Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Nathan berdiri di depan cermin, dasi rapi tergantung di lehernya, kemeja putih bersih, blazer hitam yang sudah disetrika rapi. Matahari pagi masuk tipis dari celah jendela, menyorot wajahnya yang tampak lelah meski baru saja bangun. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum hari dimulai, tapi pikirannya tak bisa lepas dari satu hal... Kayla.
Di meja samping tempat tidur, foto mereka berdua tersandar di bingkai kayu kecil. Senyum Kayla yang dulu selalu membuat Nathan merasa cukup, kini tampak berbeda. Lebih tenang, tapi ada jarak yang terasa dalam tatapannya. Nathan menatap foto itu, memutar perlahan dalam tangannya, seolah mencoba mengingat aroma percakapan, tawa, dan semua hal yang kini terasa rapuh.
"Aku nggak tahu apa yang membuat kamu menjauh bahkan di saat jarak kita masih dekat."
Nathan menarik napas. Tangannya meraih dasi, mengencangkan simpulnya dengan gerakan otomatis, tapi pikirannya masih di sana. Di Kayla. Di apartemen yang ia tahu kini terasa sepi dan hening. Ia tahu, sejak beberapa hari terakhir, komunikasi mereka minim. Pesan-pesan balasan Kayla singkat, tanpa hangat, tanpa tanda bahwa ia nyaman.
Nathan menatap sekali lagi wajahnya di cermin, menarik napas panjang, lalu melangkahkan kaki keluar kamar. Langkahnya panjang dan mantap, meski setiap langkah membawanya ke arah apartemen Kayla, tempat di mana semua kegundahan hatinya terkumpul.
Tangannya menggenggam kunci mobil. Ia menatap keluar jendela sejenak, menilai lalu lintas yang mulai ramai. Hujan semalam masih meninggalkan genangan di jalanan, tapi pagi ini lebih bersih, lebih terang. Nathan menarik napas dalam, mencoba menenangkan hati.
Nathan menutup pintu mobil dengan lembut, suara klik itu terasa lebih keras dari biasanya di pagi yang tenang. Ia berdiri di sisi jalan, memandangi gedung apartemen Kayla yang menjulang di depannya. Sinar matahari pagi menembus celah-celah jendela apartemen.
Beberapa hari tanpa komunikasi, beberapa hari balasan pesan yang singkat dan dingin, membuatnya merasakan jarak yang tak terlihat tapi nyata. Nathan menunduk sejenak, menatap tangannya yang masih menggenggam kunci mobil. Berat rasanya, tapi ia tahu satu hal, ia harus ada di sini. Harus melihat Kayla, walau hanya sebentar, walau ia tak tahu apa yang akan terjadi. Ia harus bicara.
Ia menatap gedung itu sekali lagi, lalu melangkah mendekat ke pintu apartemen. Setiap langkah terasa lambat, tapi mantap. Nathan menahan napas ketika kakinya berhenti di depan pintu Kayla. Ia berdiri diam, menunggu. Tidak mengetuk, tidak memanggil, hanya menunggu. Hanya berdiri di sana, memandangi pintu yang tertutup, mencoba menebak apa yang ada di balik tirai kayu itu. Apakah Kayla marah, kecewa, atau sekedar lelah.
Pikiran Nathan berkecamuk. Kayla berubah… benar-benar berubah. Suaranya di pesan-pesan terakhirnya singkat, dingin, bahkan cenderung acuh. Tidak seperti biasanya, saat mereka masih bisa berbicara berjam-jam tanpa habis.
Pintu apartemen terbuka perlahan. Kayla berdiri di ambang pintu, mata sedikit merah, wajahnya tampak letih. Nathan yang sudah menahan napas selama beberapa detik, tersentak melihatnya.
Untuk beberapa detik mereka saling terdiam, hanya tatapan keduanya yang nampak bicara. Mata Kayla perlahan berkaca-kaca dan itu membuat hati Nathan merasa tertusuk meski ia tak tahu apa yang membuat air mata itu menggenang.
“Aku sibuk, Nath. Maaf, aku buru-buru,” ucap Kayla pelan. Suaranya datar, tapi nada tergesa di akhir kalimat terdengar seperti upaya untuk menghindar. Ia hendak menutup pintu, namun gerakannya terhenti ketika jemari Nathan lebih dulu mencekal pergelangan tangannya.
Sentuhan itu tidak keras, tapi cukup untuk membuat langkah Kayla berhenti. Udara di antara mereka mendadak menegang. Tubuh mereka kini berdiri dekat, sejajar—hanya beberapa jengkal jarak di antara wajah mereka. Tapi mata mereka tak bertemu; Kayla menunduk, sementara Nathan menatap sisi wajahnya yang terlihat dingin di bawah cahaya pagi.
“Bisa kita bicara?” suara Nathan terdengar pelan, hampir bergetar. “Sebentar saja, Kay.”
Kayla menghela napas pendek, lalu berdehem pelan. Gerakan kecil itu seolah upaya menetralkan sesuatu yang sesak di dadanya. Ia tidak berusaha menarik tangannya, tapi juga tidak berbalik. Diam. Hanya berdiri di sana, di antara keinginan untuk pergi dan perasaan yang masih menahan.
Helaan napasnya terdengar cepat, bukan karena terkejut, tapi karena ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari lagi. Ia tetap diam, menatap ke arah dinding di belakang Nathan, seolah mencari alasan untuk tidak perlu menatap matanya.
"Kayla..." suara Nathan nyaris serak, tapi ia berusaha menenangkan nadanya. "Ada apa? Seingatku terakhir kali kita ketemu, kita baik-baik aja. Semuanya masih hangat." Ia menatap wajah Kayla yang lebih memilih menatap dinding. "Lalu kenapa sekarang kamu menjauh? Aku salah apa, Sayang?"
Ia menghela napas, menggeser sedikit pandangannya agar bisa menatap mata Kayla. "Kita udah dewasa, kan? Tolong jangan buat aku nebak-nebak isi kepala kamu tanpa kamu bilang apa pun."
Kayla mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya tajam tapi bergetar, seperti seseorang yang terlalu lama menahan sesuatu. Mata itu tidak lagi penuh kasih seperti dulu. Hanya ada lelah yang menumpuk dan kecewa yang belum sempat reda.
"Hubungan dewasa?" suaranya pelan, tapi tajam. "Udah berapa kali kamu bilang kayak gitu, Nath?"
Nathan terdiam.
"Setiap kali kita berantem, setiap kali aku ngerasa disakiti, kamu selalu bilang itu ‘hubungan dewasa’. Seolah kata itu bisa nyembuhin semua luka yang kamu buat."
Ia tersenyum pahit. "Yang kamu maksud hubungan dewasa itu apa, sih, Nath? Saling ngerti? Saling ngalah? Atau aku yang harus terus pura-pura nggak tahu setiap kali kamu nyembunyiin sesuatu?"
Nathan tertegun. Kata-kata Kayla jatuh perlahan tapi terasa berat. Ia berusaha mencari alasan, sesuatu yang bisa menjelaskan semua, tapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan.
"Kay, aku cuma—"
"Cuma apa?" potong Kayla cepat, nadanya masih tenang tapi suaranya bergetar. "Cuma nggak sempat cerita? Cuma lupa bilang? Atau cuma nunggu waktu yang tepat yang nggak pernah datang?" Ia menatap Nathan lama, mata mereka akhirnya bertemu. "Aku tahu, Nath. Tentang Kanada."
Keheningan langsung menggantung di antara mereka. Nathan mematung, darahnya seolah berhenti mengalir sesaat.
Kayla menarik napas panjang, mencoba menahan suara agar tidak pecah. "Lucu ya, aku tahu dari orang lain. Bukan dari kamu. Dari semua hal yang kita lewatin, yang kamu pilih untuk aku tahu terakhir justru hal sebesar itu."
Nathan membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Hanya sorot matanya yang panik, canggung, dan penuh sesal.
"Aku tahu kamu punya alasan. Aku tahu kamu selalu punya pembenaran buat semua hal yang kamu rahasiain." Kayla menatapnya lama. "Tapi aku juga punya batas, Nath. Dan kayaknya... aku udah sampai di ujungnya."
Nathan menggenggam tangan Kayla lebih erat, tapi kali ini gadis itu menarik diri perlahan. Gerakannya lembut, tapi pasti.
"Aku capek, Nath," bisiknya. "Capek berusaha ngerti sesuatu yang bahkan kamu nggak mau jujur tentangnya. Aku capek ngertiin kamu terus."
Udara di antara mereka jadi berat. Tidak ada teriakan, tidak ada tangisan. Hanya dua orang yang berdiri di depan pintu, dengan jarak yang terasa lebih jauh dari sebelumnya.