menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Malam ini jam sudah menunjukan pukul 23:45 malam, Aldebaran tampak terburu-buru, ia menyambar kunci mobil yang sedari tadi tergeletak di atas meja.
Ia mengambil jasnya dan memakainya dengan cepat, tanpa memperhatikan apakah jas itu ia pakai dengan benar atau tidak. Dengan tergesa-gesa Aldebaran keluar dari dalam ruangan kantornya, namun saat langkahnya sudah sampai setengah jalan di lorong koridor kantor, Aldebaran berhenti mendadak dan merogoh saku di dalam jasnya.
"CK! Kenapa harus di saat seperti ini!" Geram Aldebaran, setelah ia menyadari ponselnya tidak berada di sana, Aldebaran berbalik kembali ke ruangan kantornya dengan langkah cepat dengan wajah kesal, karena setelah di tengah jalan ia akan pulang ada saja barangnya yang tertinggal.
Aldebaran membanting pintu kaca buram di ruangan kantonya, dia berdiri di ambang pintu memandangi ponselnya yang masih tergeletak di meja kerjanya. Tatapannya tajam, matanya menyipit penuh dengan amarah yang tertahan.
Ia menatap ponselnya seolah ia sedang menatap pegawai yang tak becus bekerja. Bibirnya berkedut, kemudian Aldebaran berjalan mendekati meja kerjanya dengan langkah besar, ia menyambar ponselnya dan mencengkramnya erat-erat seperti ia sedang mencengkram leher musuh bebuyutannya.
"Dasar! Gara-gara kau..." Geram Aldebaran kesal, sambil menunjuk ponselnya sendiri seolah ponsel itu adalah pegawainya yang tak becus bekerja. "Seharusnya aku sudah di parkiran lima menit yang lalu, dan gara-gara kau!! Aku harus kembali ke tempat ini." lanjutnya, mencengkram ponselnya erat sambil memelototi layar ponselnya.
"Kenapa kau tidak bilang tadi saat aku akan keluar dari ruangan ini? Setidaknya, 'Pak! Bos! Aku ketinggalan di meja!' CK!! Bikin kesal saja, kau pikir aku tidak punya kehidupan? Putriku sedang menungguku di rumah, aku juga lelah bekerja seharian, TAHU!!" Katanya memarahi ponselnya yang tak berdosa, yang jelas-jelas karena Aldebaran sendiri lupa mengambilnya.
Lalu ia memasukan ponselnya kedalam saku jasnya dan ia melangkah keluar dari ruangan kantornya. Ketika Aldebaran melewati beberapa ruangan di koridor kantornya ia berhenti dan melit ke dalam ruangan yang kosong itu.
"Lihatlah tempat ini benar-benar seperti kuburan." Gumamnya, melihat ke dalam ruangan kantor yang sudah kosong melompong.
"Enak sekali mereka, setiap hari selalu pulang tepat waktu, coba lihat aku! Aku selalu lembur setiap hari, aku ini bos mereka malah aku yang jadi budak lembur tiap malam." Lanjut Aldebaran sambil berkacak pinggang, seolah pekerjaan kariawannya lebih mudah darinya.
Setelah puas mengomel, Aldebaran berjalan menuju parkiran kantor, ia berjalan menuju mobil sedan mewahnya, Aldebaran membuka pintu mobil dengan gerakan malas, kemudian ia menyalakan mesin mobilnya dan segera menyetir. Sepanjang perjalanan Aldebaran beberapa kali melihat jam tangannya.
Sesampainya ia di komplek apartemen mewah di pusat kota, Aldebaran memarkir mobilnya dan segera menuju lift, di dalam lift Aldebaran menekan tombol lantai apartemennya.
"Haa... Aku ingin segera tidur..." Gumam Aldebaran, tampak sangat lelah.
Saat lift sampai di lantai tujuh di unit apar temennya, Aldebaran melangkah keluar begitu pintu lift terbuka. Namun pandangan Aldebaran berubah tajam saat ia melihat pintu kamar apartemennya terbuka sedikit, seketika saat itu perasaanya menjadi tidak enak. Berbagai pikiran dan kemungkinan menyeruak begitu saja di pikirannya.
Kemudian ia berjalan dengan hati-hati ke pintu unit apartmentnya, ia meliat ke arah kunci elektronik yang terpasang rapi di sebelah kenop pintu. "Tidak ada tanda-tanda kerusakan." Pikirnya, "pintunya tidak bisa di buka tanpa sandi dan kartu identitas." Pikirnya lagi, namun kenyataanya pintu itu sedikit terbuka, jantungnya tiba-tiba berdetak cepat, telapak tangannya tiba-tiba terasa dingin.
"Jangan-jangan..." Perlahan Aldebaran memegang dan mendorong kenop pintu itu, suara derit pintu memecah keheningan, dengan langkah waspada Aldebaran masuk kedalam apartemennya.
Namun seketika matanya melebar saat Aldebaran melihat sepasang kaki mungil tergeletak di lantai, pandangannya di halangi oleh sofa di ruang tengah, ia tak melihat tubuh yang berada di baliknya karena sofa itu menghalangi pandangannya.
"Lilia..." Gumamnya pelan, suaranya pelan nyaris tak terdengar. Ekspresi Aldebaran seketika beruh, tas kerjanya terlepas dari genggamannya, dengan langkah tergesa ia menghampiri Lilia yang tergeletak begitu saja di lantai. Detak jantung semakin cepat takut terjadi hal buruk pada gadis itu.
"LILIA!!" suara Aldebaran nyaris pecah di dalam ruangan, ia meraih sandaran sofa, matanya melebar saat ia sudah berada di dekat Lilia. Gadis itu terbaring di lantai beralaskan karpet tebal di depan sofa dengan TV yang masih menyala dan kemeja Aldebaran yang berada di pelukannya.
Dengan hati-hati Aldebaran menyentuh pergelangan tangan Lilia dengan jarinya memeriksa denyut nadinya memastikan tidak terjadi hal buruk pada gadis itu.
"Haa..." Aldebaran menghela nafas lega, saat ia mengetahui Lilia sedang tidur. "Dia... Dia tidur..." Aldebaran melihat ke sekeliling ruangan, ia melihat tumpukan pakaian di meja di depan sofa yang sudah terlihat rapi dan makan malam yang sudah Lilia siapkan untuknya.
"Haa... Dasar anak ini... Dia biarkan pintu terbuka begitu saja." Gumam Aldebaran, kemudian ia melepaskan jasnya dan menyelimuti tubuh mungil Lilia dengan jasnya, namun ia merasa lega tahu gadis itu baik-baik saja.
Dengan hati-hati Aldebaran berbaring di sebelah Lilia yang sedang tertidur pulas, ia memandangi wajah mungil gadis itu yang tampak tenang. Lalu dengan lembut Aldebaran merapikan beberapa helai rambut Lilia yang jatuh dan menutupi wajahnya.
Tatapan mata Aldebaran menjadi lebih lembut dari bisanya, lalu dengan lembut jari-jari tangan Aldebaran mengusap lembut pipi gadis itu sentuh itu lembut seperti hembusan angin yang membelai dedaunan, perlahan jari Aldebaran turun lebih jauh ke bibir mungil gadis itu.
Tangannya yang besar begitu kontras dengan wajah Lilia yang mungil. Tatapan Aldebaran tak lepas dari wajah damai gadis itu yang masih tertidur pulas.
"Lembut sekali." Bisik Aldebaran.
"Sudah delapan tahun," gumam Aldebaran pelan, bisikan itu seolah di tujukan hanya untuk dirinya sendiri. "Delapan tahun yang lalu kau masih anak kecil yang mengemaskan, ceria, dan polos." Sesaat ia terdiam menelan perasaan yang tiba-tiba memuncah di dadanya.
"Dan Sekarang... Sekarang usiamu berapa, ya? Enam belas? Atau tujuh belas?" suaranya sedikit bergetar, matanya menerawang seolah mencari bayangan masalalu di udara yang hampa.
Setelah untuk waktu yang cukup lama Aldebaran memandangi Lilia yang sedang tidur, akhirnya ia berdiri dengan perlahan, ia menyelipkan tangannya di punggung gadis itu dan tangannya yang lain di bawah lutut gadis itu.
Aldebaran mengendong Lilia dengan mudah dan membawa gadis itu ke kamarnya. Aldebaran membuka pintu kamar Lilia, aroma lembut lavender menyeruak dari dalam kamar gadis itu. Kamar tidur itu di hiasi beberapa boneka beruang dan dekorasi kecil lainnya yang Lilia pilih sendiri untuk dekorasi kamarnya.
Dengan lembut Aldebaran membaringkan gadis itu di atas ranjang kemudian ia menarik selimut tebal dan menyelimuti tubuh mungil itu dengan sempurna.
Untuk beberapa saat Aldebaran memandangi Lilia sekali lagi, kemudian perlahan Aldebaran sedikit mencondongkan tubuhnya, ia mengusap lembut rambut Lilia dan mencium lembut kening gadis itu. "Tidurlah yang nyenyak, kau sudah bekerja keras hari ini... Lilia." Kata Aldebaran lembut sebelum akhirnya ia keluar dari kamar Lilia.
Aldebaran kembali ke ruang tengah dan membereskan pakaian yang telah lilia lipat rapi di atas meja, kemudian Aldebaran memeriksa kembali kunci pintu apartemennya memastikan pintu sudah ia kunci dengan baik, sebelum ia pergi ke dapur dan melihat makan makan malam yang sudah Lilia siapkan untuknya di atas meja makan.
Aldebaran memanaskan makan malamnya di dalam microwave sebelum ia duduk dan makan di meja makan. Tanpa Aldebaran sadari sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.
Bersambung.....
sukses buat novelnya, jangan lupa support baliknya di novel baru aku ya 🙏☺️