Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29 Email masuk
Email masuk di ponsel Naru. Isinya tak cukup satu, curahan hati seorang istri tertulis di sana. Mata dan hati rasanya panas ketika membacanya, hingga air mata ini ingin sekali menetes.
Bunda menulis dengan nada getir. Memutuskan untuk kembali ke Jepang karena sudah tak sanggup lagi melihat kelakuan suami dan sahabatnya sendiri. Kata-kata itu terbaca seperti keluhan, “Aku muak. Aku benar-benar muak!” begitu tulisnya.
Mamiya semakin congkak.
Ia berjalan di rumah itu seperti seorang ratu baru, mengaku akan menjadi nyonya besar. Dengan bangga menguasai tanah, harta, dan semua fasilitas yang dulu dibangun dari keringat bersama. Dan yang paling menyakitkan, semua itu ia dapatkan... berkat pembelaan dari Rudi. Suami yang seharusnya menjaga kehormatan rumah, bukan malah menghancurkannya.
Pertengkaran di rumah sudah tak terhitung lagi. Setiap malam berubah jadi medan perang kata-kata. Rudi membela Mamiya, Mamiya menertawakan Bunda, dan Bunda... hanya bisa menahan air mata sambil berpura-pura kuat.
Ia sudah terlalu lelah mencoba menyelamatkan sesuatu yang hanya dirinya yang dituntut bertahan. Dalam pesannya yang terakhir, Bunda menyinggung tentang Naomi.
Gadis itu semakin berani. Berani mencaci, berani merendahkan. Namun yang membuat Bunda sangat cemas bukan dirinya sendiri, tapi Nuha.
“Istrimu itu kuat, Naru... tapi bunda tahu betul rasanya jadi perempuan yang terus menahan,” tulisnya lirih. “Bunda takut dia akan seperti Bunda. Hancur pelan-pelan dari dalam, tapi tetap tersenyum agar tak ada yang sadar.”
Setelah membaca pesan itu, hati Naru serasa diremas. Setiap kata terasa seperti hantaman di dada. Campuran antara amarah, penyesalan, dan ketakutan yang belum sempat ia hadapi.
Perlahan Naru meneleponnya. “Bunda," suaranya memohon dengan lembut. "Tolong jangan pergi. Aku mohon, tetaplah di sini. Bersama aku, Nuha, dan Dina. Aku yang akan urus Ayah. Kalau Bunda tak tahan di rumah itu, biar aku carikan tempat tinggal baru. Tapi, tolong... jangan pergi sendirian. Kami butuh Bunda. Aku nggak mau Bunda merasa kesepian lagi.”
Dan malam itu,
Naru memutuskan untuk pulang. Tanpa membawa drama apa pun, ia memilih waktu paling hening, saat semua orang masih terlelap di waktu sebelum subuh menjelang.
Dengan bantuan pengawalnya, ia digendong di pundak, menapaki anak tangga satu per satu menuju kamar tempat Nuha berada. Langkah itu perlahan, tapi pasti dan penuh harapan.
Sesampainya di depan pintu kamar, Naru tersenyum kecil. “Tulisan itu sudah nggak ada,” gumamnya lirih, mengingat kertas larangan yang dulu sempat menempel di sana.
“Dudukkan aku di kursi itu,” katanya pada pengawalnya. Tangannya menyandarkan tongkat kruk di sisi meja.
“Baik, Tuan,” jawab sang pengawal, membantu menurunkannya dengan hati-hati.
Begitu tubuhnya bersandar, Naru menarik napas panjang. Kakinya masih terasa nyeri, tapi hatinya terasa tenang, mungkin karena ia akhirnya pulang ke rumah yang sesungguhnya.
Pandangan matanya jatuh pada punggung istrinya yang terlelap selalu menghadap tembok. Ia tersenyum hangat. “Ini waktu yang tepat untuk membangunkan putri tidurku,” bisiknya.
Lampu temaram memeluk suasana kamar, menghadirkan kedamaian yang ia rindukan selama ini. Perlahan, Naru menarik laci panjang di sudut ruangan. Sebuah piano elektrik menunggu yang sudah lama tidak ia sentuh.
Tangannya bergetar sedikit saat menekan tombol daya. Nada 'la' pertama ia tekan. Terdengar, lembut, seperti sapaan lama yang tak lagi asing. Ia menarik napas sekali lagi, lalu jemarinya mulai menari, memainkan Canon in D – Pachelbel.
Nada-nadanya mengalir pelan, menembus keheningan dini hari. Setiap denting seolah menjadi doa, setiap harmoni seperti bisikan rindu yang lama tertahan.
Petikan lembut dari jari Naru menyentuh tuts piano, membuka pagi dengan keheningan yang berirama. Bait pertama Canon in D terdengar begitu pelan, tapi penuh perasaan.
Di sisi kamar, Nuha yang masih tertidur mulai menggeliat. Nada yang terasa familiar di telinganya, menembus mimpi yang samar. Nada yang ia sukai dari film Jepang favoritnya, kisah tentang kucing dalam Kimi to Boku.
Ia perlahan membuka mata.
Tubuhnya berbalik, duduk bersimpuh di atas kasur, menatap arah sumber suara. Dan di sana, di bawah cahaya lampu temaram, Naru sedang memainkan piano.
Matanya membulat, lalu berkaca-kaca.
Nostalgia seakan menari di udara, membawa potongan kenangan yang dulu mereka simpan rapat-rapat. Tentang malam ketika ia bermalam di kamar Naru, tentang Naru yang diam-diam menatapnya tidur dari sofa, dan tentang alunan lembut yang sama dari jemari itu.
Ingatannya mengalir seperti film yang diputar ulang di atas kepala. Setiap nada membawa kehangatan, setiap harmoni menghidupkan kembali rasa yang nyaris terlupa.
Ketika lagu itu usai, Naru menatapnya lembut. Senyumnya hangat. “Aku pulang, Nara,” sapanya.
Nuha menatapnya tak percaya.
“Kamu... tau lagu itu?”
Naru mengangguk pelan, “Karna aku yang memainkannya. Aku nggak pernah lupa. Tentang kamu, tentang kita dan segala kenangan yang terikat bersama kita.”
“Em...”
Naru membiarkan keheningan itu merambat. Ia sengaja tidak bicara lebih dulu. Ia tahu, kalau dia cukup sabar, Nuha pasti akan canggung sendiri.
“Em...” Suara Nuha akhirnya terdengar lagi. Ia menurunkan kakinya dari kasur, berjalan pelan mendekati piano.
Tatapan Naru menelusuri setiap langkahnya, begitu lembut. Terlalu tampan, sampai-sampai Nuha hampir salah tingkah sendiri. “Aku... tentang itu,” ucap Nuha gugup, matanya melirik sekilas, lalu buru-buru berpaling lagi.
“Aku minta maaf... tentang kemarin. Aku nggak bermaksud marah. Aku cuma-- Em...” Telunjuknya saling menaut di depan dada.
Naru menyela pelan, senyumnya tipis. Tak tahan melihat wajah merona karena malu itu, “Aku boleh cium kamu nggak?”
“Ha? apa sih!”
Spontan Nuha membungkam mulut Naru dengan telapak tangannya. "Selalu aja gitu," kesalnya.
“Aw!!” Naru meringis. Rupanya kakinya ikut kesenggol karena tingkat Nuha.
“Ma-- maaf!” Nuha panik, lalu berdecak kesal. “Plis ya, bisa nggak sih jangan flirting duluan? Aku mau sedikit momen romantis dan canggung gitu, tapi kamu selalu bikin adegannya berantakan!”
Naru terkekeh kecil. “Bukannya minta cium itu romantis?” Ia menaikkan satu alis, pura-pura polos.
“Entahlah! Entah kenapa tiap kamu ngomong, aku tuh pengen... Hih! kesel pokoknya.”
“Kesel tapi kangen, kan?” goda Naru cepat.
“Naru!”
“Sini,” ujarnya lembut, menatap Nuha penuh harap, “aku cuma pengin peluk. Peluk aku donk.”
“Naru!!”
Ia memejamkan mata, pura-pura pasrah. “Ya udah deh... kalau peluk nggak boleh, gendong aja aku. Bisa kan? Gendong aku donk.” Tangannya meraih menirukan Hana yang suka minta gendong.
“Hah! Mana bisa!” Nuha melotot.
“Kakiku sakit, Nara. Aku habis kena tembak.” Ucapannya pelan sambil manyun.
“A-- apa?!” Nuha membelalak kaget.
Pagi pun menjelang.
Sesuai permintaan Naru, Bunda Maya mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Baru saja ia menutup resleting terakhir, suara pintu kamar berderit. Suaminya pulang.
Rudi berdiri di ambang pintu, menatap koper itu lama, kemudian melepas jas dan dasinya perlahan tanpa rasa peduli. “Maya,” suaranya datar tapi lembut, “kamu benar-benar yakin mau meninggalkan rumah ini?”
Maya berhenti sejenak, lalu menoleh dengan mata lelah. “Aku sudah tidak ingin mempertahankan kebersamaan kita.”
Rudi menarik napas panjang, melangkah mendekat. “Padahal... sedikit lagi saja. Kalau kamu mau bertahan, neraka yang sedang kamu tempati ini... suatu saat bisa jadi surga.”
“Berhentilah bermain dengan kata-kata, Anata,” ucap Maya dingin. “Aku muak dengan janji dan metafora yang selalu kau sembunyikan di balik dosa.”
Rudi tersenyum tipis, tapi matanya serius. “Neraka bagimu... memang surga bagi Mamiya. Tapi aku hanya membalas kebaikannya, sayang.” Ia menatap Maya lebih dalam. “Kau pikir aku bodoh? Aku tahu wanita itu licik. Tapi satu-satunya cara menghentikannya... adalah membiarkannya merasa menang dulu.”
“Cukup!!” Suara Maya meninggi, menembus udara pagi yang hening. Ia memalingkan wajah, menahan getar di suaranya. “Berhentilah bicara. Dan biarkan aku pergi... sebelum aku benar-benar kehilangan sisa hormatku padamu.”
Mobil telah siap.
Dengan bertumpu pada kruk, Naru berdiri tegak di hadapan ayahnya. Tatapannya tenang, tapi suaranya menggetarkan seluruh ruangan.
“Ayah… aku menghormatimu sebagai kepala rumah tangga, dan menyayangimu sebagai ayahku sendiri. Tapi kalau Ayah masih menganggap kekuasaan lebih berharga daripada keluarga, maka hari ini aku akan membawa Bunda, istriku, dan adikku keluar dari rumah ini.”
Ia berhenti sebentar, menarik napas dalam, menahan emosi yang nyaris pecah. “Aku meminta dengan jalan damai dan penuh hormat. Jadi jangan ‘bakar’ rumah kami yang baru. Karena mulai hari ini, aku akan melindungi Ibu dan Dina bahkan kalau itu berarti harus melawan darahku sendiri.”
Naru menatap ayahnya untuk terakhir kalinya. “Ayah tetaplah ayah bagiku. Aku masih berharap Ayah berubah. Tapi untuk sekarang… kami pamit.”
.
.
.
. ~Bersambung...
siapa nih? mantan? saudara? musuh? orang random yang tiba-tiba jadi penting? PLOT TWIST PLS???!!
Overthinking-nya udah level hard “aku nggak pantas jadi manusia di ruangan ini” 😭😭
Tapi dia berani nggak ya keluar rumah? Kalau dia drop lagi gimana? 🥺
HELLOOO??? /Curse//Curse//Curse/
Emoji otak ku: 🤨➡️🤯➡️😵💫
Overthinking ku udah bikin teori 50 scene berbeda yang bakal kebongkar 👍
INI SIH SERANGAN NINJA YANG SANGAT TENANG TAPI MENGHANCURKAN.
That’s not a gift. That’s a bomb.