Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sabtu di Sekolah
Lagi-lagi Gita membuang napas kasar. Pikirannya berputar-putar, menerka tersangka yang hari itu menyakiti Denting saat sekolah telah sepi. Mata gadis itu kembali melirik buku sketsa rusak yang ingin ia tunjukkan pada Rudi, lalu sebuah ide melintasi kepalanya.
"Kalau sekarang gue menyentuh lagi cat merah itu, apa ingatan soal si pengancam akan kembali muncul. Ah atau bisa jadi sekarang semakin jelas," gumamnya pelan.
Gita menelan ludah, pengalaman mendebarkan serta ngeri yang ia rasakan saat teringat ancaman tersebut untuk pertama kalinya, sejenak membuat hatinya ciut.
"Gue gak boleh takut duluan! Gwenchana ... gwenchana ... ayo kita coba! Bismillah!" Gita memantapkan hati dan mengambil buku sketsa rusak tersebut.
Gita bedehem mengatasi kegugupannya lalu, ia pun membuka halaman demi halaman buku tersebut dan ingatan lain mulai merayap masuk, padahal ia belum sampai pada halaman berisi tulisan ancaman.
"Kem-kembalikan buku gue!" cicit Gita.
Kini Gita 37 tahun kembali menelusuri memori dirinya yang masih belia, dan ia mendengar suaranya sendiri meski tak merasa bicara.
Gita melihat ruangan tempat ia kembali ke masa ini, dan dirinya tengah duduk di lantai. Di hadapannya, tampak Karen dan Ara tengah duduk di tepi meja, sambil melihat-lihat sketsa serta lukisan di buku ukuran A4 milik Gita.
"Gila ... Bagus-bagus banget!" puji Ara spontan.
Karen mendelik sebal pada Ara. "Kayak gini Lo bilang bagus? Cih! Selera lo rendah banget!"
Ara merapatkan bibirnya, sadar telah salah bicara.
Gita mendengus dalam hatinya. Jelas ia tadi melihat sorot kagum sekaligus iri dari mata Karen.
"Tolong, kembalikan, Karen," lirih Gita belia lagi, memaksakan keberaniannya.
Batin Gita meronta, ingin ia membatu dirinya yang muda ini untuk menerjang Karen dan mengambil buku sketsa miliknya.
Namun ia tak bisa. Ini hanya ingatan, dan telah berlalu.
"Oke! Nih, gue balikin," ucap Karen, membuat mata Gita belia memancarkan secercah binar gembira.
Sreeek ... sreeek ... sreeek.
Karen merobek satu per satu halaman berisi karya yang Gita buat dengan susah payah.
Hati Gita belia mencelos, air matanya lolos, hatinya seolah terkoyak melihat kertas buku sketsanya dirusak di depan matanya.
Sedang mata Karen menatap sinis pada Gita, dengan tangan yang terus merobek dan meremas lembaran buku berisi karya gadis itu.
Usai puas merusak, ia menjatuhkannya ke lantai dan menginjak buku itu dengan sepatunya.
"Tuh! Ambil!" tukas Karen sabil tertawa mengejek.
"Kurang ajar Lo, Karen!" geram Gita dengan hati bergejolak.
Lalu sedetik kemudian kesadaran Gita kembali, pada tubuhnya yang duduk di kamar, dengan air mata membasahi pipinya.
Gita memegangi dadanya yang sesak. Nyeri, luka itu ada dan masih ada. Bahkan hingga ia dewasa pada 20 tahun ke depan, namun ia mengabaikan, melupakan dan menyangkal keberadaan luka pembulian tersebut, dengan dalih melanjutkan hidup.
"Maafkan aku, wahai diriku yang tersakiti. Harusnya sejak dulu luka ini dihadapi dan diobati," liriknya sambil memeluk dirinya sendiri dengan rasa kasihan.
***
Esok harinya. Gita bersekolah seperti biasa. Pada tahun 2004, hari sabtu masih digunakan untuk kegiatan belajar dan mengajar. Tidak seperti beberapa tahun setelahnya di mana para siswa sudah santai berlibur, namun tentu saja dengan konsekuensi jam belajar yang lebih panjang di lima hari lainnya.
Gita menghirup aroma sekolah hari sabtu, ada harum kebebasan yang keceriaan yang berbeda di hari ini. Para siswa tetap berseragam, namun dengan lebih santai.
Sepatu mereka yang biasanya hanya boleh berwarna hitam polos, pada hari ini seolah berlomba-lomba memperlihatkan warna-warni yang berbeda. Suara petikan gitar terdengar di sudut-sudut kelas. Ya, hari sabtu mereka boleh membawa dan memainkannya di sela jam pelajaran.
Jangan lupakan aneka rencana sepulang sekolah yang tentunya menambah semangat mereka, karena nanti bisa bermain sepuasnya, tak perlu memikirkan lelah dan takut kesiangan keesokan harinya.
"Ah, menyenangkan banget hari sabtu di sekolah," ujar Gita tersenyum lebar sambil menengok ke kanan dan kiri, meresapi aura kegembiraan di sekitarnya.
Namun senyum di wajah Gita raib kala melihat Karen di selasar sekolah yang menghadap taman.
"Karen," desisnya, seraya berjalan menghampiri gadis itu.
Gita melangkah penuh amarah, dengan tangan terkepal, siap meluapkan sakit hati atas luka diri belianya. Tapi, saat jarak mereka mulai mendekat, sepasang tangan mencengkram kedua lengan bagian atasnya, berusaha menghentikan gerak gadis itu.
"Stop Gita!" seru sosok di berdiri tepat di belakang Gita.
Gita tak peduli, dan terus bergerak, namun tertahan. Mau tak mau gadis itu berhenti.
"Lepas!" desisnya dingin, namun tangan yang menahannya itu tak bergeming.
"Enggak, Gita. Saya enggak akan lepasin, sebelum emosi Kamu reda," tutur suara itu dengan tenang tapi tegas.
"Jangan ikut campur, Gio," geram Gita, penuh penekanan.
Tapi Gio tak peduli.
"Sidang dengan wali murid dijadwalkan senin nanti. Saya bisa menebak apa yang akan Kamu lakukan kalau saat ini, saya biarkan Kamu nyamperin Karen," ucap Gio.
"Saya, gak mau lihat situasinya jadi berbalik merugikan Kamu. Biarlah mereka mendapat hukumannya dengan tanpa Kamu harus mengotori tangan sendiri," lanjut Gio.
Kata-kata yang Gio ucapkan dengan tenang itu berhasil memengaruhi pikiran Gita yang berkabut oleh emosi. Perlahan amarahnya mereda, ia kembali berpikir logis dan panjang, selayaknya wanita berusia 37 tahun.
Gita memejamkan mata dan mengatur napasnya. Lalu menyentuh tangan Gio yang masih memegangi lengannya, meski cengkramannya sudah mengendur.
"Makasih, Gio. Gue udah gak niat nyamperin Karen," ucap Gita dengan suara yang sudah kembali seperti biasa.
Gadis itu menoleh dengan sedikit mendongak, untuk melihat wajah Gio yang lebih tinggi darinya itu.
"Ciyeee pagi-pagi udah mesra aja kalian berdua! Mantang-mentang mau malem minggu." Suara cempreng Yuli terdengar, bersamaan dengan kemunculan sosoknya di depan Gita.
Gio tersentak dan spontan melepaskan tangannya dan melangkah mundur, wajah Gio tampak merona, membuat Yuli semakin gencar menggodanya.
Gita tertawa melihat tingkah kedua temannya itu. Gio bener, gue gak perlu bertindak bodoh. Tapi gue masih merasa harus minta penjelasan Karen atas tindakannya.
Gita menoleh sejenak ke arah Karen yang tengah tertawa-tawa bersama teman-temannya. Samar Gita mengingat, jika sebelumnya ia dan Karen tak pernah bermusuhan, tapi gadis itu merundungnya sejak kelas dua.
"Masa sih karena 'memperebutkan' Gio?" gumamnya, lalu menatap ketua OSIS yang masih salah tingkah digoda oleh Yuli.
"Yah dia emang ganteng sih, kayak oppa oppa Korea. Mirip Hwang Min ... Hwang Min ... apa gitu?" gumam Gita lagi.
Setelah puas menggoda Gio, Yuli menghampiri Gita dan merangkulnya.
"Lo, utang penjelasan sama gue! Kok bisa berduaan sama Gio pagi-pagi?" bisik Yuli penasaran.
"Lah, Lo tanya ajalah sama dia," tunjuk Gita dengan dagunya ke arah Gio.
"Saya cuma mencegah keributan aja, seperti yang udah saya bilang tadi," ujar Gio lelah, karena Yuli tadi gencar meledeknya.
Yuli mendengus. "Gak percaya gue," ujarnya, lalu melepas rangkulannya dari Gita.
"Git, kaki lo pada sakit gak? Gue pegel banget! Kak Tomy lupa apa ya, kita ke sana kan naek mobil bareng dia. Maen ninggalin aja," tutur Yuli.
"Kalian ngapain pergi sama kak Tomy?" tanya Gio heran. Bukannya terakhir kali ketemu di kantin itu, mereka kak Tomy dan Gita kayak orang berantem ya?
"Ciyeee, Ayang cemburu ... nih," goda Yuli lagi tapi Gio kini cuek saja, apalagi Gita, gadis itu memutar bola matanya malas.
"Udah, Lo jangan gangguin ketua OSIS mulu, ngamuk bahaya, bisa disidang Lo nanti," ujar Gita membuat Yuli diam.
"Eh iya Yul. Lo tau gak Denting tinggal di mana?" tanya Gita, iseng saja. Ya kali aja kan, Yuli tau.
Mendengar nama Denting disebut, Gio membeku. Hatinya tiba-tiba bergetar.
"Kamu ... ngapain nanya soal itu, Git?" tanya Gio dengan ekspresi yang sulit dibaca.
***
Salam Dari "Lina : The Screet Of The Ten Haunted Souls" /Smile/