menoleh ke Candra. “Aku pulang dulu ya,” pamitnya.
“Iya, hati-hati di jalan,” ucap Candra, lalu melepas genggaman tangannya.
Anin berjalan mengikuti sopirnya, sedangkan pandangan Candra tertuju pada Anin hingga hilang di balik pagar.
...🌹🌹🌹...
Sesampainya di pekarangan rumah, Anin terpaku, memandang mobil asing yang terparkir di halaman rumah.
“Itu mobil siapa, Pak?” tanyanya.
Tak ada jawaban, Pak Agus menuntunnya masuk ke ruang tamu. Langkah mereka terhenti di depan Sudarsono—ayah Anin—yang duduk di sofa bersama beberapa tamu.
“Assalamualaikum, Tuan,” sapa Agus.
“Waalaikumsalam,” jawab Sudarsono datar. “Duduklah, Nin.”
Anin mengangguk kecil, kemudian duduk di samping ayahnya.
“Tumben ayah suruh Pak Agus buat jemput aku. Ada apa?” tanya Anin.
“Ayah mau kenalin kamu sama anak sahabat ayah saat perang melawan penjajah dulu.” Sudarsono menoleh ke pemuda di hadapannya. “Silakan perkenalkan dirimu, Nak.”
Pria itu menatap Anin, lalu mengulurkan tangan. “Nama saya Giandra Wijaya,” ucapnya ramah.
“Nama saya Anindira Sarasvati Sudibyo,” jawab Anin, menjabat tangan Giandra.
“Nama yang cantik, persis seperti pemiliknya,” puji Giandra.
Anin langsung menarik tangannya, dan memalingkan wajah, matanya menyipit ke arah ayahnya. “Sebenarnya tujuan mereka ke sini apa? Pasti bukan sekedar berkunjung, kan?” tanyanya curiga.
“Kamu benar. Tujuan keluarga Wijaya datang ke sini adalah untuk melamar kamu,” jawab Sudarsono tenang.
Anin membelalak, menatap Giandra yang tersenyum tipis.
“Aku belum mau menikah, ayah!!” tolak Anin dengan tegas.
“Ayah yang mau kamu menikah,” balas Sudarsono dingin.
“Nggak! Aku nggak mau! Aku nggak akan turuti keinginan ayah!” tegas Anin.
Dia langsung bangkit, berlari, dan menaiki anak tangga. Giandra mematung, memandangnya hingga menghilang di balik tangga.
“Maaf atas perbuatan tak sopan dari putriku. Aku berharap kejadian tadi tidak membatalkan perjodohan Anin dan Giandra,” tutur Sudarsono.
“Santai saja, Anin masih sangat muda jadi bisa memaklumi. Kalau begitu, kami pamit ya. Assalamualaikum,” tutur Yasir—ayah Giandra.
“Waalaikumsalam,” jawab Sudarsono.
...🌹🌹🌹...
Anin duduk di atas kasur. Bola matanya memerah, kelopaknya bengkak, air mata membasahi pipi yang terasa panas karena terlalu sering tersapu lengan bajunya. Napasnya tak beraturan, dadanya naik turun seperti tercekik oleh sesuatu yang tak kasat mata.
“Kenapa ayah sejahat ini sama aku? Aku nggak mau nikah, aku cuma mau sekolah ...” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah sesengguknya.
Ia menarik lutut ke dada, melingkarkan tangan kurusnya erat-erat, dan menundukkan kepala dalam ketakutan sekaligus keputusasaan.
“Anindira!! Buka pintunya!!” Suara menggelegar Sudarsono memecah udara, seketika jantung Anin mencelos.
Pintu digedor bertubi-tubi. Gagang pintu bergetar, dentuman keras menggema di dinding kamar.
Brak!!
Tendangan keras menghantam pintu hingga engselnya terlepas. Sudarsono masuk dengan wajah merah padam, matanya melotot penuh bara amarah.
Tanpa sepatah kata pun, tangannya langsung menyambar rambut hitam Anin yang tergerai.
“Aduh, sakit!” jerit Anin, kepalanya terhentak ke belakang.
“Kurang ajar! Kamu bikin saya malu besar! Sikapmu memalukan! Tak pantas untuk anak pejabat!” hardik Sudarsono.
Anin mengangkat wajahnya, air mata mengalir deras, tetapi sorot matanya kini menyala berani.
“Iya, aku kurang ajar. Aku emang anak durhaka. Bunuh saja aku!!” pekik Anin, suaranya pecah, mengguncang ruangan.
Plakk
Tamparan keras menghantam pipinya hingga kepala Anin terpelanting. Sudut bibirnya terasa asin, darah mengalir ke dagunya. Sudarsono mencengkeram wajah Anin, lalu membenturkan kening Anin ke kayu pembatas kasur.
“Memalukan! Kau tak pantas lahir! Sia-sia ibumu mengorbankan nyawanya demi melahirkan anak setan sepertimu!” teriak Sudarsono.
Anin hanya membisu, menahan perih di keningnya yang berdenyut. Pandangannya berkunang-kunang.
Sudarsono menarik rambut Anin lagi, menyeretnya keluar kamar. Anin mengikuti ayahnya dengan tertatih-tatih seperti boneka tak bernyawa.
Sudarsono membuka pintu gudang, lalu masuk ke dalam. “Duduk!!” bentaknya, mendorong tubuh Anin hingga wajahnya membentur lantai.
Gadis itu menoleh, napasnya tersengal. Di tangannya, Sudarsono menggenggam gagang sapu ijuk. “Kau harus dapat hukuman!” tegasnya dengan mata menyala, lalu mengayunkan sapu itu.
Buk!
Buk!
Buk!
Tiga pukulan keras mendarat di punggung Anin. Gadis itu menggigit bibir, menahan jeritan. Napasnya tercekat, matanya terpejam rapat.
“Kau memang pantas mati!” raung Sudarsono, lalu sapunya menghantam punggung Anin lagi dan lagi.
Bukk!!
“Aww!!” jerit Anin tak tertahan. Hantaman terakhir begitu keras hingga gagang sapu terbelah dua.
Sudarsono melempar sisa gagang sapu dengan wajah datar. “Tidurlah di sini! Jangan keluar sampai kau mau terima perjodohan itu!” tekannya, kemudian keluar, dan membanting pintu gudang.
Keheningan pekat menelan ruangan. Hanya suara napas terengah dan tangis tercekik milik Anin. Dengan tubuh gemetar, dia merangkak ke arah pintu, lalu bersandar lemah di sana.
“Ibu ... Kenapa ibu tega ninggalin aku sendirian? Kenapa ibu nggak bawa aku?” gumamnya.
Ia membaringkan tubuhnya di lantai yang dingin, memandang langit-langit gudang yang penuh sarang laba-laba.
“Aku kangen, Bu. Tolong, izinkan aku ikut sama ibu,” bisiknya parau.
Tangannya meremas dada yang sesak. Napasnya tersengal. “Lebih baik aku mati daripada menikah sama orang yang nggak aku kenal,” tuturnya pelan.
Anin berbaring. Dengan punggung penuh luka, dan tubuh menggigil, dia memejamkan mata, berusaha tertidur di lantai berdebu tanpa alas.