Gracia Natahania seorang gadis cantik berusia 17 tahun memiliki tinggi badan 160cm, berkulit putih, berambut hitam lurus sepinggang. Lahir dalam keluarga sederhana di sebuah desa yang asri jauh dari keramaian kota. Bertekad untuk bisa membahagiakan kedua orang tua dan kedua orang adiknya. Karena itu segala daya upaya ia lakukan untuk bisa mewujudkan mimpinya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rachel Imelda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Sudah Memikirkan Jawabannya
Di sisi lain, Dani sedang bersiap mendarat di Narita, Tokyo. Dia siap menciptakan dramanya sendiri.
Tiba di Tokyo...
Pagi hari yang dingin menyambut Dani di Narita. Turun dari penerbangan kelas satu dengan koper bermerk, Dani merasa seperti karakter utama film.
Ia melewati imigrasi dengan lancar, berkat surat-surat palsu dari agen perjalanan. Saat berdiri di aula kedatangan, ia menghirup udara Tokyo yang bersih.
"Cia, aku datang. Kejutan ini pasti akan membuatmu jatuh cinta," batin Dani tersenyum sinis.
Dia segera mencari taksi mewah, bukannya kereta. "Waseda Internasional Student Residence," katanya kepada sopir taksi yang tampak bingung dengan pelayanan bahasa Jepang Dani yang buruk.
Dani berpikir dia hanya perlu muncul, Cia akan terkejut, terkesan denga. "kelas" barunya, dan datang ke pelukannya. Dia tidak tahu bahwa kejutan terbesarnya di Tokyo bukan untuk Cia, tapi untuk dirinya sendiri.
Cia sedang menikmati istirahat makan siangnya bersama Akari di taman kecil kampus, di bawah pohon gini yang mulai menguning. Mereka sedang membahas rencana studi minggu depan.
Tiba-tiba ponselnya Cia berdering. Itu panggilan Video dari nomor yang tak dikenal.
"Siapa ini?" gumam Cia, mengerutkan keningnya.
Angkat saja, mungkin penting," kata Akari.
Cia menjawab panggilan itu. Layar menunjukkan wajah seorang wanita paruh baya yang ia kenali: Nyonya Sinta, ibunya Dani. Cia merasa curiga, namun ia menjawabnya.
"Hallo, bu Sinta, ada apa?"
Nyonya Sinta tidak menjawab, ia hanya membalikkan kamera ponselnya ke arah belakang.
Di sana berdiri di lobi asrama Waseda, dengan koper besar disisinya dan ekspresi wajah yang kelelahan namun puas, adalah Dani.
"Selamat siang, Cia-ku Sayang," sapa Dani melalui ponsel ibunya, melambaikan tangan dengan gaya playboy yang ia pelajari. "Terkejut? Aku datang menjemputmu. Aku di Tokyo, Sayang. Di Asramamu."
Wajah Cia seketika pucat pasi. Ia menoleh ke Akari yang menatapnya cemas.
"Tidak mungkin," bisik Cia, matanya terbelalak karena terkejut. "Dani di Tokyo? Di asramaku?"
Cia buru-buru mematikan panggilan Video itu, tangannya gemetar.
"Cia-san, ada apa? Kenapa wajahmu seperti melihat hantu?" tanya Akari, memegang tangan Cia.
"Itu... itu Dani," kata Cia, suaranya tercekat. "Dia di Tokyo. Dia Lobi asrama."
"Dani? Laki-laki yang... yang dulu mengganggumu?" Akari mencoba mengingat. Ya, Cia sudah menceritakan tentang Dani kepada Akari. "Tapi bagaimana? sejauh ini?"
"Aku tidak tahu, Cia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai emosinya. Rasa emosi bercampur dengan amarah yang dingin. Ini adalah pelanggaran privasi dan ruang yang luar biasa. "Dia pasti mengira dia bisa muncul di sini dan aku akan...luluh?"
"Lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanya Akari.
"Aku harus kesana. Ini asrama Internasional. Dia tidak bisa berkeliaran begitu saja. Dia harus pergi," ujar Cia dengan tekad, rasa takutnya kini tergantikan oleh keberanian. Dia tidak ingin kekacauan ini merusak fokus akademis yang baru saja ia bangun. Urusan Dani harus selesai disini, sekarang juga.
Cia bangkit berdiri, menarik Akari. "Akari-san, tolong temani aku. Aku butuh saksi, dan butuh kamu disisiku."
"Tentu saja," jawab Akari tanpa ragu. Ia merapikan bento sisa mereka dan berjalan cepat bersama Cia menuju asrama.
Saat mereka tiba di asrama, lobi yang biasanya sepi di siang hari itu terasa tegang. Dani masih berdiri di tempat yang sama, di samping tumpukan koper bermerknya, tampak mencolok di antara dekorasi lobi yang minimalis dan bersahaja.
Ketika Dani melihat Cia masuk, ia menyeringai lebar, mengira Cia akan lari ke pelukannya karena terharu.
"Cia-ku!" seru Dani, melangkah maju dengan tangan terbuka, mencoba memeluk Cia.
Cia menahan diri, tangannya terangkat memberi jarak. Akari berdiri peristiwa di sampingnya, memasang ekspresi datar dan tajam, mengamati situasi.
"Dani, apa yang kamu lakukan disini?" tanya Cia dingin, nadanya lebih keras daripada yang biasa didengar Dani.
Senyum Dani sedikit luntur melihat ekspresi Cia dan tatapan tajam Akari. "Lho, Cia. Harusnya kamu senang dong. Aku menyusul kamu ke Jepang lho! Jauh-jauh ke sini cuma buat kamu. Aku datang untuk menjemputmu, Sayang."
"Menjemputku? Aku tidak meminta untuk dijemput." balas Cia tegas. "Aku datang kesini untuk kuliah. Ini Asrama, bukan hotel. Dan kamu tidak bisa berada di sini."
Dani tertawa sombong, ia mengibarkan tangannya. "Allaahhh, santai aja Cia. Aku kan bawa uang. Aku akan chek-in di hotel terbaik di shinjiku. Aku sudah jadi pengusaha sukses sekarang, Cia. Aku sudah berkelas. Aku datang kesini buat masa depan kita. Kamu tidak perlu cape-cape kuliah. Ayo kita pulang, Aku sudah siapkan semuanya."
Cia mendengus, "pengusaha sukses? Dani, kamu kesini menggunakan uang ibumu. Aku tahu. Dan aku tidak akan pulang. Tujuanku ada di Waseda bukan di desa. Dan yang paling penting, Aku bukan masa depanmu."
Pernyataan Cia yang sangat tegas itu membuat Dani terdiam sesaat. Matanya memicing.
"Apa maksudmu? Kamu sudah lupa sama aku? Gara-gara Mas Juna itu ya? Hei, jangan mimpi kamu bisa dapat direktur sombong itu. Dia pasti cuma main-main sama kamu!" tuduhan Dani, suaranya mulai naik.
"Jangan libatkan Juna dalam urusan ini," kata Cia, menyebut nama Juna membuat pipinya sedikit memanas, namun ia tetap mempertahankan nada dinginnya. "Ini urusanku. Dani, dengarkan baik-baik. Aku datang ke Tokyo untuk belajar, bukan untuk bermain drama percintaan denganmu. Aku tidak punya perasaan apa pun padamu. Kamu harus kembali sekarang. Kamu mengganggu ketenangan dan privasiku. "
Nyonya Sinta yang baru selesai berbicara dengan resepsionis asrama (Resepsionis mengatakan bahwa Dani tidak bisa masuk tanpa izin Cia), bergegas menghampiri mereka.
"Cia, apa-apaan ini? anak saya sudah jauh-jauh datang ke sini dengan pesawat kelas satu! Dia bahkan rela mengurus Visa bisnis! Kamu harus hargai usahanya!" Nyonya Sinta menengahi dengan nada superior.
"Maaf, Bu Sinta. Saya menghargai usaha Bapak Dani, tapi saya tidak bisa menghargai tindakannya. Datang ke asrama saya tanpa izin, menuntut saya pulang, ini tidak sopan. Saya adalah mahasiswi disini, dan saya punya tujuan. Saya minta Bapak Dani segera pergi dari sini," kata Cia, membungkuk sedikit, menerapkan kesopanan Jepang yang ia pelajari dari Kana dan Akari, membuat Nyonya Sinta semakin kesal karena merasa diremehkan.
"Ayo Dani, kita tidak perlu di sini. Lihat saja, Cia. Dia benar-benar sudah berubah, dia tidak seperti Cia yang kita kenal," kata Nyonya Sinta sambil menatap Cia dengan penuh rasa kecewa.
Dani merasa seperti di tampar, bukan oleh Cia, tapi oleh Tokyo. Seluruh rencananya hancur. Ia yang datang sebagai pangeran, kini diperlakukan seperti pengganggu.
"Kamu akan menyesal, Cia," ancaman Dani.
"Aku akan menyesal, jika aku pulang. Aku tidak akan menyesal karena tetap disini." jawab Cia, tanpa gentar.
Akari maju selangkah, menatap Nyonya Sinta dan Dani. Akari bicara dengan bahasa Jepang yang sangat lancar, meskipun Cia tidak mengerti, nada Akari terdengar sangat sopan. Nyonya Sinta dan Dani langsung terdiam.
Setelah Akari selesai berbicara, ia membungkuk ringan. Dani menoleh ke ibunya dengan tatapan bingung.
"Dia bilang apa, bu?" tanya Dani.
"Dia bilang," kata Nyonya Sinta, wajahnya merah padam, "kita mengganggu ketenangan asrama, dan jika kita tidak segera pergi, dia akan memanggil keamanan dan konsulat. Ayo, Dani. Kita pergi dari tempat terkutuk ini. Kita akan sewa hotel, dan kita lihat saja nanti."
Nyonya Sinta menarik lengan Dani dengan kasar, Dani yang tertegun mengikuti. Dani menatap Cia untuk yang terakhir kalinya, tatapan yang penuh amarah dan kekalahan.
Cia membalas tatapan itu dengan tatapan tenang yang penuh kemenangan. Dia baru saja memenangkan pertarungan pertamanya di Tokyo, bukan melawan kanji, melainkan melawan masa lalunya.
Setelah Nyonya Sinta dan Dani menyeret koper-koper mewah mereka keluar dari pintu kaca, lobi kembali hening.
"Apa yang kamu katakan pada mereka, Akari-san?" tanya Cia, napasnya masih sedikit terengah.
Akari tersenyum misterius. "Aku hanya bilang bahwa di Jepang, kami sangat serius tentang ketenangan dan bahwa mengganggu mahasiswi Waseda adalah pelanggaran yang sangat serius visa mereka sebagai pengusaha bisnis. Dan mereka harus segera pergi."
Cia tertawa, tawa lega yang tulus. "Kamu benar-benar pahlawan, Akari-san."
"Tentu saja. Sekarang, Ayo, kita kembali ke Kampus. Kamu punya kelas sore, dan kamu butuh teh hangat," ajak Akari.
Cia mengangguk. Dia merasa lebih kuat dan lebih bertekad dari sebelumnya. Kehadiran Dani justru memperjelas tujuannya.
Saat berjalan kembali, Cia membuka ponselnya. Ada pesan baru dari Juna:
"Aku akan selalu ada di sini untuk menunggumu."
Cia tersenyum. Perbedaan antara Dani dan Juna sangat mencolok. Juna mendukungnya dari jauh, Dani mencoba menariknya pulang.
Aku tidak perlu menunggu seminggu lagi," batin Cia. "Aku sudah tahu jawabannya."
Dia mengetik dengan cepat.
Keputusan itu, yang ia ambil di tengah cahaya sore Tokyo, setelah memenangkan konfrontasi dengan masa lalunya, terasa sangat tepat.
"Mas Juna, Aku sudah memikirkan jawabannya..."
Bersambung....