Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4. TINDAKAN CEPAT
Langit pagi itu muram. Seolah awan-awan kelabu sengaja berkumpul untuk menutup sinar matahari, menindih desa kecil di kaki bukit dengan kesuraman yang berat. Angin berhembus malas, membawa serta aroma tanah lembap bercampur anyir keringat manusia yang hidup dalam keterbatasan. Di jalan tanah yang becek, Aruna melangkah pelan, mengikuti langkah cepat Nyi Ratna yang tergesa setelah seorang petani mengetuk pintu rumahnya, memohon pertolongan.
Aruna baru dua hari berada di dunia asing ini, tahun 1819, masa yang tak pernah ia bayangkan bisa disentuh oleh dirinya. Sejak bangun di gubuk Nyi Ratna, rasa bingung dan terasing tak pernah benar-benar hilang. Namun sore itu, tatkala ia menyusuri jalan desa bersama perempuan tua yang baik hati itu, ada sesuatu yang menusuk lebih dalam dari sekadar kebingungan: kepedihan melihat kenyataan hidup rakyat jelata.
Rumah-rumah bambu berdiri miring, sebagian besar atap ilalangnya bolong hingga tampias hujan pasti sering merembes ke dalam. Di sepanjang jalan, Aruna melihat anak-anak kurus duduk di tanah dengan perut buncit dan tulang rusuk menonjol, tanda kelaparan kronis. Beberapa dari mereka hanya menatap kosong, tanpa tenaga untuk berlari atau sekedar tertawa. Orang-orang dewasa yang lewat menunduk, wajah mereka pucat, keringat asin membasahi dahi meski udara tak begitu panas.
Aruna merasakan dadanya diremas. Ia seorang dokter, setidaknya di zamannya sendiri. Ilmunya bertahun-tahun dipupuk dengan idealisme: menyelamatkan nyawa, menolong tanpa pandang bulu. Namun di sini, di masa ini, ia tak memiliki apa-apa selain pengetahuan yang tersimpan di kepalanya. Tanpa obat-obatan, tanpa alat, tanpa rumah sakit, apa yang bisa ia lakukan?
Namun matanya tak bisa berpaling. Setiap pandangan manusia di desa itu bagai duri yang menancap di hatinya. Beberapa orang menghentikan langkah hanya untuk menatapnya dengan wajah penuh curiga. Tubuhnya, kulitnya yang lebih terang, pakaian pinjaman yang tampak asing, membuatnya terlihat bukan bagian dari mereka. Ada anak kecil yang bersembunyi di balik kaki ibunya, ketakutan seolah Aruna adalah makhluk dari dunia lain.
Nyi Ratna sempat menoleh, menyadari lirikan-lirikan itu lalu berkat, "Jangan hiraukan, Nduk," katanya pelan sambil tetap melangkah cepat. "Orang-orang sini belum pernah melihat kamu. Dan kamu terlihat berbeda, makanya pada penasaran."
Aruna hanya mengangguk, menelan kembali kegelisahan yang sempat naik ke tenggorokan.
Rumah yang dituju akhirnya terlihat: sebuah gubuk reyot di pinggir sawah, berdinding anyaman bambu yang sudah rapuh. Dari dalam, terdengar suara isak tangis perempuan bercampur dengan teriakan cemas. Begitu pintu digeser, suasana riuh langsung menyeruak. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun terbaring di tikar lusuh, tubuhnya kejang-kejang hebat. Mulutnya berbuih, matanya terbalik ke atas, napasnya tersengal.
"Ndoro Gusti, tulungana!" jerit ibu si anak, memegangi tubuh mungil itu yang bergetar tak terkendali.
Nyi Ratna segera berlutut, tangannya gemetar saat mencoba menahan gerakan anak itu. Wajahnya tegang, jelas bingung harus berbuat apa.
"Gusti ... parah tenan iki, kulo kudu piye?" ucap Nyi Ratna yang menggunakan bahasa setempat.
Aruna mendekat dengan cepat. Sekilas saja ia tahu bahwa ini bukan sekadar demam biasa. Kejang dengan demam tinggi, ingatan medisnya berbisik: Malaria Serebral. Penyakit yang ia tahu, di masanya, bisa berakibat fatal bila tak segera ditangani.
"Nyi?" Aruna berkata cepat namun tetap penuh hormat, "izinkan saya membantu."
Perempuan tua itu menoleh, ragu sejenak, lalu teringat pada kata-kata Aruna beberapa hari lalu: bahwa dirinya seorang tabib dari tempat jauh. Dalam situasi genting ini, ia tak punya pilihan. "Cepet, Nduk. Yang kamu bisa tolong, tolonglah."
Aruna mengangguk. Ia segera mendekat, lututnya menempel di tikar. Tangannya terlatih menyentuh dahi anak itu, panas sekali. Denyut nadi cepat dan lemah. Bibir kering. Tubuhnya berkeringat deras.
"Pindahkan semua barang di sekitarnya, jauhkan benda keras!" seru Aruna. Ia ingat dengan jelas, saat pasien kejang, mereka bisa melukai diri sendiri.
Orang-orang di ruangan itu kebingungan, tapi segera menuruti. Aruna menahan kepala anak itu dengan lembut, memastikan ia tidak terbentur.
"Nak, dengarkan aku. Kau akan baik-baik saja," bisiknya lirih meski tahu anak itu mungkin tak sadar. Namun itulah kebiasaan yang ia lakukan kepada pasien pertama kali, mengangkat tekad pasien terlebih dahulu dan menenangkannya.
Kejang berlangsung beberapa menit, lalu tubuh anak itu perlahan melemas, hanya tersisa napas terengah dan tubuh panas membara. Ibu si anak menangis sesenggukan, memegangi tangan kecil yang lemah.
Aruna menarik napas panjang, mencoba mengendalikan degup jantungnya sendiri. "Ini penyakit malaria," gumamnya. "Aku harus menurunkan panasnya dulu. Kalau tidak, otaknya bisa rusak."
Dengan sigap, Aruna meminta air bersih. Ia celupkan kain tipis, lalu mulai mengompres dahi, leher, dan ketiak anak itu.
"Kita harus menurunkan suhu tubuhnya, dia terlalu panas," kata Aruna sigap.
Lalu ia menoleh ke Nyi Ratna. "Apakah di desa ini ada daun sambiloto? Rasanya sangat pahit."
Nyi Ratna mengangguk cepat. "Ada, banyak di kebon."
Ia menyuruh salah satu pemuda berlari mengambil daun sambiloto yang dimaksud.
Aruna melanjutkan, "Juga air kelapa muda, kalau ada."
Ibu si anak terisak, "Nggih, wonten ... saya ambilkan."
Sambil menunggu, Aruna menjelaskan dengan suara tegas agar semua mendengar. "Anak ini sakit karena gigitan nyamuk. Nyamuk itu membawa racun yang masuk ke dalam darah di tubuh. Racun itu yang membuat panas, menggigil, dan kejang. Penyakit ini bisa membunuh bila kita tidak berhati-hati."
Wajah-wajah di sekitarnya menegang, sebagian ketakutan, sebagian tak percaya.
"Nyamuk bisa mateni?" bisik seseorang.
Aruna menatap mereka penuh kesungguhan. "Ya. Karena itu, genangan air harus dikeringkan. Nyamuk berkembang di air yang tergenang. Kalau ada air yang disimpan pastikan tutup tempat airnya jika sedang tidak digunakan."
Beberapa orang berbisik-bisik, seolah baru mendengar hal mustahil. Namun Nyi Ratna mengangguk mantap, mendukung kata-kata Aruna.
Tak lama kemudian, daun sambiloto segenggam dibawa. Aruna menumbuknya di cobek, menambahkan sedikit air hangat, lalu menyaring sarinya. "Pahit memang, tapi bisa menurunkan panas." Dengan hati-hati, ia membantu anak itu minum sedikit demi sedikit saat sadar sebentar di sela kejang.
Air kelapa juga diberikan, menambah cairan tubuh yang hilang.
Aruna bekerja dengan tenang, meski dalam hati ia tahu ini hanya pertolongan terbatas. Di zamannya, ia akan langsung memasang infus, memberi obat antimalaria intravena, memantau laboratorium. Tapi di sini, semua itu hanyalah bayangan. Ia hanya punya pengetahuan, sedikit herbal, dan keyakinan.
Sore menjelang, tubuh anak itu masih demam tinggi, tapi kejangnya berkurang setelah diberi kompres dan ramuan pahit. Aruna duduk di sampingnya, menunggu, mendengarkan napas yang perlahan lebih teratur.
Ibu si anak menunduk, mencium tangan Aruna dengan air mata bercucuran. "Matur nuwun, Nduk ... Gusti mbales kebaikanmu."
"Tidak perlu sampai mencium tangan saya. Saya hanya membantu, saya juga orang biasa," kata Aruna sopan, menggenggam tangan ibu itu. Ia tidak ingin dianggap seperti Tuhan hanya karena memberikan sedikit bantuan saja.
Aruna hanya tersenyum samar. Hatinya bergetar hebat. Ia tahu perjuangan belum selesai. Penyakit ini bukan yang bisa hilang dalam semalam. Tapi setidaknya, ia telah menahan maut untuk sementara.
Dan malam itu, di tengah rumah bambu sederhana dengan lampu minyak yang redup, Aruna menyadari satu hal: mungkin, alasan ia terlempar ke masa ini adalah untuk ini, untuk membawa sedikit cahaya pada dunia yang tenggelam dalam kelam.