Althea hanya ingin melupakan masa lalu.
Tapi takdir membawanya pada seorang Marco Dirgantara ,CEO Dirgantara Corp sekaligus mafia yang disegani di Eropa.
Kisah cinta mereka tidak biasa. Penuh luka ,rahasia dan bahaya.
Bab 27 - Sakit yang di Rasa Althea
Warna langit sore itu tampak pucat, seperti cermin hati yang kehilangan warna. Althea berdiri di depan cermin di kamar mansion, menatap wajahnya sendiri. Matanya sembab, tapi bukan karena menangis ,melainkan karena terlalu lama menahan diri untuk tidak melakukannya. Tadi siang, satu kalimat dari mulut Marco menghantam keras ke dalam kepalanya: “Kalau kamu masih mau pertunangan ini berjalan...”
Pertunangan.
Kata itu seperti pisau dingin yang ditusukkan perlahan ke dalam dadanya. Dan Marco tidak pernah merasa perlu memberitahunya. Selama ini, semua kehangatan, sentuhan, malam-malam panas yang membuat tubuhnya gemetar ternyata hanya sebatas pemuas nafsu?
Tangannya mengepal di sisi tubuh, bibirnya mengatup rapat. Ia mencoba mengatur napas, tetapi setiap kali wajah Marco muncul di pikirannya, dadanya kembali terasa sesak. Bedanya, kali ini bukan karena rindu atau cinta tapi karena rasa kecewa yang pekat.
"Kalau memang aku hanya hiburan bagimu, Marco..." gumamnya lirih, “aku akan pergi. Tapi tidak sekarang. Tidak sebelum aku berdiri di panggung itu.”
Ya. Panggung konser musim semi MuseVibe akan menjadi satu-satunya alasan ia bertahan beberapa minggu lagi. Setelah itu, ia akan mengajukan cerai ,dan membawa Ares pergi. Ke mana pun, asal jauh dari Marco Dirgantara dan semua bayangan yang menyesakkan.
Hari-hari berikutnya, Althea menjalani latihan vokal dan koreografi di MuseVibe. Jay, seperti biasanya, selalu ada di dekatnya. Senyumnya hangat, tutur katanya lembut, dan yang paling penting ia mendengarkan. Tidak seperti Marco yang akhir-akhir ini bahkan tak mau menatapnya.
“Suaramu makin stabil, Althea.” ujar Jay sambil menyodorkan botol air. “Kalau kamu terus seperti ini, malam konser nanti penonton bisa berdiri semua.”
Althea tertawa kecil, menyambut botol itu. “Semoga. Aku ingin orang-orang mengingatku... walau hanya sekali.”
“Kenapa kedengarannya seperti perpisahan?” Jay menatapnya, alisnya berkerut.
Althea tersenyum samar, mengalihkan pandangan. “Bukan. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik.”
Hari-hari bersama Jay seperti memberi ruang napas di antara belenggu pikirannya. Mereka sering makan malam setelah latihan, berbicara tentang musik, film, atau sekadar bercanda. Namun, di balik setiap tawa, Althea menyadari sesuatu ,Marco tetap memperhatikannya.
Bukan dalam bentuk manis atau perhatian, tapi dalam bentuk tatapan gelap yang mengintai dari kejauhan.
Malam itu, latihan mereka selesai lebih cepat. Jay menawarkan untuk mengantar Althea pulang. Di pelataran parkir MuseVibe, mereka berdiri cukup dekat. Angin malam membawa aroma cologne Jay yang lembut, membuat Althea merasa... aman.
“Besok kamu bisa latihan lagi?” tanya Jay.
“Ya. Pagi sampai sore?.”
Jay tersenyum. “Kalau gitu, malam ini istirahat. Jangan begadang.”
Althea mengangguk, tetapi tatapannya tertahan di mata Jay. Entah karena dorongan apa, ia melangkah sedikit lebih dekat. Mungkin ia hanya ingin memastikan kalau masih ada satu orang yang tulus menyukainya tanpa syarat.
Namun sebelum ia sempat berkata apapun, suara berat memotong udara.
“Cukup dekat ya rupanya kalian.”
Jay dan Althea sama-sama menoleh. Marco berdiri beberapa meter dari mereka, jasnya terbuka, dasinya longgar, tapi tatapannya tajam seperti ujung pisau.
“Marco...” suara Althea terdengar datar. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Marco tidak menjawab pertanyaannya. Ia melangkah maju, menghampiri mereka. Tangannya meraih pergelangan Althea tanpa kompromi. “Kita pulang.”
Jay menahan langkah. “Tunggu, Marco. Dia—”
“Bukan urusanmu, Jay.” Marco memotongnya dengan nada rendah tapi berbahaya. Tatapannya menusuk, membuat Jay terdiam.
Althea mencoba melepaskan tangannya. “Lepaskan, Marco. Aku bisa pulang sendiri.”
Tapi Marco tak menghiraukannya. Tarikannya cukup kuat hingga Althea harus mengikuti langkahnya menuju mobil hitam yang terparkir tak jauh. Jay memanggil namanya, tapi suara itu tenggelam oleh deru mesin yang segera menyala.
Perjalanan pulang penuh dengan keheningan. Hanya ada suara napas Marco yang berat dan jantung Althea yang berdegup kencang bukan karena gugup, tapi karena marah.
Sesampainya di Mansion ,Marco langsung menariknya masuk ke ruang kerja. Pintu ditutup rapat, kuncinya diputar dengan suara klik yang terdengar jelas di telinga Althea.
“Apa maksudmu dekat-dekat dengan Jay?” suaranya rendah, nyaris bergemuruh. “Kamu pikir aku tidak melihat? Setiap hari kalian makan bersama, bercanda, bahkan saling menatap seperti—”
“Seperti apa?” Althea memotong tajam. “Seperti dua orang yang saling menghargai? Seperti dua orang yang bisa bicara tanpa rahasia besar di antara mereka?”
Marco memicingkan mata. “Jangan bermain-main denganku, Althea. Kamu Isteriku! ”
“Aku yang seharusnya bilang begitu, Tuan Marco.” balasnya. “Kau melanjutkan pertunangan dengan Patricia dan tidak pernah memberitahuku. Lalu apa aku selama ini? Selirmu? Boneka yang bisa kau peluk saat malam tapi kau buang di siang hari?”
Rahang Marco mengeras. Ia melangkah mendekat hingga tubuhnya hampir menempel di tubuh Althea.
“Kau pikir aku tidak peduli? Setiap kali melihatmu bersama laki-laki lain, aku ingin...” ia berhenti sejenak, napasnya terasa berat, “..... membuatmu ingat siapa yang memiliki setiap inci tubuhmu.”
Althea menatapnya tajam. “Bukan urusanku lagi. Aku sudah tahu alasan perubahanmu selama ini. Dan aku akan pergi. Setelah konser itu, aku dan Ares akan menghilang dari hidupmu.”
Mata Marco berkilat berbahaya. Dalam sekejap ia meraih pinggang Althea dan membenturkannya pelan ke meja kerja. Tubuhnya menunduk, mendekatkan wajah mereka hingga hanya terpisah napas. “Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi?”
“Aku tidak minta izinmu.”
Lengan Marco mengunci tubuhnya, dan tanpa peringatan bibirnya menekan bibir Althea ,keras, panas, dan penuh amarah. Ciuman itu memaksa, menyapu setiap celah mulutnya, membuat Althea terperangkap di antara dorongan untuk melawan dan rasa candu yang ia benci.
Tangannya yang dingin merayap dari pinggang ke punggung bawah, menariknya lebih dekat, membuat dada mereka bertumbukan. Althea merasakan panas tubuh Marco menembus tipisnya kain yang memisahkan mereka. Napasnya tercekat, bukan karena takut, tapi karena sensasi yang menyerbu tanpa ampun.
Marco mengecup bibir bawahnya, lalu berpindah ke rahangnya, menuruni lehernya dengan ciuman tajam yang meninggalkan bekas. “Aku ingin semua orang tahu kamu milikku,” bisiknya dengan suara berat di dekat telinga. Jemarinya mengerat di pinggang Althea, membuatnya tak bisa bergerak.
Althea terengah, kedua tangannya menahan dada Marco, tapi tubuhnya tak sepenuhnya menolak. Ada bagian dalam dirinya yang membenci kelemahan itu ,membenci betapa cepatnya ia kembali terperangkap dalam pesona pria ini.
Saat ciuman mereka kembali menyatu, lidah mereka saling menantang, panasnya semakin liar. Marco menekan tubuhnya lebih dalam ke meja hingga Althea bisa merasakan detak jantungnya yang cepat.
Ketika Marco akhirnya melepaskannya, napas mereka sama-sama memburu. Tatapan Marco gelap, namun ada sesuatu di sana ,rasa takut kehilangan yang ia tutupi dengan kesombongan.
“Kita lihat saja, Althea,” katanya pelan, nyaris seperti ancaman. “Kau tidak akan bisa pergi sejauh yang kau pikirkan.”
Marco melepasnya perlahan, tapi jarinya masih sempat menyusuri garis rahang Althea sebelum ia membuka pintu. Tubuh Althea masih terasa panas, pikirannya berputar cepat. Ia tahu satu hal ,pertarungan mereka baru saja dimulai. Dan kali ini ia tidak akan mengalah.
ko bisa ingat Jay apa benar akan kembali ke jay Thor
peran utama kalah dengan peran pembantu
kata NK mulai ini masih Marco yg di atas angin