Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 – Perjalanan ke Drakthar
Setelah ujian di Arena Arcanum berakhir, Ardyn tidak lagi sama bagi Kael.
Sebagian rakyat mulai memandangnya dengan hormat, sebagian lagi dengan ketakutan baru. Gelar Penjaga Bayangan yang diberikan Dewan Arcanum bukan sekadar penghormatan—itu adalah pengingat bahwa dirinya kini memikul tanggung jawab besar.
Malam itu, di ruang pertemuan kecil yang diterangi lilin, Kael, Lyra, Soren, dan Elira duduk melingkar di atas meja peta besar. Peta itu memperlihatkan bentang Eldoria, dengan sebuah lingkaran merah pekat di ujung timur: Drakthar, tanah terlarang.
Elira menunjuk daerah itu dengan jari rampingnya. “Di sinilah Gerbang Bayangan asli tersegel. Jika tidak segera diamankan, bayangan akan terus mencari jalan keluar. Apa yang kau hadapi di arena hanyalah tiruannya.”
Kael menatap titik itu dengan perasaan campur aduk. “Jadi semua ini… belum berakhir.”
Lyra mencondongkan tubuhnya. “Tidak. Itu baru permulaan. Drakthar bukan sekadar tempat berbahaya. Tanah itu terkutuk. Hanya sedikit yang pernah kembali dari sana.”
Soren menyeringai tipis. “Huh. Terkutuk atau tidak, kita tidak punya pilihan lain. Kalau Gerbang itu terbuka, seluruh Eldoria akan hancur. Jadi kita harus lebih dulu sampai di sana.”
Elira menghela napas, lalu mengeluarkan gulungan kuno dari tasnya. “Aku menemukan catatan lama di perpustakaan Arcanum. Ternyata Drakthar dulunya adalah pusat kerajaan kuno yang menyembah bayangan. Mereka membangun kota di sekitar gerbang, berharap mendapatkan kekuatan dari sana. Tapi pada akhirnya, mereka dimakan oleh kegelapan itu sendiri.”
Kael menggenggam erat pinggiran meja. Seolah sejarah itu adalah bayangan dari masa depan dirinya sendiri.
---
Beberapa hari kemudian, kelompok itu meninggalkan Ardyn. Gerbang kota dipenuhi rakyat yang berkumpul, sebagian melambai memberi doa restu, sebagian lagi hanya menatap dengan wajah penuh cemas.
“Lihatlah,” bisik Lyra di samping Kael, “mereka berharap padamu, meski mereka juga takut padamu.”
Kael menatap wajah-wajah itu. Ada anak kecil yang bersembunyi di balik rok ibunya, memandangnya dengan rasa ingin tahu. Kael menunduk sebentar, lalu melangkah maju.
Perjalanan panjang pun dimulai.
Mereka menunggang kuda menyusuri padang luas Eldoria, melintasi hutan berkabut, dan menyeberangi sungai deras. Malam hari mereka berkemah, dengan api unggun yang menghangatkan tubuh dan percakapan kecil yang menjaga kewarasan.
Soren sering mengeluh soal makanan kering yang hambar, membuat Lyra mendengus kesal. Elira sibuk membaca gulungan kuno, sementara Kael duduk termenung menatap api, mendengarkan bisikan samar Umbra yang masih mencoba merayunya.
“Kau menuju rumahku, Kael. Kau akan melihat kebenaran. Tak ada yang bisa menghentikanmu. Bahkan teman-temanmu ini hanyalah bayangan singkat dalam perjalananmu.”
Kael mengabaikannya, meski dadanya sesak.
Di hutan Neralith, mereka diserang kawanan Wraith Hutan—makhluk kabut yang haus energi hidup. Kael menghunus pedang bayangannya, sementara Soren menebas dengan cepat, Lyra meluncurkan panah sihir, dan Elira memanggil cahaya perlindungan.
Pertarungan sengit itu menguji kekompakan mereka. Pada akhirnya, mereka berhasil bertahan, meski Kael merasa bayangannya sendiri semakin kuat setiap kali ia melawan.
“Ini baru pemanasan,” gumam Soren sambil mengusap darah di pipinya.
Lyra menatap Kael khawatir. “Kau masih bisa mengendalikan kekuatanmu, kan?”
Kael terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Untuk saat ini… ya.”
---
Hari demi hari perjalanan membawa mereka semakin dekat ke Drakthar. Udara berubah dingin, langit selalu kelabu, dan tanah perlahan menjadi gersang. Pohon-pohon layu, sungai kering, dan burung tak lagi berkicau.
Akhirnya, dari kejauhan, mereka melihat bayangan hitam menjulang di ufuk timur—tembok runtuh dari kota kuno Drakthar.
Kael menahan napas. Tubuhnya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena merasakan panggilan kuat dari sana.
Umbra berbisik pelan, lebih jelas dari sebelumnya: “Kau semakin dekat. Gerbang menunggumu. Kau tak bisa lari dari takdirmu, Kael.”
Kael menggenggam pedangnya lebih erat. Ia tahu, perjalanan ini akan mengubah segalanya—bukan hanya bagi dirinya, tapi bagi seluruh Eldoria.
---