"Pergilah! Jangan buang waktumu disini, aku tidak tertarik padamu apalagi menginginkan dirimu,"
Dihari pertama pernikahannya, Rania langsung mendapat penolakan dari sang suami.
Akankah Rania bertahan untuk menjalankan misi yang telah dipercayakan padanya? Atau justru Rania akan menyerah dan pergi begitu saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dj'Milano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB28. Menjelaskan.
"Mah, introgasinya nanti saja ya, Bram harus ketemu Rania sekarang juga, ini masalah hidup dan mati Bram?" Selesai bicara Bram langsung pergi menuju kamar Rania.
"Bram, Bram," Mama Anggita hanya menggeleng melihat kelakuan anak laki-lakinya.
.
.
"Ran," panggil Bram sambil mengetuk pintu. "Rania? Buka pintunya" Bram terlihat tak sabar.
"Sayang, plisss jangan marah. Aku akan jelaskan semuanya sama kamu," ucap Bram ketika Rania membukakan pintu.
Rania terdiam tidak menjawab ucapan Bram, bahkan ekspresinya pun terlihat datar.
"Jawab aku, Ran" Bram hendak memegang tangan Rania namun Rania menghentikanya sambil melangkah mundur.
"Silakan duduk," ucap Rania sambil mempersilakan Bram duduk disofa.
Bram menarik napas dalam lalu mendudukan pantatnya di sofa. Kacau sudah jika Rania benar-benar marah dan cuek padanya.
"Katakan," Rania membuka suara karena Bram belum juga bicara.
"Baiklah. Tadi itu Erina ma-mantanku," Bram terlihat gugup menyebutkan nama Erina, padahal tanpa Bram menjelaskannya pun Rania sudah tahu semuanya, karena foto wanita yang bernama Erina itu terpampang nyata di setiap sudut rumah Bram.
"Tadi aku mengajaknya bicara sebentar hanya untuk memberitahukan padanya kalau aku sudah menikah dan aku meminta dia agar tidak mengganggu hidupku lagi," jelas Bram.
Rania mengangguk menanggapi penjelasan Bram. "Trus?" tanya Rania.
"Terus, terus kita pergi makan sebentar,"
"Oh, bukannya waktu di kantor kamu bilang sudah sangat kenya?"
"Memang aku sudah sangat kenya tadi siang, aku hanya menghargai permintaanya sebagai seorang teman,"
"Oh jadi sekarang kalian berteman?"
"Ya, tapi kamu tenang aja sayang, aku janji tidak akan bertemu dia belakangmu," Wajah Bram saat ini terlihat seperti seorang anak kecil yang ketahuan mencuri dan berjanji tidak akan mengulang hal yang sama.
"Baiklah, di restoran mana kalian makan tadi?"
"Di, di restoran yang sering kita makan jaman kuliah dulu,"
"Oh, jadi ceritanya kalian nostalgia?"
"Tidak begitu sayang, dia yang meminta makan disana,"
"Oh jadi kalo misalkan dia minta kamu peluk-peluk atau cium-cium untuk mengenang masa lalu kalian kamu bakal menurutinya?"
"Tidak sayang," Bram memotong cepat perkataan Rania. "Itu tidak akan terjadi, karena aku hanya mencintaimu,"
"Oh ya? Sebesar apa cintamu padaku?"
"Sebesar dan sejauh aku bernafas, aku akan selalu mencintaimu, Rania"
"Benarkah? Kalau aku minta sesuatu dari kamu apa kamu akan memberikannya padaku?"
"Tentu, Kamu boleh minta apapun sayang," Bram turun dari sofa lalu berlutut di hadapan Rania. "Kamu mau apa? barang-barang branded, rumah, mobil atau perusahaan? akan aku berikan padamu," ucap Bram tulus. "Asal kamu jangan minta nyawaku sayang, karena aku masih ingin hidup lebih lama lagi, ingin melihatmu dan menghabiskan masa tuaku bersamamu," Bram tampak tulus, terlihat jelas dari ekspresinya yang seperti memohon pada Rania.
Rania yang sejak tadi menahan tawa akhirnya pecah tertawa. "Wajah kamu lucu kalo lagi tegang gini, hahahha"
Bram mengerutkan dahinya melihat Rania tertawa. "Jadi kamu mengerjaiku sejak tadi?" tanya Bram.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Bram, Rania menghentikan tawanya. Namun rasa lucu yang berlebihan membuat Rania kembali tertawa.
"Kamu mulai nakal ya," Bram menggelitik Rania sampai tak sadar ia menindih tubuh Rania dibawa.
"Udah cukup, aku udah nggak kuat," ucap Rania. Kulit perutnya sampai terasa sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Sayang, lain kali jangan mengerjaiku seperti ini lagi ya, jatungku hampir saja copot melihat ekpresimu seperti tadi," ucap Bram lalu menggosok-gosokkan wajah pada leher Rania.
"Kamu tahu, aku seperti orang gila berlari-lari di kantor tadi, entah apa yang para karyawan itu pikirkan tentangku," timpa Bram.
Ya, setelah selesai makan dengan Erina, Bram berbegas ke kantor mencari Rania. Bram takut Rania akan marah sehingga ia belari kecil untuk mempercepat langkahnya, apalagi saat tahu Rania telah pulang rumah, Bram semakin panik dan gelisah ingin cepat-cepat bertemu Rania.
Rania mengangguk sambil tersenyum manis.
Berada diposisi seperti itu, Bram tidak akan membiarkan kesempatan terlewatkan begitu saja. Bram menatap sebentar wajah Rania lalu mulai mengecup bibir Rania. Sekali kecupan, dua kali kecupan hingga kecupan yang ketiga kalinya, Bram mengi sapnya sedikit lama.
"Ayo bangung," ucap Bram lalu bangun dari tubuh Rania. Pria itu menarik keluar kemejanya yang tersisip rapi untuk menutupi si joni yang mulai menegang.
Bram mengulurkan tangannya membantu Rania bangung.
"Sayang, kamu mau mandi?" tanya Bram. Rania pun mengangguk.
"Ikut," rengek Bram.
"Nggak, aku mau cepat-cepat. Mama menungguku di luar,"
"Sayang tapi...."
"Keluar nggak? Kalo nggak keluar aku beneran marah nih," ancam Rania.
"Baiklah," Bram terlihat lemas dan pasrah berjalan keluar kamar. Ya lebih baik mengalah sekarang dari Rania marah berhari, bisa kawat kalau sampai si joni puasa berhari-hari.
Rania tertawa puas setelah kepergian Bram, dalam hatinya ia bersyukur telah mengerjai Bram. Hitung-hitung sebagai balas dendamnya karena Bram telah seenak jidat meninggalnya dan pekerjaan begitu saja.
Awalnya Rania memang marah dan sakit hati melihat Bram pergi begitu saja dengan Erina. Namun, Rania bukanlah wanita lebih yang langsung meledak menghadapi suatu masalah. Rania yakin Bram pasti punya penjelasan atas perbuatannya, apalagi Bram bukan tipe pria yang suka mempermainkan perasaan wanita.