NOTE!
-Mengandung beberapa cerita dewasa/adult romance. Mohon bijak!
-Kalau cerita mulai tidak jelas dan dirasa berbelit-belit, sebaiknya tinggalkan. (Jangan ada komentar buruk di antara kita ya) Hiks!
Pantaskah seorang pria dewasa atau terbilang sudah matang, jatuh cinta dengan gadis di bawah umur?
Dia Arga, saat ini usianya sudah menginjak 26 tahun. Dia pria tampan, penuh kharisma dan sudah mapan. siapa sangka, pria sekeras Arga bisa jatuh cinta dengan seorang gadis yang masih berumur 15 tahun?
simak kelucuan dan kemesraan mereka!
Writer : Motifasi_senja
Mohon maaf jika ada kesamaan beberapa nama tokoh yang sama. 🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Motifasi_senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melihat Nenek
Tepat pukul 1 siang Arga sudah berada di parkiran mobil SMA Negri Melati. Mobilnya Ia parkirkan di sisi timur. Arga mendesah di dalam. Sebenarnya Ia bingung, kenapa harus menjemput Mona secepat ini? Bahkan jam pulang pun masih jauh dari sekarang. Kenapa tidak ketempat lain saja? Arga mengusap jidatnya dengan sedikit menekannya. Jari telunjuknya menekan tombol kecil di bagian bawah jendela kaca mobil hingga terbuka.
Terlihat sepi disana. Tak ada siapun kecuali tukang kebun yang sedang menyapu dedaunan di bawah pohon beringin besar.
“Untuk apa Aku kemari?” Gumam Arga. Ia membuka pintu, menurunkan kaki kanannya di ikuti kaki kirinya. Ia hanya memutar sebenarnya. Posisinya sekarang hanya duduk di jok depan dengan pintu mobil yang terbuka. Kedua kakinya terbuka sementara ke dua siku tangannya bertumpu di atasnya menyangga dagunya.
Dari kejauhan seseorang berjalan ke arahnya. Di tangan kirinya ada tepak pembuang sampah dan di tangan kirinya menenteng sapu lidi. Ia tersenyum ketika tinggal beberapa meter dari hadapan Arga.
Tukang kebun itu membungkuk. “Maaf Tuan... Kenapa tuan ada di sini? Apa menunggu seseorang?”
Arga berdiri lalu menutup pintu mobil. Mengibaskan jasnya yang kusut karena tertekuk ketika duduk. “Iya. Apa ada tempat yang nyaman untuk duduk disini?” Arga bertanya.
“Ada Tuan... Mari ikut Saya.”
Arga mengikuti langkah tukang kebun itu. Sekitar 30 langkah mereka sampai di taman sekolah. Disana ada beberapa kursi besi panjang di dekat pohon palem. Ada 3 pohon beringin besar juga yang membuat suasana di bawahnya menjadi terlihat begitu sejuk.
“Silahkan Tuan...” ucap Tukang kebun mempersilahkan.
“Terimakasih.”
“Kalau begitu saya permisi, jika butuh sesuatu saya ada disana.” Jemarinya menunjuk ke sebuah bangunan sederhana berukuran 5x5 meter di samping gudang.
Arga mengangguk. Dan tukang kebun itu kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Arga merogoh ponsel di dalam saku celana, wajahnya pias ketika satu nama muncul di layar ponsel. Bukan karena tak suka Aura telah kembali, tapi mungkin karena hati nya belum siap. Belum siap bertemu dan memaafkan. Rasanya masih sakit, dan bisa sembuh itu bukan hanya dengan kemunculannya saja. Itu tidak cukup. Tidak akan pernah cukup walaupun terdengar ucapan maaf beribu ribu kali.
Arga mengingat kembali bagaimana saat wanita yang di cintainya meninggalkannya waktu itu. 3 hari setelah pengangkatannya menjadi seorang CEO, setelah keberhasilannya mencapai kesuksesan. Bukanlah menjadi kebahagiaan di dalam hidup nya. Aura meninggalkannya dengan sebuah alasan untuk mengejar mimpinya menjadi seorang model terkenal. Walaupun Arga memohon hingga berlutut seperti orang bodoh waktu itu, tetap tak membuat Aura berubah pikiran.
Aura bersalah dalam ini. Tangan Arga tak terasa sudah mengepal, meremas erat ponselnya. Masih cinta itu mungkin. Tapi untuk bersama kembali bukanlah jalannya. Kalau Arga berbicara dalam hati mungkin ini yang di katakan. “Itu salah Mu!” ucapkan dengan nada tinggi akan cukup mewakilkan hati kenapa masih berat untuk sekedar menerima kata maaf.
Arga kembali pada sadarnya. Melihat jarum kecil di jam tangannya, sudah jam dua siang. Satu jam sudah duduk disini, di bawah pohon rindang sendirian seperti orang hilang. Kenapa juga harus kesini? Arga mengamati ke sekeliling lalu bangkit kembali menuju parkiran.
“Kak Arga!”
Suara cempreng masuk ke telinganya. Belum sempat Arga menoleh, seseorang sudah melompat cepat ke punggungnya. Melingkarkan kedua tangan dan ke dua kakinya di tempat masing masing. Mona tak peduli dengan lirikan beberapa murid lain. Bolehkan bermanja. Arga kakaknya. Begitulah yang di ucapkan Mona dalam hati ketika membalas lirikan murid lain.
“Sakit leherku. Lepaskan!” keluh Arga menepuk tangan Mona. Tangannya sudah melonggar, tubuhnya merosot dalam posisi berdiri.
“Kau tidak malu di lihat banyak orang?” Arga menarik gagang pintu mobil. Duduk di jok. Dan Mona sudah memutar menuju pintu sebelah kiri ikut masuk.
Setelah duduk dan memasang sabuk pengaman, Mona menoleh. “Kenapa malu, Kau kan kakakku. Mungkin juga akan menjadi kekasihku.” Mona terkekeh sendiri dengan ucapannya di bagian terakhir. Ucapan yang sangat lirih hingga tak di dengar oleh telinga lain. Yang terlihat hanya gerakan bibir saja.
“Aku yang malu bodoh.”
“Jahat!” Mona mendengus. Mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Mona menoleh lagi. Mengamati bagian samping wajah Arga dengan cermat. Matanya berkedip cepat kadang berkerut di bagian pinggir mata. Mungkin kedatangan Aura masih membayanginya.
“Kak.”
“Hmmm.” tanpa menoleh.
“Kakak lagi sakit?” telapak tangan Mona sudah menjulur menyentuh bagian jidat Arga.
“Apaan sih!” Arga menarik kepala mundur menjauhi tangan Mona.
“Aku tanya, apa kakak sakit?”
“Tidak. Aku sehat, sangat sehat.” Jawab Arga dengan tatapan menusuk.
“Aku kan cuma tanya, kenapa melotot begitu?”
“Huh! Kau ini.”
“Apa? Kakak mau memukul ku? Huh! Jangan harap.”
Apa apan bocah ini. Menjengkelkan sekali. Sifat aslinya kambuh lagi.
Arga menjulingkan mata. Sementara Mona sudah melipat kedua tangannya dengan mendengus ke arah Arga. Wajah Mona memang terlihat menggemaskan, tapi tetap saja masih banyak menjengkelkannya.
“Tunggu Kak!”
Mobil Arga langsung terhenti mendadak. Teriakan Mona mengagetkan Arga. Kenapa juga harus berkata sekeras itu. Siapa sih disini yang budeg?
“Apa sih?” Sewot Arga. Wajahnya sudah terlihat seperti ingin menerkam mangsanya. Tapi yang akan di mangsa justru terlihat santai dan tak peduli.
“Lihat itu.” Telunjuknya menunjuk seseorang yang sedang berdiri di depan bangunan besar dengan beberapa mobil mewah berbaris di dalamnya. Itu terlihat karena bagian depan berdinding kaca.
“Bukankah itu Nenek? Sedang apa di sana?” Mona membuka kaca mobil untuk menahan dagunya karena kepalanya yang sudah menyembul keluar.
Arga belum menjawab. Dahinya berkerut. Ia juga bertanya, kenapa Nenek ada di sana. Tepat di samping Neneknya berdiri seorang lelaki yang kemungkinan sudah berumur tua seperti Neneknya.
“Ngapain Nenek disana? Dan siapa itu?” Gumam Arga. Arga masih mengamati dari balik kaca mobil. Jaraknya yang cukup jauh membuat matanya tak jeli melihat siapa yang tengah berdiri di samping Neneknya. Wajahnya hanya terlihat bagian pipi kirinya saja.
“Kau sudah berjanji akan membantu ku kan?” tanya Meri. Tangan kanannya menarik tas kecil yang merosot dari pergelangan tangan.
“Tentu saja. Tapi untuk saat ini Aku memang belum mendapat kabar lagi, dan Kau juga perlu tahu, sebelum nya Aku sudah hampir mendapatkan bocah itu, tapi...”
“Tapi apa?”
Tian bungkam. Kalau di jelaskan apa yang terjadi sebenarnya, bisa ngamuk nanti. Meri orangnya keras kepala. Lebih baik untuk saat ini jangan di ceritakan dulu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan bocah itu.
“Suatu saat Aku akan menceritakannya, lebih baik cari saja Dia dulu. Karena itu intinya.”
“Ck! Ternyata kau menyimpan rahasia dari ku.” Meri mencibir. Tian memang seperti itu, kalau belum tepat betul sesuatu sekecil apapun tidak akan pernah di ceritakan pada siapapun. Menyebalkan tapi kadang menguntungkan.
“Aku pulang saja.” Meri keluar gedung itu menuju mobilnya.
Arga dan Mona yang masih di pinggir jalan masih mengamati Meri hingga menghilang masuk ke dalam mobil. Arga sudah hendak menyalakan mobil, tapi urung karena ponselnya bergetar.
“Ya. Siapa ini?”
“Saya Dimas Tuan, sekertaris Tuan Agus.”
“Agus? Siapa Agus?”
Arga sudah malas mendengar nama itu. Apalagi ketika melihat wajah Mona yang polos, kebenciannya semakin menjadi pada sosok yang bernama Agus.
“Maaf Tuan, kenapa perusahaan Tuan menggagalkan kerjasama dengan Kami?”
“Karena Aku ingin”
Sepertinya jawaban itu membuat seseorang yang bersuara dari balik ponsel mengeram geram. Di sana tangannya sudah meremas ponsel yang masih tersambung dengan panggilan.
“Sombong sekali Dia.” Batin Dimas.
“Mohon di pertimbangkan sekali lagi Tuan.”
“Maaf tidak bisa.”
Arga memasukkan ponselnya ke dalam saku jas. Melajukan mobilnya kembali. Di seberang Mobil Meri juga sudah tidak terlihat, mungkin sudah pergi dari tadi. Sialnya Arga tidak tahu kemana arah mobil Neneknya berjalan. Semua gara gara panggilan telepon yang sama sekali tidak penting.
Di sebelahnya ternyata Mona tertidur lelap. Kepalanya menyender pada jendela kaca Mobil. Arga menoleh sebentar, ada senyum tersembunyi di ujung bibir nya. Mobilnya Ia jalankan lebih lambat, takutnya jika ada jalan bergelombang bisa membuat kepalanya sakit atau mungkin tersungkur jika tiba tiba mobilnya mengerem.
***