⚠️Mature Content (Harap bijak memilih bacaan)
“Dia hanya bosku… sampai aku terbangun di pelukannya."
Aku mencintainya apapun yang mereka katakan, seburuk apapun masa lalunya. Bahkan saat dia mengatakan tidak menginginkan ku lagi, aku masih percaya bahwa dia mencintaiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Priska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isi Hati Anna
Halo kita lanjut lagi pelan-pelan ya.
Anna kembali ke kerumunan. Musik makin riuh, gelas-gelas beradu, dan tawa karyawan terdengar bercampur dengan aroma alkohol yang memenuhi ruangan. Daniel sudah menunggunya, dengan senyum ramah yang seakan mudah saja muncul setiap kali melihat Anna.
“Nona Anna, akhirnya kau kembali,” Daniel sambil menyerahkan segelas minuman lain.
Anna menerima, menyesap perlahan. Awalnya ia masih bisa mengontrol, tapi setelah beberapa kali tegukan, tubuhnya mulai terasa hangat berlebihan. Pandangannya sedikit buram, senyumnya muncul lebih sering dari biasanya.
Daniel tertawa kecil melihatnya. “Kau ternyata mudah diajak bersenang-senang juga. Kukira kau tipe yang terlalu serius.”
Anna hanya mengangkat bahu, langkahnya sedikit tidak stabil. “Mungkin… aku butuh ini sesekali .”
Percakapan mereka terus berlanjut. Sesekali Anna menunduk, sesekali ia tertawa kecil, tapi jelas bahwa kesadarannya sudah tidak seutuh biasanya.
Melihat kondisi Anna, Daniel akhirnya bicara serius. “Anna, aku rasa sudah cukup untukmu malam ini. Biar kuantar pulang ya.”
Namun sebelum ia sempat bergerak lebih, suara berat namun tegas terdengar dari arah belakang.
“Tidak usah. Aku yang akan mengantarnya.”
Daniel menoleh. Jonathan, tatapannya datar, dingin, tapi cukup kuat untuk menghentikan langkah siapapun.
“Mr. Jonathan…” Daniel berusaha menahan. “Saya hanya—”
“Terima kasih,” potong Jonathan pendek. “Kau sudah cukup menemaninya.” Ucap Jonathan.
Daniel menghela napas, lalu mengangguk kecil. “Baiklah.” Ia menatap Anna sebentar, lalu mundur, membiarkan Jonathan membawa pergi.
Jonathan membawa Anna perlahan menjauhi kerumunan orang-orang yang masih menikmati pesta. Ia tidak megandeng ataupun merangkul Anna, ia hanya menjaga Anna tetap stabil melangkah, meski sesekali Jonathan masih harus memberi tahanan agar Anna tidak jatuh.
----------------
Area Parkir.
"Masuk..." Ucap Jonathan saat membuka pintu mobil untuk Anna.
Suasana jauh lebih hening. Hanya deru mesin dan cahaya lampu jalan yang masuk dari kaca jendela. Anna bersandar dengan kepala menempel pada kursi, tangannya menggenggam tasnya erat.
Beberapa menit mereka terdiam, hingga tiba-tiba Anna mulai bicara dengan suara lemah.
“Mr. Jonathan…”
Jonathan melirik sekilas. “Hm?”
"Kenapa kau mengantarku pulang. Bukankah acara belum selesai."
"Hentikan omong kosong mu itu. Kau mabuk." Jawabnya.
"Mr.Jonathan....Kau baru memarahi ku lalu sekarang kau mengantarku pulang. Kau ini benar-benar aneh." Anna tertawa kecil mengatakannya.
Jonathan tidak menjawab.
"Mr. Jonathan kenapa kau diam saja. Ayo jawab aku." Pinta Anna.
Hening tanpa jawaban....
"Kau selalu membuat ku bingung. Kadang kau menarikku mendekat, tapi kemudian kau berkata Anna aku tidak memerlukan mu.”
"Nona Anna....Aku tidak pernah mengatakan itu." Jonathan mulai merespon ucapan Anna.
"Memang tidak. Tapi itulah arti ucapanmu. Kau hanya memperlembutnya. Tetap berada di sisimu. Lalu setelah itu apaaaa...?."
"Anna—."
"Sssttss...Kau diam." Anna memotong. "Untuk apa seperti ini? Kau bisa memiliki hubungan seperti itu setiap waktu. Hari ini kau memberi perhatian padaku, Keesokan paginya media menyorotimu. CEO Amstel Core Group tertangkap kamera sedang bermalam dengan seorang wanita....."
Anna melirik kearah Jonathan.
"Kau bisa menutup berita itu. Kau bisa menyangkal nya. Tapi kau dan aku tahu apa yang terjadi !."
Jonathan menoleh pelan ke arah Anna.
Nafasnya terdengar berat, meski wajahnya tetap datar. Tangannya menggenggam setir sedikit lebih kencang.
"Apa kau sudah selesai?." Tanya Jonathan.
Anna melanjutkan, suaranya bergetar. “Aku ingin menjauh, tapi hatiku tidak mengizinkan. Aku ingin berhenti peduli, tapi kau selalu menggoyahkan perasaanku. Jadi sekarang… aku tidak tahu lagi. Selain menghindarimu.”
Hening kembali mengisi mobil. Jonathan melirik sekilas ke arahnya—wajah Anna lelah, matanya setengah terpejam, namun kata-katanya menusuk tanpa ragu.
Akhirnya ia bicara, suaranya rendah dan terkendali. “Anna. Kau tidak sepenuhnya sadar malam ini. Tapi aku tahu… kau jujur.”
Anna tersenyum getir, matanya perlahan terpejam. “Mungkin hanya di saat seperti ini… aku bisa bicara.”
Jonathan tidak menjawab lagi. Ia hanya menatap jalan, wajahnya tetap dingin, namun dalam hatinya tahu—kata-kata itu akan terus teringat, tidak peduli seberapa samar keadaan Anna saat mengucapkannya.
"Anna... Apa kau harus ku antar dengan keadaan seperti ini?." Tanya Jonathan.
Mobil meluncur tenang menembus jalanan malam. Sesekali lampu jalan memantul di wajah Anna yang kini terpejam, napasnya teratur, tanda ia sudah benar-benar jatuh tertidur. Jonathan melirik sekilas—tangan Anna masih menggenggam tasnya erat, seakan itu satu-satunya pegangan di tengah rapuhnya dirinya malam ini.
Ketika mobil berhenti di depan rumah Anna, Jonathan mematikan mesin. Hening menyelimuti sekeliling, hanya terdengar suara jangkrik dari kejauhan. Ia menoleh ke samping. Anna masih terlelap, tubuhnya sedikit miring.
“Anna...” panggilnya pelan, mencoba membangunkan. Tidak ada respons.
Ia menghela napas panjang, lalu keluar dari mobil. Dengan hati-hati, ia membuka pintu di sisi Anna. Jonathan melepaskan tas yang digenggam erat dari tangannya, lalu mengangkat tubuh Anna ke dalam pelukannya.
Sentuhan itu membuat kepala Anna bersandar pada bahu Jonathan, wajahnya tampak begitu tenang. Sementara Jonathan tetap menjaga ekspresinya datar, tapi genggamannya kokoh, penuh kendali.
Langkah kakinya terdengar mantap di halaman rumah. Ketika sampai di depan pintu, ia sempat ragu sejenak, tapi kemudian menekan bel. Tak lama pintu terbuka—seseorang dari keluarga Anna keluar, menatap terkejut.
“Maaf mengganggu. Anna… terlalu lelah malam ini.” Suara Jonathan rendah, tenang, nyaris tak terbaca emosi.
Ia menunduk sedikit, menyerahkan Anna yang tertidur dalam gendongannya. Ada tatapan sekilas yang tak bisa disembunyikan—campuran dingin dan sesuatu yang lebih dalam, yang ia sendiri enggan akui.
Begitu Anna dipindahkan dengan hati-hati ke pelukan keluarganya, Jonathan mundur selangkah. Ia hanya mengangguk singkat, lalu berbalik menuju mobil tanpa menoleh lagi.
Mesin kembali menyala. Lampu mobil menyapu halaman rumah sebelum menghilang di jalan gelap.
Namun di balik wajah yang tetap datar, Jonathan tahu: kata-kata Anna di dalam mobil tadi akan menghantuinya jauh lebih lama daripada yang ia perlihatkan.
...****************...