Ben Wang hidup kembali setelah kematian tragis yang membuka matanya pada kebenaran pahit—kekasihnya adalah pengkhianat, sementara Moon Lee, gadis sederhana yang selalu ia abaikan, ternyata cinta sejati yang tulus mendukungnya.
Diberi kesempatan kedua, Ben bertekad melindungi Moon dari takdir kelam, membalas dendam pada sang pengkhianat, dan kali ini… mencintai Moon dengan sepenuh hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Moon membulatkan mata besarnya, tubuhnya menegang. Bibirnya masih menempel di dada bidang Ben yang terasa hangat dan lembap karena sisa air mandi. Ia cepat-cepat menjauh, wajahnya memanas, tapi Ben yang juga terkejut tidak segera bereaksi—hanya menatapnya dalam diam, seolah waktu berhenti sesaat.
Mereka saling berpandangan selama beberapa detik yang terasa begitu panjang. Pandangan Ben dalam, sedikit kaget tapi juga lembut; sementara Moon justru semakin salah tingkah.
Dengan cepat, Moon memalingkan wajah dan berlari kecil ke arah ranjang. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi tubuhnya dari ujung kaki sampai kepala.
“Aku… aku tidak sengaja!” gumamnya panik dari balik selimut, suaranya nyaris tak terdengar.
Ben tersenyum tipis, menahan tawa kecil. “Tenang saja, aku juga tidak menyangka kau begitu tertarik pada tubuhku."
Moon akhirnya keluar sedikit dari selimut, masih menunduk dengan wajah semerah buah delima.
“Kenapa kau tidak berpakaian?” tanyanya gugup, masih menutup dirinya rapat dengan selimut dalam posisi duduk.
“Aku baru selesai mandi dan lupa ambil bajuku,” jawab Ben santai, suaranya rendah namun tenang.
Moon mengerutkan kening, matanya menyipit curiga. “Kenapa aku bisa ada di sini? Ini… kamar siapa?”
“Kamarku,” jawab Ben datar.
Moon semakin bingung. “Kenapa tidak membawaku pulang? Kenapa malah membawaku ke sini?”
Ben melangkah perlahan menuju lemari yang berada di hadapan Moon, mengambil pakaian dengan gerakan tenang dan tidak tergesa. Gerakannya membuat Moon semakin menegakkan punggung, jantungnya berdegup cepat.
“Pakai bajumu dulu! Jangan berkeliaran begitu. Sudah tahu aku di sini, masih saja tidak berpakaian!” seru Moon sambil menutup matanya rapat-rapat, menunduk dalam selimut.
Ben menunduk perlahan, menatap gadis itu yang masih memejamkan matanya rapat-rapat seolah ingin menghilang dari dunia. Nafasnya terasa lembut menyentuh pipi Moon.
“Apakah kau malu? Belum pernah melihat seorang pria yang tidak mengenakan baju?” bisik Ben dengan nada menggoda di dekat telinganya.
“Belum pernah!” jawab Moon spontan dengan suara kecil dan polos.
Ben menahan senyum tipis, menatap wajah gadis itu yang masih menunduk gugup. “Apa masih ingin melihatnya? Buka saja matamu. Aku sangat berbesar hati,” ujarnya dengan nada menggoda, kemudian meniup pelan telinga Moon.
Moon terlonjak kaget, tubuhnya menegang. Karena refleks, ia mendorong dada pria itu dengan kedua tangannya—namun bukannya menjauh, tangannya justru menyentuh kulit hangat dada Ben yang masih basah oleh sisa air mandi.
“Kau…” ucap Moon terhenti, matanya membulat karena kaget dan malu bersamaan.
Ben menahan tangannya di dada, jarinya membungkus lembut pergelangan tangan Moon. Tatapannya dalam dan senyum kecil terlukis di wajahnya.
“Sentuh saja kalau kau menyukainya,” ujar Ben dengan senyum samar yang membuat jantung Moon berdegup lebih cepat.
Moon yang ingin menarik tangannya namun ditahan Ben, berusaha menatap ke arah lain. Wajahnya sudah merah padam menahan malu.
“Lepaskan tanganmu, pakai bajumu, cepat,” ujar Moon memalingkan wajahnya dan memejamkan mata rapat-rapat. Ia segera menarik tangannya hingga terlepas dari pegangan Ben.
Dengan gerakan cepat, Moon langsung turun dari ranjang, hampir tersandung karena terburu-buru, lalu berlari meninggalkan kamar itu tanpa berani menoleh ke belakang.
“Memalukan sekali,” batin Moon, menepuk pipinya yang masih panas karena malu.
Ben hanya terkekeh pelan melihat tingkah gadis itu. Senyumnya muncul tanpa sadar.
“Moon, setelah Viona diusir, aku akan mempertemukanmu dengan kedua orang tuamu,” batin Ben, menatap pintu kamar yang baru saja ditutup oleh gadis itu.
Beberapa saat kemudian.
Di ruang makan yang bernuansa hangat, aroma bubur daging yang baru matang memenuhi ruangan. Moon duduk dengan rambut yang masih sedikit berantakan, namun wajahnya tampak lebih tenang. Ia perlahan melahap bubur di hadapannya, sesekali melirik Ben yang duduk di seberang meja.
“Bagaimana kondisi nenekmu?” tanya Ben sambil menyesap kopinya.
“Sudah banyak kemajuan,” jawab Moon, suaranya lembut namun terdengar sedikit lega.
“Apakah dia adalah nenek kandungmu?” tanya Ben lagi.
“Bukan! Aku diadopsi di panti asuhan. Putra dan menantu nenek telah meninggal sebelum nenek menemukanku. Karena kesepian, nenek butuh seorang anak. Dan menemukan aku di sana,” jawab Moon.
Ben menatapnya dalam diam. Ada rasa simpati di balik pandangan matanya yang lembut.
“Apakah kau berencana mencari orang tuamu?” tanya Ben kemudian.
“Kata pengurus panti asuhan, orang tuaku meninggalkan aku di luar pagar. Jadi untuk apa aku mencari mereka,” jawab Moon datar, matanya menunduk ke arah mangkuk.
“Kau tidak penasaran alasan mereka meninggalkanmu?” tanya Ben lagi, nada suaranya lebih pelan, seolah berhati-hati agar tidak menyakiti.
Moon meletakkan sendoknya perlahan, menatap bubur yang mulai dingin.
“Tidak! Dunia ini tidak semua orang bisa berpisah dengan anak mereka. Aku yakin mereka juga sudah membuat keputusan yang benar. Kalau mereka tidak menginginkan aku, jadi untuk apa aku mencari mereka,” jawab Moon dengan senyum samar, meski ada luka yang masih bersemayam di hatinya.
Beberapa hari kemudian.
Viona yang telah kembali ke rumahnya berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Wajahnya kini tak lagi semulus dulu — bekas luka itu masih terlihat jelas di pipinya, samar namun cukup untuk mengingatkannya pada malam yang membuat segalanya hancur. Ia menyentuhnya dengan jari gemetar, matanya memerah menahan amarah dan penyesalan.
Dari arah pintu terdengar suara langkah kaki. Steven masuk bersama Joe, keduanya dengan wajah yang tegas tanpa sedikit pun rasa iba.
“Viona, mulai hari ini kau pindah dari sini. Papa ada sebuah rumah untukmu. Di sana kau harus menatapi kesalahanmu,” kata Steven dengan suara datar namun tegas.
“Pa, aku dalam kondisi seperti ini, mana mungkin aku pindah. Apakah kalian berencana ingin mengusirku?” tanya Viona dengan nada hampir menangis.
Joe melangkah mendekat, menatap putrinya dengan kecewa.
“Asal kau tahu, perbuatanmu ini sama saja menghancurkan orang. Moon Lee tidak menggoda Ben sama sekali. Semua ini hanya karena kecemburuanmu saja, sehingga kau salah langkah. Kalau kau masih keras kepala, Ben akan menuntutmu. Pada saat itu, aku dan papamu tidak bisa membelamu. Jadi seharusnya kau tinggal di sana dan tidak bertemu lagi dengan Ben. Tunggu sampai kemarahan Ben mereda, baru kami akan menjemputmu,” ujar Joe, berusaha menahan getar emosi di suaranya.
“Tidak! Aku tidak mau. Tempat itu jauh dan rumahnya tidak seluas dan seindah ini. Aku tidak mau!” Viona merajuk, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia berlari ke arah tempat tidur, duduk sambil menunduk, menggenggam sprei seolah bisa menolak kenyataan.
Steven menarik napas panjang, hampir kehabisan kesabaran.
Namun sebelum sempat ia bicara lagi, ponselnya berdering. Ia menghela napas dan menjawabnya dengan suara berat.
“Halo, asisten Justin,” sahut Steven.
Suara di seberang terdengar tenang namun tegas.
“Tuan Lu, kata Direktur, waktu Anda hanya sampai besok. Kalau Viona Lu masih di rumah Anda, maka kerja sama kontrak akan dibatalkan,” ujar Justin dari seberang sana.