Alam Dongtian berada di ambang kehancuran. Tatanan surgawi mulai retak, membuka jalan bagi kekuatan asing.
Langit menghitam, dan bisikan ramalan lama kembali bergema di antara reruntuhan. Dari barat yang terkutuk, kekuatan asing menyusup ke celah dunia, membawa kehendak yang belum pernah tersentuh waktu.
Di tengah kekacauan yang menjalar, dua sosok berdiri di garis depan perubahan. Namun kebenaran masih tersembunyi dalam bayang darah dan kabut, dan tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi penyelamat... atau pemicu akhir segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sadar dan Bingung
Cahaya lembut menerobos celah tirai putih, mengusik kelopak mata yang masih berat karena luka dan kelelahan. Napas yang berat, denyut yang samar, dan rasa sakit menusuk dari dada kanannya seolah menjadi pengingat bahwa tubuh ini masih hidup.
Zhang Wei perlahan membuka matanya.
Pandangan pertamanya kabur, tapi siluet seseorang berdiri di tepi ranjang, diam mengawasinya. Ia mengerjap, mencoba memfokuskan mata—dan mendapati sosok wanita berambut biru muda panjang, mengenakan jubah merah menyala dengan corak nyala api yang mengalir seperti hidup. Mata ungu menyala itu menatapnya tanpa emosi di permukaan, tapi menyimpan sesuatu yang lebih dalam—campuran penilaian, rasa penasaran, dan... kekaguman?
Zhang Wei langsung menyentakkan tubuhnya, berusaha bangkit. Tapi rasa sakit di dada kanan menyambar cepat. Nafasnya tercekat, dan tubuhnya jatuh kembali ke kasur.
"Jangan sok kuat, bocah," suara wanita itu terdengar tajam tapi tenang, seperti retakan es yang menyentuh nyala api. "Luka di tubuhmu belum sepenuhnya sembuh, kau hampir mati di medan perang."
Zhang Wei mengerutkan kening. "Senior...? Apa yang terjadi...? Kenapa Anda yang—dimana Paman Rui? Paman Fan? Seharusnya... mereka yang ada di sini."
Hua Rong tidak langsung menjawab. Dia menarik kursi, duduk anggun di sisi tempat tidur, lalu menyilangkan kakinya dan memiringkan kepala.
"Waktu tidurmu panjang sekali, bocah.Bukankah kau harus mengucapkan terimakasih terlebih dahulu pada orang yang merawatmu?."
Zhang Wei mengabaikan lelucon itu. Nafasnya mulai tenang, tapi pikirannya gelisah.
"Aku... terakhir ingat... dadaku ditusuk oleh Kui," gumamnya lirih. Pandangannya menerawang, membayangkan kembali wajah keji siluman itu, tawa iblisnya, dan—sosok samar berselimut cahaya hangat yang menggenggam pundaknya di kegelapan. Seolah suara itu... memanggilnya. Tapi ia tak bisa mengingat wajahnya. Hanya rasa tenang, seperti pulang.
Dia memejamkan mata.
"Itu terasa aneh..." bisiknya.
Hua Rong memandangnya lebih dalam, namun kali ini nada suaranya melunak.
"Apa pun yang kau lihat dalam ambang hidup dan mati itu... simpan baik-baik, karena mungkin itulah alasan kau masih hidup sampai sekarang."
Zhang Wei menoleh padanya, sorot matanya gelisah.
"Kenapa Anda yang merawat saya, Senior Hua Rong? Seorang Ratu Neraka, seharusnya... punya urusan lebih penting. Dan lagi... di mana Paman Rui? Apa dunia baik baik saja? Apa—"
"Tutup mulutmu dulu, bocah," potong Hua Rong, kali ini dengan senyum samar di ujung bibirnya. "Kau baru kembali dari kematian, dan pertanyaanmu sudah seperti penyelidik. Kedua Kaisar Agung sedang sibuk, urusan pascaperang terlalu banyak. Mereka sedang memastikan dunia ini tidak lagi runtuh."
Zhang Wei terdiam.
Hua Rong menyentuh dahinya, mengecek suhu tubuhnya seperti seorang ibu—tapi dengan cara angkuh khas bangsawan.
"Aku harus akui, kau benar-benar bodoh... sekaligus sangat berani. Kau menghadang kekuatan Dewa Siluman sendirian, bahkan membuat segel itu bereaksi dengan darahmu. Kalau sedikit saja kau telat, putriku mungkin akan jatuh dalam kesedihan tak berujung."
Zhang Wei mengalihkan pandangan, tak nyaman dipuji.
"Jangan terlalu merendah, bocah," gumam Hua Rong sambil menyilangkan jari-jarinya. "Lain kali... kalau ingin bertarung di medan perang, pastikan dulu kau menikahi putriku. Aku sudah terlalu sering melihatmu membuat putriku cemas."
Zhang Wei nyaris tersedak udara. "S-senior... bukan waktu yang tepat untuk—"
"Aku tahu. Tapi kalau kau bangun dan bercanda, berarti kau belum hilang akal."
Untuk sesaat, suasana itu terasa ringan. Tapi dalam hati Zhang Wei, gelombang keraguan dan tanya masih membuncah. Sosok itu... siapa yang menuntunnya kembali dari kegelapan?
Dan kenapa... rasa damai itu begitu familiar?
***
Cahaya remang yang menyusup dari celah tirai membasuh wajah Zhang Wei yang pucat. Ia duduk bersandar, nafasnya pelan namun belum stabil. Suhu tubuhnya masih dingin meski tubuhnya bergetar oleh denyut energi yang kacau dalam nadinya. Hua Rong duduk tak jauh darinya, menatap dengan pandangan rumit.
"Sudah lima hari sejak kau tak sadarkan diri," kata Hua Rong akhirnya, suaranya pelan tapi mengandung tekanan halus. "Sejak kehancuran Qianlong, seluruh daratan netral terfragmentasi. Beberapa wilayah terkoyak dan dipenuhi energi perusak... tapi sebagian lainnya malah dipenuhi energi spiritual murni. Anehnya, banyak kultivator menembus batasan mereka di sana, seolah energi langit mengacau namun juga memberkahi."
Zhang Wei masih diam, menatap tangannya sendiri. Ada getaran halus di balik kulitnya, seperti sesuatu yang belum utuh... sesuatu yang ingin keluar.
"Kau... bilang lima hari?" gumamnya. "Apa... yang terjadi padaku?"
Hua Rong menghela napas. "Sebelum kau tumbang, tubuh siluman itu hancur sebagian oleh seranganmu sendiri... serangan yang bukan dari kekuatan biasa. Sesuatu meledak dari dalam dirimu—seperti kilatan kekuatan kuno. Dia... Berhasil melarikan diri ke dalam kehampaan. Tubuhnya setengah lenyap."
Zhang Wei memejamkan mata, kilas ingatan menghantamnya. Dada kanannya masih terasa nyeri—darah dan logam, rasa dingin dari ujung cakar Kui... dan kemudian cahaya putih yang membelah langit dalam pikirannya. Setelah itu... gelap. Tapi di tengah kegelapan itu, ia mengingat wajah. Bukan Kui. Bukan dirinya. Tapi sosok yang membuat dadanya terasa sesak. Lembut. Hangat. Tapi juga jauh.
Siapa dia...?
"Zhang Wei?" panggil Hua Rong, ragu. "Kau terlihat... aneh."
"Aku... merasa seperti bermimpi," gumamnya lirih. "Tapi bukan mimpi biasa. Aku merasa... seseorang menuntunku kembali. Aku tidak tahu siapa, tapi... dia seperti pernah dekat. Aku bisa merasakan kasih sayangnya."
Ia menggenggam dadanya yang kanan. Di dalam sana, bukan hanya luka fisik yang tertinggal—melainkan sesuatu yang lebih dalam. Dan dari balik ruang dimensi pedang miliknya, ia merasakan getaran. Lembut tapi jelas. Jiwa Lian Xuhuan. Tapi fluktuasinya tidak wajar. Tidak seperti biasanya.
"...Master," bisiknya lirih. "Ada yang terjadi padamu?"
Hua Rong mengangkat alis.
"..."
Zhang Wei hanya menoleh sekilas, tak menjawab. Ia belum siap menjelaskan semuanya. Bahkan pada Hua Rong.
Tiba-tiba pintu terbuka kasar. Hembusan angin masuk membawa aroma tanah basah dan darah tipis. Suara langkah tergesa menggema. Dan sesosok pria dengan rambut awut-awutan, wajah penuh debu dan mantel tempur melangkah masuk.
"Zhang Wei!"
Itu suara yang tak asing. Suara yang menyimpan kekacauan dan kekhawatiran.
"Paman Rui..." bisik Zhang Wei.
Ming Rui menghampirinya cepat, menahan gejolak di dadanya. Matanya memerah, namun ia menahan emosinya di hadapan keponakan yang nyaris mati di medan perang.
"Akhirnya... kau sadar juga."
Zhang Wei menatap mata pamannya dalam-dalam. Dan untuk pertama kalinya sejak ia terbangun, ia merasa seperti pulang—meski dunia di luar sana telah berubah selamanya.