Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Mantan
Armand pernah mendengar, katanya jika berusaha sekuat apapun untuk menghindar agar kita tidak tidak bertemu atau berinteraksi dengan seseorang, akan tetapi jika takdir justru menggoreskan hal yang sebaliknya, maka kita tidak akan bisa menghindarinya.
Harus Armand akui, setelah lebih dari 6 tahun perceraiannya, sebisa mungkin Armand mencoba untuk menghindar. Bahkan pada saat ia dan mantan istrinya tak sengaja bertemu di suatu pesta sekali pun, Armand akan selalu mencari cara untuk mengabaikan wanita itu. Yang mana selama ini selalu berhasil dan membuatnya tak perlu menatap wajah yang masih menyisakan kenangan buruk saat ia menatapnya.
Namun lagi-lagi takdir ternyata tak selalu bersikap baik padanya.
Kini, mau tak mau, Armand harus duduk di sini, di hadapan seorang wanita yang sepertinya tak merasa malu mengenakan pakaian kekurangan bahan seperti itu.
Untung saja tak banyak pengunjung di kafenya ini, kalau tidak, Armand tidak bisa membayangkan seperti apa isi pikiran mereka saat melihat cara berpakaian Lina saat ini.
"Apa kabar, mas?" Lina memulai pembicaraan.
"Baik."
Respon hanya berupa jawaban pendek dan terdengar sangat datar tersebut tak sedikitpun membuat Lina tersinggung. Justru sinar memuja di kedua bola matanya tampak memancar begitu kuat saat menatap pria yang sampai saat tak bisa dilupakannya.
Masih jelas dalam ingatan Lina betapa kokohnya kedua lengan pria di seberang meja itu saat memeluk pinggangnya dulu di kala mereka sama-sama mencapai puncak kepuasan.
"Cepat katakan tujuanmu ingin menemuiku? Aku tidak punya banyak waktu untuk ku sia-siakan demi hal yang tidak penting seperti ini." ucap Armand yang mulai merasa jengah karena tak suka dengan cara Lina menatapnya.
"Aku kangen banget sama kamu, mas." seakan tak lagi memiliki rasa malu, mengungkapkan begitu saja apa yang ada di kepalanya. "Sampai saat ini, aku juga masih mencintaimu, mas Armand."
"Cinta?" Armand mendengus. Ia bukan lagi Armand yang dulu, yang dengan mudahnya mempercayai tiap kata yang keluar dari bibir mantan istrinya itu.
"Sungguh, mas, aku masih sangat mencintaimu." Lina kembali menegaskan apa yang ia rasakan. "Kalau nggak cinta, nggak mungkin sampai saat ini aku masih sendiri. Kamu harus tau, mas, alasanku hingga saat ini masih belum menikah lagi adalah karena aku percaya bahwa suatu hari nanti kita pasti akan kembali bersama. Merajut kembali rumah tangga yang bahagia dan nggak akan pernah terpisahkan lag... "
"Lalu, bagaimana dengan Ronald, Heru, Bastian, William, Roni, Alex, dan bahkan si Sapto, supir pribadi ibumu itu."
Evalina seketika terdiam. sederetan nama yang disebutkan oleh Armand membuatnya sempat kehilangan kepercayaan diri untuk kembali memiliki pria yang semakin gagah meski usia tak lagi muda itu.
Akan tetapi, saat satu pemikiran muncul di kepalanya, segaris senyum senang terukir dan dengan kebahagiaan meletup-letup, Lina berkata, "Jadi, selama ini mas Armand mengawasi setiap gerak gerikku? Berarti mas Armand juga masih mencintaiku. Mas Armand cemburu, kan, ngeliat aku menjalin hubungan dengan mereka?"
Sumpah mati, Armand merasa sangat jengah sekarang. Kesabarannya terkikis semakin menipis mendengar tiap kata yang diucapkan dengan rasa percaya yang tinggi serta rasa senang yang tak ditutupi itu.
"Ayo, mas, ngaku aja." raut wajah Lina tampak antusias. Ia bahkan memajukan sedikit posisi duduknya agar apa yang hendak ia katakan bisa didengar dengan jelas oleh mantan suaminya itu. "Mas tau, tiap kali aku menghabiskan waktu dengan mereka, aku selalu membayangkan kalau yang memelukku itu adalah kamu, mas. Tiap sentuhan, kecupan, dan berat tubuh yang menindihku, yang aku bayangkan adalah kamu, mas."
"Sudahi pikiran konyolmu itu, Lin." sungguh, Armand berusaha sangat keras agar tak mengeluarkan kata-kata kasar untuk mengumpati wanita tak tahu malu di hadapannya itu. Biar bagaimana pun, Lina merupakan sahabat dari mendiang adiknya.
"Mas Armand sendiri lah yang seharusnya berhenti bersikap sok nggak butuh. Ngaku aja kalau mas masih cinta sama aku. Apa susahnya sih ngomongin hal yang sangat mudah begit... "
"Sumpah demi ibuku, sedikitpun nggak ada lagi tersisa rasa cinta di hatiku untukmu." Armand langsung memotong perkataan Lina yang membuatnya merasa sangat muak.
"Lalu, kalau emang udah nggak cinta, kok mas Armand bisa tau mengenai siapa aja lelaki yang sedang menjalin hubungan denganku?"
"Semua itu aku tau darinya." Armand mengedikkan dagu ke arah Fandy yang duduk tak jauh dari mereka. "Dia sering melihatmu di klub malam dengan para lelakimu. Dia yang cerita meski aku sendiri pun tidak pernah ingin mendengarnya."
Lina langsung menoleh ke Fandy dengan tatapan marah. Lina sangat hafal mengenai watak dan kebiasaan salah seorang sahabat dari mantan suaminya itu. Kemudian, dengan cepat Lina kembali menoleh ke arah depan, ingin kembali mengatakan sesuatu. Tetapi, tiap kata yang ingin diucapkan Lina tertahan karena Armand sudah lebih dulu bicara.
"Kita sudah lama bercerai. Kamu sudah menjalani hidupmu dengan baik tanpa aku di sisimu." ucap Armand yang ingin segera mengakhiri pembicaraan sampah wanita di hadapannya itu. "Tidak ada lagi yang tersisa diantara kita yang bisa membuatnya terus bicara omong kosong seperti ini. Bahkan mengenai harta gono gini, aku juga sudah memberikan bagian yang memang menjadi hakmu tanpa ada sedikitpun yang aku kurangi. Jadi, tolong, aku minta padamu untuk berhenti menggangguku. Dan berhenti meminta orang untuk memantau tiap gerak gerikku."
"Mas... " Lina tak tahu harus mengatakan apa lagi. Lidahnya terasa keluh.
"Pergilah dan jangan pernah datang ke sini lagi." Armand mengucapkan kalimat tersebut seraya berdiri dari posisi duduknya.
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Armand melangkah begitu saja dan meninggalkan Lina yang masih mematung di tempat semula.
"Aku dengar perempuan itu datang ke sini tadi."
Armand menoleh sekilas ke Fandy yang sedang ongkang ongkang kaki duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan. Setelahnya, Armand langsung mengarahkan pandangan ke arah Daffa, yang duduk di seberang meja.
Kembali ke dalam ruang kerjanya yang tak begitu luas tersebut, bukannya Armand bisa menikmati lagi kesendiriannya yang menenangkan, ia malah mendapatkan kunjungan lagi dari salah seorang sahabatnya.
Ruang kerja yang sepi dan sunyi kini terasa sedikit ramai dan bahkan terasa sedikit sesak.
"Urat malu perempuan itu udah benar-benar putus kayaknya. Ada gitu perempuan yang nggak tau malu ngomongin adegan ranjangnya dengan lelaki lain di depan mantan yang katanya masih dia cinta dan dengan PDnya bilang kalau dia membayangkan sedang dicumbui olehmu."
Lagi Armand menoleh ke arah si mulut ember yang malah dengan santainya cekikikan sambil menatap layar ponselnya.
"Dasar mulut ember" Armand hanya bisa mengumpati Fandy dalam hatinya.
"Jadi, besok kita jadi 'kan, ngumpul-ngumpul lagi di tempat tongkrongan kita yang biasa?" Daffa tak mempermasalahkan meski Armand tak merespon perkataannya. Ia malah tampak antusias menanyakan perihal janji mereka yang dua hari lagi sudah mereka sepakati. "Mumpung ibunya Faris udah mau tinggal bareng tuh duda paling kalem sedunia, jadi kita bisa nongkrong di tempat tongkrongan kita yang biasa dan bukannya di rumah dia."
"Kalau aku sih oke-oke aja." Fandy bersuara tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Entah apa yang sedang dipandangi oleh playboy satu itu, yang pasti kedua matanya tampak membola dan bibirnya tersenyum lebar.
"Maaf, aku kayaknya nggak bisa datang." suara Armand dipenuhi rasa bersalah.
"Loh kok gitu sih, Man?" tanya Daffa yang sedikit tak rela karena kekurangan satu orang saat mereka berkumpul nanti.
"Tadi pagi aku dapat laporan dari Lala, katanya ibuku sempat jatuh waktu ngawasin para pekerja yang ngurusin tanaman padinya."
Kontan saja jawaban tersebut tak hanya membuat Daffa yang terkejut, tetapi mampu mengalihkan perhatian Fandy dari layar ponselnya yang menyala.
"Gimana kondisi beliau sekarang?"
"Beliau baik-baik aja, kan?"
Pertanyaan tersebut diucapkan secara bergantian oleh Daffa dan juga Fandy.
"Lala bilang kondisinya baik-baik aja. Sudah diperiksakan ke dokter dan bahkan udah dipijit sama tukang pijit langganan ibuku."
"Syukurlah." ucap Daffa dan Fandy bersamaan.
"Eh, Man, ngomong-ngomong, kabarnya si Lala gimana sekarang? Udah gede dong dia? 19 atau 20 ya, umurnya dia? 'Itunya' juga pasti udah pada gede semuanya dong ya."
Armand memutar kedua matanya kesal. Pertanyaan Fandy yang melenceng jauh dan sudah merambat kemana-mana membuat ia kesal bukan main. "Jangan macam-macam sama Lala, soalnya dia itu udah seperti anak sendiri bagi ibuku. Buang pikiran mesummu itu kalau nggak mau dikutuk ibuku jadi malin kundang."
Ancaman tersebut bukannya membuat Fandy takut, yang ada ia malah terkekeh geli membayangkan dirinya menjadi patung, yang pastinya ia mengasihi para wanita yang selalu sibuk mencari perhatian darinya.
"Udah deh, Man, nggak usah ngeladenin omongan si mesum yang otaknya nggak bisa jauh dari selangkangan." ucap Daffa yang ingin sekali mencuci otak Fandy menggunakan cairan pembersih. "Jadi, benaran kau nggak bisa datang di acara ngumpul-ngumpul kita lusa?" tanya Fandy seraya kembali fokus kepada Armand.
Armand mengangguk. "Meski katanya kondisi ibuku sudah membaik. Kalian pastinya juga tau kalau ibuku nggak pernah mau membuatku khawatir. Itu aja si Lala mesti diam-diam menghubungiku, makanya aku bisa tau kalau dia sempat jatuh di sawah."
"Ya udah deh kalau gitu. Kami semua titip salam aja buat beliau. Kapan-kapan kalau ada waktu luang, kami semua akan main ke sana."
Kembali Armand mengangguk. Baik Armand dan Daffa membahas hal lainnya dan tak mau mempedulikan Fandy yang kini sudah persis seperti orang gila karena bicara sendiri sambil menatap layar ponselnya.
-----------