Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Saat Deva mulai memejamkan mata, sesosok bayangan hitam muncul dari balik lemari pakaiannya. Deva yang merasakan insting waspadanya muncul, segera membuka mata.
Dia terkejut melihat seorang pria bertopeng, yang memegang pistol di tangannya. Entah sejak kapan pria itu ada di sana, tapi Deva yakin jika pria tersebut memiliki niat buruk terhadap dirinya.
"Weh, ngapain lo masuk kamar gue?" ujar Deva seraya turun dari ranjang.
Pria bertopeng itu hanya terdiam, matanya yang tersembunyi di balik topeng menatap tajam ke arah Deva dengan sinis. Suasana di dalam kamar yang biasanya nyaman itu mendadak dipenuhi ketegangan.
Meski begitu Deva nampak begitu tenang, seakan dia sudah biasa menghadapi situasi seperti ini.
"Jangan berisik, Nona, kalau lo ingin selamat mending lo diam dan nurut!" kata pria itu dengan suara rendah, tapi tegas.
Deva, menaikan satu alisnya ke atas, berusaha mencerna perkataan tersebut.
"Selamat? yang ada gue metong di tangan lo anjir," balasnya sinis.
Pria itu melangkah maju, hingga jaraknya hanya beberapa langkah dari Deva. "Gue bukan musuh. Tapi ada sesuatu yang harus lo tahu. Dan lo nggak punya pilihan lain selain menuruti kemauan gue."
Deva terkekeh, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Jangan banyak baco* deh, cepat katakan siapa yang nyuruh lo kesini?"
Pria itu berdiri di tengah kamar, matanya menyala penuh kebencian. Seolah pria itu tidak akan melepaskan Deva meski gadis itu sudah menurut.
Deva tidak menunggu lebih lama. Pertanyaan yang dia lontarkan, sama sekali tidak di jawab oleh pria tersebut. Dengan kecepatan yang mengejutkan, dia meluncurkan serangan ke arah pria itu, pukulan demi pukulan. Namun, pria itu dengan gesit menghindar, seolah-olah sudah memprediksi setiap gerakannya.
"Bagus, lo ternyata nggak takut sama gue," ujarnya, suara penuh ejekan. "Tapi keberanian saja nggak cukup, untuk melindungi lo, Nona."
"Halah, banyak cingcong lo jadi cowok." Jawab Deva jengkel.
Bugh.
Tiba-tiba serangan datang dan membuat tubuh Deva terhuyung ke samping, saat dia mendapat pukulan di perutnya. Rasa sakit menjalar di bagian perutnya, pukulan pria itu tak main-main sampai membuatnya mules dadakan.
Deva menyeringai, dia kembali fokus, mencoba mengabaikan rasa sakit saat serangan balasan dari pria itu menghantamnya.
Dia tahu, dia harus menemukan cara untuk membalikkan keadaan. Namun, pria itu tidak memberi kesempatan padanya. Pria itu kembali menyerang Deva secara membabi buta, beberapa foto keluarga yang tergeletak di nakas sudah jatuh dan pecah di lantai.
"Menyerah lah, Nona. Lo nggak akan bisa mengalahkan gue!" ujar pria tersebut dengan sombongnya.
"Nyerah? Mimpi aja sono."
Pria misterius itu mendekat, tatapannya tajam dan penuh tantangan. "Lo sangat bersemangat, Dev. Tapi lo harus tahu, ini baru awal dari permainan kita."
Deva menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit dan kemarahan yang membara. Tubuhnya di jepit, di antara lemari buku dan tubuh pria itu. Dalam pandangannya, dia melihat sebuah tongkat bisbol tergeletak di sudut ruangan.
Namun, sebelum dia bisa meraihnya, serangan dari pria itu kembali menghantam dan mengenai perutnya sekali lagi, yang membuatnya terhuyung.
"Ugh!" keluhnya, terbatuk darah akibat perutnya di tinju.
"Rasa sakit itu hanya permulaan," katanya, senyumnya semakin lebar. "Lo harusnya tahu, melawan gue bukanlah pilihan yang bijak."
Dengan napas tersengal, Deva menatap pria itu dengan kebencian yang mendalam. Dia tidak akan membiarkan pertempuran ini berakhir begitu saja.
Deva kini terjebak dalam pertempuran sengit di dalam kamarnya, yang sebelumnya rapi dan bersih, kini berubah menjadi kekacauan.
Barang-barang berserakan di lantai, pot-pot bunga kecil yang patah, dan perabotan yang terbalik menciptakan suasana kacau yang mencerminkan pertarungan yang sedang berlangsung.
Pria misterius, dengan tatapan tajam dan gerakan gesit, berusaha menyerang Deva dari segala sisi.
Meskipun terdesak, Deva berjuang melawan serangan-serangan brutal yang di lancarkan ke arahnya. Dengan keahlian bela diri yang sudah terasah, dia memanfaatkan kecepatan dan kelincahannya untuk menghindar.
"Dasar bocah sialan! dari mana lo belajar teknik seperti ini, hah?" teriak pria tersebut, yang tampak marah.
"Dari pada menanyakan hal yang nggak berguna seperti itu, lebih baik lo fokus sama diri lo sendiri. Siapa tahu malam ini malaikat maut mau jemput lo!" sahut Deva, dengan nada mengejek.
"Kurang ajar! beraninya lo—"
Bugh.
Deva, dengan cepat, menendang kaki pria itu hingga dia terjatuh ke lantai. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Deva meraih pot bunga yang tergeletak di dekatnya dan menghantamkan pot itu ke kepala pria tersebut, hingga membuat darah mengucur dari pelipisnya.
Buagh!
"Argh!" teriakan pria itu menggema di dalam kamar.
Tanpa belas kasihan, Deva memukul mulut pria itu hingga membuat cairan berwarna merah tua keluar dari bibirnya.
Namun, pria itu masih berusaha keras menghajar Deva. Tak ingin wajahnya babak belur, Deva segera berputar dan menendang lutut pria itu dengan keras. Pria tersebut terjatuh, tetapi tidak menyerah begitu saja. Dia segera melancarkan serangan kembali.
Deva menangkis serangan tersebut dan membalas dengan sebuah pukulan ke wajah lawan sambil melompat ke atas meja, memastikan pukulannya tepat sasaran.
Buagh.
Braak.
Pria itu menabrak lemari baju dengan keras. Deva menatap pria itu dengan sinis. "Gimana hm? masih mau lanjut?"
"Brengsek! rupanya lo bukan gadis sembarangan." Umpat pria itu.
Deva terkekeh, "Makanya jangan suka meremehkan orang lain, mentang-mentang badan lo gede lo bisa seenaknya menginjak harga diri orang lain."
Dengan cepat, Deva memutar tubuhnya, mengangkat satu kaki, dan menendang rahang pria tersebut hingga pria itu tersungkur ke lantai. Merasa belum cukup, dia mengambil pistol milik pria itu yang tak jauh darinya.
"Gue paling nggak suka kalo ada tikus di lingkungan gue! mending lo pergi aja ke alam kematian biar di sidang di sana." Ujar Deva, dia mengarahkan pistol pada kepala pria itu.
Dalam sekali tarikan, peluru menebus kepala pria itu. Cipratan darah mengenai wajahnya, namun Deva nampak tak perduli.
Dia mendengus sebal begitu menyadari kamarnya sangat berantakan, Deva berjongkok dan mencari petunjuk siapa pria itu sebenarnya.
Akan tetapi, hasilnya nihil. Malas dengan semua kekacauannya, Deva memilih menyimpan pistol di bawah ranjangnya dan mengambil obat tetes mata.
"Pasti Daddy dengar suara tembakan tadi, gue nggak mungkin bilang kalau ini semua gue yang buat."
Deva meneteskan obat tetes mata pada kedua matanya, lalu dia duduk di atas ranjang sambil memegang erat selimut layaknya sedang ketakutan.
Benar saja, beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kamarnya. Deva menunggu dengan tenang, begitu pintu terbuka dia langsung merubah raut wajahnya menjadi sedih.
Braak.
"Deva!" pekik Dion, berlari ke arahnya.
"Sayang, kamu baik-baik saja?" raut wajah ayahnya terlihat begitu panik.
Air mata palsu yang di buat oleh Deva, berhasil menipu semua orang. "D-Dad, aku takut."
"Nggak apa-apa, Daddy ada di sini. Semua akan baik-baik saja." Ujar Dion menenangkan.
Gallen dan Gio berdiri di ambang pintu, ternganga tak percaya. Kamar adiknya tampak seperti kapal pecah, berantakan dengan barang-barang berserakan di mana-mana.
Sebuah kaos terlipat yang jatuh di sudut, tumpukan buku yang berhamburan, dan sepatu yang berserakan seolah-olah baru saja melarikan diri dari tempatnya.
"Lo ngapain sampai kamar lo berantakan kayak gini?" tanya Gio, suaranya penuh rasa ingin tahu, matanya melirik ke sekeliling dengan heran.
Deva, yang sedang duduk di ranjang menyahut dengan ekspresi frustrasi, menatap mereka dengan tatapan tajam.
"Buta mata lo? perampok segede toren ada di lantai lo nggak bisa lihat?" sahutnya, suaranya penuh kejengkelan.