"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 29
Pesta itu berlangsung meriah, penuh tawa dan decak kagum.
Warga Desa Sukasari bersuka cita menyambut kehadiran pejabat dan orang-orang kota. Namun, di tengah kegembiraan itu, sepasang pengantin yang seharusnya menjadi pusat perhatian justru tenggelam—Sinta dan Bagas merasa harga diri mereka diinjak-injak. Semua pujian, semua sorotan, justru jatuh pada Ratih.
Malam hari, di rumah Narti...
“Bapak, apa tidak bisa lebih tegas sama Ratih?” ujar Narti dengan nada tajam, sorot matanya menusuk ke arah suaminya, Karman.
Karman menghela napas panjang, menahan letih yang mulai menggerogoti pikirannya.
“Sudahlah, Narti. Ratih hari ini tidak membuat masalah. Semua warga puas dengan pesta kita. Yang terpenting, kita tidak meninggalkan hutang,” jawabnya tenang, mencoba menetralisir suasana.
“Tidak membuat masalah?” Narti membentak lirih, nyaris berbisik tapi penuh amarah. “Dia datang dengan pakaian mahal, diantar mobil orang kota—itu jelas ingin mempermalukan Sinta! Apa itu bukan penghinaan terang-terangan?”
Karman menatap istrinya lelah. “Ibu benar-benar tidak masuk akal. Apa sebenarnya salah Ratih sampai ibu membencinya begitu dalam?”
“Karena dia anak Laras,” gumam Narti dingin. “Itu saja sudah cukup alasan.”
Karman menunduk. Kalimat itu... kalimat yang sama, selalu keluar dari mulut istrinya sejak bertahun-tahun lalu.
Dulu, Karman adalah anak dari keluarga terpandang. Ia menikahi Narti, wanita pilihan ibunya. Lima tahun pernikahan mereka tak membuahkan keturunan. Diam-diam, Karman menikahi Laras—seorang pegawainya yang sederhana tapi penuh kasih. Dari Laras, ia mendapatkan seorang anak: Ratih.
Ibunya, Mita, sangat membenci perselingkuhan. Begitu tahu, Karman diusir dari rumah, dicoret dari daftar pewaris, hanya diberi beberapa petak sawah di kampung.
Saat menetap di kampung, ia menerima kabar bahwa Laras mengandung. Bergegas ia pergi mencarinya, namun yang ia temukan hanyalah jasad Laras—perempuan itu meninggal saat melahirkan Ratih.
Dengan hati remuk, Karman membawa pulang bayi kecil itu. Awalnya Narti menerima Ratih dengan hati terbuka. Tapi semua berubah ketika Narti akhirnya melahirkan anak kandungnya sendiri: Sinta.
Delapan tahun usia Ratih saat musibah menimpa Karman.
Kecelakaan itu membuat Karman lumpuh, tidak bisa berjalan. Sejak saat itu, posisi dan wibawanya di rumah benar-benar runtuh. Narti—yang dulu hanya menyimpan dendam dalam diam—kini mulai menunjukkan taringnya.
Perlakuannya terhadap Ratih semakin keterlaluan. Ratih kecil, yang belum mengerti apa-apa, tumbuh dalam bentakan, caci maki, dan tudingan sebagai “anak pembawa sial.” Dan Karman hanya bisa diam.
Setiap kali mencoba melindungi Ratih, Narti akan kembali mengungkit dosa lama—perselingkuhan yang merenggut segalanya dari hidup Karman.
Malam itu, di ruang tengah...
“Aku gak mau tahu, Bapak harus bujuk Ratih untuk menyerahkan proyek itu pada Sinta!” tegas Narti, matanya menyala, penuh tuntutan.
Karman duduk terpekur di kursi rodanya, sorot matanya lelah. “Ratih tinggal di mana saja papah gak tahu... dan... gimana papah ke sana?” tanyanya lirih, nyaris menyerah.
“Aku yang akan antar. Tapi ingat, ini harus berhasil. Kalau tidak...” Narti mendekat, suaranya menegang, penuh ancaman, “Aku bisa lakukan hal-hal gila. Aku akan lakukan apa saja demi kebahagiaan Sinta.”
Karman menghela napas panjang. Ia tahu betul maksud Narti—perempuan itu tak segan memakai kekerasan, kebohongan, atau fitnah demi mencapai tujuannya. Termasuk ketika dulu menyebarkan cerita bahwa Ratih adalah anak sial—bahwa kemalangan Karman berasal dari kehadiran bocah tak berdosa itu.
Namun Karman memilih diam.
Jika dengan diamnya, Ratih bisa hidup tenang dan tak ikut hancur bersamanya—maka itu pengorbanan yang layak. Biarlah dia, seorang ayah yang lumpuh dan penuh dosa, menanggung semua luka sendirian.
Deru mobil terdengar di halaman rumah
Warga banyak yang melihat, dua mobil SUV mewah terparkir di depan halaman rumah karman
Seorang lelaki paruh baya menggunakan jas mewah di ikuti 4 orang bertubuh kekar dengan seragam hitam datang ke rumah karman
Pria berjas hitam itu masuk tanpa salam atau permisi ke rumah Karman, sementara empat orang berjaga di luar, menarik perhatian warga yang masih sibuk membongkar tenda sisa hajatan siang tadi.
Karman tercekat saat melihat siapa yang datang—Harun, kakaknya. Dari sembilan bersaudara, Karman anak kelima, sementara Harun anak keempat dari pasangan Paramita dan Jayadi Handoko yang terpandang.
"Selamat malam, adikku. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa," ucap Harun dengan senyum menyiratkan maksud.
"Baiklah, ada keperluan apa datang ke sini?" tanya Karman dengan nada dingin dan sorot mata curiga.
"Jangan marah begitu, santai saja. Kita ini saudara, kan?" ucap Harun dengan nada ringan dan senyum enteng.
“Sudahlah, kalian bukan saudaraku. Di mana kalian saat aku terpuruk dan butuh uang untuk operasi? Kalian semua menghilang,” ucap Karman dengan nada kesal dan terluka.
“Jangan bersikap seperti anak kecil, Karman. Berhenti merengek. Gunakan akalmu sedikit. Kalau mau selingkuh, pilihlah wanita kaya, bukan perempuan rendahan. Kalau selingkuhanmu kaya, mungkin ibu akan memaafkanmu,” ucap Harun, yang memang diam-diam melaporkan perselingkuhan Karman—dengan tambahan bumbu agar ia makin terpojok.
“Sudahlah, kalau tidak ada urusan penting, lebih baik kalian pergi saja dari sini,” ucap Karman dengan nada tegas menahan emosi.
“Oke, aku akan pergi. Aku cuma menyampaikan, ibu sedang sakit dan menyuruhmu datang. Katanya, ibu bersedia menerima kamu kembali—tapi dengan satu syarat,” ucap Harun dengan nada datar.
Mata Karman berkaca-kaca. Sebenci apa pun dirinya pada Paramita, wanita itu tetap ibunya. Meski sering diperlakukan tidak adil, cinta Karman tak pernah hilang. Kabar ibunya sakit membuat hatinya gelisah dan batinnya terguncang.
“Keluarga Lesmana menuntut perjodohan dengan keluarga Handoko. Aku lihat kamu punya dua anak perempuan yang lumayan cantik. Jadi, ibu minta salah satu dari mereka dijodohkan dengan keluarga Lesmana,” ucap Harun dengan nada ringan.
“Aku… tidak…” suara Karman lirih, nyaris tercekat, menolak dengan sisa keteguhan yang masih ia punya.
“Kami mau, Kak… asalkan ibu bisa menerima kami kembali, dan semua fasilitas dari keluarga kembali kami rasakan,” sela Narti, lelah hidup miskin.
..
“Ibu, anak-anak kita sudah menikah semua. Bagaimana bisa menerima syarat itu?” ucap Karman dengan suara tegas, menatap Narti yang terlihat mulai tak masuk akal. Dalam benaknya, ia tak habis pikir—masa iya Sinta yang baru menikah kemarin, bahkan mungkin malam pertamanya belum dijalani, harus diserahkan begitu saja?
Namun Narti tetap bersikukuh.
“Masih ada satu lagi. Memang sudah menikah, tapi cuma nikah sirih. Itu pun bisa kita atur... asal Bang Harun mau bantu. Soalnya, Bang Karman ini terlalu lembek sama anaknya,” ucap Narti dengan nada yakin, menyiratkan rencana yang sudah lama ia simpan.
Harun menghela napas berat, lalu menggeleng pelan. “Kalau memang sudah menikah, meskipun hanya sirih, tetap saja sudah menikah. Mau dicatat negara atau tidak, tetap tidak bisa. Sayang sekali...”
Tiba-tiba perhatian Narti tertuju pada seseorang yang sedang lewat—seorang fotografer yang terlihat membenahi barang-barangnya.
“Hey, kamu!” panggil Narti.
“Iya, Bu? Ada apa?” jawab fotografer itu cepat-cepat menghampiri.
“Kamu sempat foto anak saya yang pertama, kan?”
“Ada, Bu,” jawab si fotografer, lalu menyerahkan kameranya agar Narti bisa melihat-lihat.
Narti menyodorkan kamera itu pada Harun. “Bang, coba lihat ini dulu…”
Begitu matanya menatap layar kamera, mata Harun langsung terbelalak. Napasnya tertahan.
“Siapa ini?” tanyanya terkejut.
“Anak Bang Karman... dari selingkuhannya itu,” jawab Narti kalem, tapi penuh kemenangan.
“Anak Laras?” gumam Harun pelan.
“Iya, Bang,” angguk Narti mantap.
Senyum Harun langsung merekah, semangatnya kembali membuncah.
“Dimana dia sekarang? Dia paling cocok dijodohkan dengan keluarga Lesmana!” seru Harun dengan antusias, seolah baru saja menemukan potongan kunci yang hilang dalam permainannya.
makin seru ceritanya thor
rajin" lah up thor jgn cuma satu