NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: sedang berlangsung
Genre:Dunia Lain
Popularitas:524
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Balasan Malrik

Beberapa hari setelah kemenangan di distrik bawah, Brighthollow mulai berubah.

Pasar kembali dibuka, meski masih penuh puing. Anak-anak berlari di jalan, menyanyikan lagu tentang “Api Biru Pangeran Hale.” Rakyat yang dulu berbisik kini berbicara lantang, menyembunyikan pemberontak di rumah-rumah mereka.

Tapi di balik senyum itu, ketegangan menggantung. Semua tahu Malrik tidak akan diam. Pertanyaan bukan apakah dia akan menyerang, tapi kapan dan dengan apa.

Di ruang strategi, Sir Alden memukul meja kayu. “Kita harus menyerang benteng sebelum bala bantuan tiba. Kalau kita menunggu, Malrik akan mengirim kekuatan yang lebih besar dari Kael.”

Selene menentangnya. “Kita belum siap. Rakyat baru saja bangkit, mereka butuh waktu untuk berorganisasi. Kalau kita serang sekarang, kita akan kehilangan segalanya dalam sekali tarikan nafas.”

Edrick mendengarkan keduanya, matanya menatap peta Brighthollow. “Kita harus tahu dulu apa yang Malrik siapkan. Kita tidak boleh bergerak buta.”

Seolah menjawab ucapannya, pintu terbuka. Seorang pengintai masuk, tubuhnya penuh luka, wajahnya pucat.

“Pangeran… aku lihat dengan mata kepalaku sendiri… mereka membawa sesuatu dari Utara. Sesuatu yang bukan manusia.”

Malam itu, Edrick memanjat menara runtuh bersama Selene. Dari kejauhan, mereka melihat kafilah Malrik bergerak mendekati kota. Api obor berkobar, tapi bukan itu yang membuat jantung mereka bergetar.

Di tengah barisan, ada kereta besi hitam dengan rantai sebesar pohon ek. Dari dalam, suara raungan terdengar—suara yang bukan berasal dari binatang biasa.

Selene menegang. “Itu… tidak mungkin…”

Edrick menoleh. “Apa itu?”

“Cerberith,” jawab Selene lirih. “Binatang neraka berkepala tiga. Legenda bilang hanya bisa dikendalikan dengan darah manusia. Malrik benar-benar putus asa sampai mengeluarkan makhluk itu.”

Keesokan harinya, kabar menyebar cepat. Rakyat Brighthollow mulai ketakutan lagi, bisikan mereka berubah dari pujian menjadi doa putus asa.

“Bagaimana mungkin kita melawan monster?”

“Api biru pangeran tidak cukup untuk itu…”

Edrick berjalan di pasar, mendengar sendiri keraguan itu. Matanya berat, tapi ia tidak marah. Ia tahu: inilah beban seorang simbol.

Di malam yang sama, Roderic mendekatinya diam-diam. Wajahnya penuh keringat, tapi bibirnya tersenyum licik.

“Aku mungkin bisa membantu, Pangeran. Aku kenal orang dalam yang bertugas menjaga rantai makhluk itu. Kalau kau mau, aku bisa atur pertemuan. Dengan harga tertentu, tentu saja.”

Edrick menatapnya dalam-dalam. “Roderic… kalau kau bohong sekali lagi, aku akan pastikan kau terbakar bersama makhluk itu.”

Roderic tersenyum masam, tapi matanya berkilat. “Aku hanya pedagang, Pangeran. Dan pedagang selalu tahu kapan harus pindah kapal.”

Di langit malam, obor-obor Malrik mendekati kota. Sorak prajurit mereka terdengar, mengguncang hati rakyat Brighthollow.

Edrick berdiri di atas dinding tua, Ashenlight bersinar biru di tangannya. Ia menatap kereta besi hitam yang mendekat, rantainya bergetar oleh raungan mengerikan di dalamnya.

Sir Alden berdiri di sampingnya. “Apa pun yang ada di dalam sana… kalau rantai itu putus, Brighthollow bisa hilang dalam satu malam.”

Edrick mengangkat pedangnya ke langit. “Kalau begitu, kita pastikan rantai itu tidak pernah dilepas. Dan kalau lepas… api biru ini akan jadi rantai baru.”

Malam itu Brighthollow terjaga. Dari kejauhan, raungan Cerberith bergema, membuat kaca jendela bergetar dan darah rakyat membeku.

Kereta besi hitam ditarik ke lapangan luar kota. Rantai-rantai sebesar batang pohon ek menahan tubuh raksasa yang menggeliat di dalam.

Prajurit Malrik bersorak, suara mereka seperti badai. Di menara kota, rakyat berkerumun, sebagian menangis, sebagian berdoa.

Sir Alden berdiri di samping Edrick, menatap makhluk itu. “Kalau rantai itu lepas, bukan hanya kota yang hancur. Jiwa rakyat juga akan padam.”

Edrick menggenggam Ashenlight lebih erat. “Maka rantai itu tidak boleh putus.”

Tapi Malrik tidak mengirim Cerberith untuk ditahan selamanya.

Seorang penyihir berpakaian hitam keluar dari kereta lain, tongkatnya berhiaskan tengkorak. Ia mengangkat suaranya, terdengar jelas meski jarak jauh.

“Rakyat Brighthollow! Lihatlah binatang neraka ini! Kalau kalian menyerah malam ini, makhluk ini akan tetap terkekang. Kalau kalian melawan, rantainya akan kuputuskan, dan kalian semua akan jadi makanannya!”

Ketakutan menyapu kota. Bisikan berubah jadi teriakan panik.

Selene menatap Edrick, wajahnya pucat. “Kalau mereka panik, mereka akan menyerah. Api bisa padam sebelum sempat menyala.”

Edrick maju ke depan, berdiri di dinding kota tertinggi. Ia mengangkat pedangnya, nyala biru-perak meledak, menerangi seluruh lapangan.

Suaranya lantang, menembus raungan Cerberith.

“Rakyat Brighthollow! Api mereka adalah ancaman, tapi api kita adalah harapan! Kalau rantai itu terputus, kita yang akan jadi rantainya! Kita bukan mangsa, kita adalah nyala yang tak bisa padam!”

Sorak balasan pecah, meski masih bercampur ketakutan. Tapi rakyat mulai berdiri tegak, sebagian berani mengangkat senjata seadanya.

Penyihir Malrik tertawa. “Kau pikir teriakan bisa menahan neraka?”

Ia menghantam tanah dengan tongkat. Rantai-rantai hitam bergetar… lalu putus satu per satu.

Dari dalam kereta, Cerberith melompat keluar. Tiga kepala berapi, gigi sebesar pedang, mata merah menyala. Tubuhnya raksasa, cakarnya menghancurkan batu seolah kertas.

Raungan menggelegar, membuat bumi berguncang.

Pasukan Malrik bersorak. Rakyat berteriak ngeri.

Edrick melompat turun dari dinding, mendarat di lapangan dengan Ashenlight menyala penuh. Api biru membungkus tubuhnya, membuatnya tampak seperti sosok dari legenda.

“Kalau api neraka datang,” katanya pelan, tapi terdengar oleh semua, “maka api kita akan menantangnya.”

Cerberith mengaum, lalu menyerbu.

Pertempuran pecah.

Tiga kepala makhluk itu menyemburkan api merah, melumat rumah dan menara. Prajurit pemberontak berlari, mencoba mengalihkan perhatiannya dengan panah, tapi tubuh raksasa itu hampir tak terluka.

Edrick berlari ke arahnya, Ashenlight beradu dengan taring sebesar tombak. Ledakan api biru dan merah menghancurkan tanah di sekitar mereka.

Selene melindungi rakyat dengan barikade sihir, sementara Sir Alden memimpin prajurit melawan pasukan Malrik yang ikut menyerang dari belakang.

Dalam duel sengit itu, Edrick sempat terlempar ke tanah. Cerberith menunduk, tiga kepala siap mencabiknya.

Tapi di antara asap, suara rakyat menggema:

“Berdiri, Pangeran!”

“Api biru milik kita!”

“Jangan biarkan kami padam!”

Edrick bangkit, darah mengalir di pelipisnya, tapi matanya menyala lebih terang. Ashenlight bergetar, seolah menyerap sorakan rakyat.

Dengan teriakan, ia melompat lagi, menancapkan pedang ke dada makhluk itu. Nyala biru membara, menahan kekuatan api neraka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!