Sisie, Kamu Hanya Bisa Jadi Milikku!

Di depan pintu masuk penyelengaraan 'Pameran Istimewa Chelsea Night', Arthur dan Cassie berdiri berdampingan, tatapan mereka terpaku pada poster besar yang mempromosikan acara tersebut.

Namun, perhatian keduanya berada jauh lebih dalam dari sekadar warna-warna cerah yang menghiasi poster itu.

"Kamu sudah dengar kabar tentang Felix?" Arthur mengalihkan tatapannya, meneliti ekspresi Cassie yang terbalut ketidakpedulian.

Cassie menggelengkan kepala, tidak beranjak dari tatapannya yang penuh fokus pada poster.

"Tidak ada," jawabnya dengan suara datar yang membawa ketegasan.

Dalam pikirannya, Cassie merasa tak perlu lagi memikirkan Felix, sebab dia sudah menutup babak itu dalam hidupnya.

Ketidakpedulian di wajah Cassie membuat Arthur merasa lega seolah-olah kabut gelap yang memenuhi hatinya selama ini mulai menghilang.

“Dia masuk rumah sakit setelah pulang dari pemakamanmu,” Arthur melanjutkan, menekankan kata 'pemakamanmu' dengan hati-hati. Suaranya terputus saat dia memperhatikan reaksi Cassie.

Dia sangat berharap melihat setidaknya sedikit emosi, tetapi yang didapatkan hanyalah kepasifan.

“Kemarin, kurir biro urusan sipil mengirimkan surat cerai ke rumah kalian. Sepertinya dia sangat terpukul dan menyalahkan Aleena atas apa yang telah terjadi. Dan kudengar, dia memukul selingkuhannya sampai keguguran.” Kata-kata ini menggantung di udara dan Arthur merasakan dingin mulai menyeruak, padahal cuaca saat ini cukup bagus, sangat kontras dengan suasana hatinya suram.

“Oh.” Cassie menjawab tanpa ekspresi, suara datarnya terasa seperti es. “Menjatuhkan kesalahan kepada orang lain untuk menutupi kesalahan sendiri, dia bukan pria sejati!” Ucapan itu mengalir dari bibir Cassie dengan sinis, menunjukkan bahwa dia tidak terkejut sama sekali dengan kabar buruk Felix.

Arthur setuju pada pendapat Cassie, Felix memang bukan pria sejati.

Sialnya, pria itulah yang berhasil menggaet hati pujaan hatinya.

"Kamu tidak akan berhati lembut hanya karena kondisinya yang menyedihkan, kan?" Arthur tidak lagi menatap postur, dia bahkan sudah memutar tubuhnya sepenuhnya menghadap Cassie.

Cassie tersenyum, dia juga memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Arthur. "Cassie Night sudah meninggal, yang ada sekarang hanyalah Chelsea Night. Apa pun tentang Felix, Chelsea tidak peduli."

Saat senyuman yang melambangkan kegembiraan di hati Arthur menghiasi wajahnya, matanya ikut menyipit sedikit dan pipinya juga terangkat, menciptakan kerutan halus di sekitar matanya.

"Sisie-ku sudah dewasa." Arthur mengacak-acak rambut Cassie, membuat wanita itu cemberut dan menatapnya dengan tak senang.

"Aku bukannya sudah dewasa, aku hanya sudah tidak buta lagi!" Nada bicara Cassie memang ketus, tetapi dia tidak bersungguh-sungguh marah pada Arthur.

Melihat sikap Cassie yang cukup menggemaskan di matanya, Arthur tertawa sedikit.

"Oh, ya, mungkin akan ada yang mengambil foto atau video dan menyebarluaskannya saat pameran ini berlangsung." Senyuman Arthur menghilang, ekspresi di wajahnya berubah serius. "Apa tidak masalah?"

Cassie tersenyum sedikit, dia jelas memahami maksud Arthur.

Jika foto atau video yang memperlihatkan sosoknya disebarluaskan dan dilihat oleh Felix, maka pria itu akan tahu tentang kematian palsu Cassie beserta kedua putranya.

Kemungkinan terburuknya, Felix akan segera mengetahui keberadaannya saat ini.

Cassie menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, sebelum akhirnya berkata, "Tidak masalah. Aku tidak mungkin terus bersembunyi dengan memalsukan kematianku. Aku mungkin bisa beradaptasi, tapi bagaimana dengan anak-anak? Itu tidak akan baik untuk mereka. Lagipula, Felix juga tidak akan percaya jika aku menggunakan alasan yang sama."

"Bagaimana jika dia menemukanmu?" tanya Arthur lagi, ada kekhawatiran yang mendera hatinya.

"Biarkan saja, antara aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi." Cassie tampak tak peduli, dia juga sudah memikirkan berbagai kemungkinan yang ada jika dirinya dipertemukan kembali dengan Felix.

Bagaimanapun, itu hanyalah masalah waktu.

Dan bagi Cassie, pertemuannya dengan Felix kelak tidak berarti apa-apa.

"Dia hanya masa lalu untukku ... jika kami bertemu lagi, anggap saja itu pertemuan antar teman lama."

Meski jawaban Cassie terdengar meyakinkan dan tak ada jejak keraguan, Arthur tetap saja tidak bisa menghilangkan kekhawatirannya.

Itu karena, Cassie pernah mencintai Felix selama bertahun-tahun.

Mungkinkah cinta yang sudah hampir memasuki satu dekade itu bisa dihilangkan dalam sekejap?

"Baiklah, pameran akan segera dibuka." Arthur mengalihkan pembicaraan. "Ayo, kita pergi."

"Ayo."

Cassie mengikuti langkah Arthur memasuki tempat pameran, mereka berjalan beriringan layaknya sepasang kekasih.

Saat masuk, tempat itu sudah dihadiri oleh pengunjung. Ada yang menikmati keindahan lukisan-lukisan di dinding dalam diam, ada pula yang berdiskusi satu sama lain.

"Semua karya di sini luar biasa, tapi aku menyukai yang satu ini. Lukisannya berwarna, memberikan perasaan ketenangan yang istimewa, jadi ini salah satu karya favoritku."

"Kalau aku menyukai 'Lukisan di Laut Barbara'."

"Aku juga menyukainya, itu seperti perpisahan dan suara seseorang."

"Bagaimana Nona Chelsea bisa mendapatkan bakat ini dari Tuhan?"

Cassie tersenyum mendengar perbincangan orang-orang di sekitar, Arthur juga ikut merasakan kegembiraan.

Akhirnya, Cassie kembali berkarya dan karyanya mendapatkan sambutan hangat bagi penikmatnya.

Setelah berkeliling sambil menikmati lukisan Cassie dalam diam, Arthur akhirnya buka suara lagi. "Sisie, besok aku akan ke Star City."

Mendengar itu, Cassie berhenti melangkah dan menatap Arthur dengan alis yang berkerut sedikit. "Untuk apa ke sana?"

"Ada beberapa masalah yang harus aku selesaikan secara pribadi."