Hidup sebatang kara, dikhianati oleh keluarganya, bahkan diusir dari rumah peninggalan orang tua oleh sang tante, membuat Ayuna Ramadhani terpaksa harus bekerja keras untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah sebanyak mungkin di tengah kesibukkannya kuliah. Ditambah pengkhianatan sang pacar, membuat Ayuna semakin terpuruk.
Namun titik rendahnya inilah yang membuat ia bertemu dengan seorang pengusaha muda, Mr. Ibram, yang baik hati namun memiliki trauma terhadap kisah cinta. Bagaimana kelanjutan kisah Ayuna dan Mr. Ibram, mungkinkah kebahagiaan singgah dalam kehidupan Ayuna?
Selamat membaca
like like yang banyak ya teman-teman
terimakasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGAKUAN
"Bisa bicara sebentar dengan Bu Ayuna?" pinta Rajendra saat Ibram dan Ayuna masih membereskan berkas. Rajendra sengaja balik menuju meja Ibram, meminta Pak Dibyo kembali ke kantor lebih dulu.
Ayuna hanya diam, lalu menoleh pada Ibram seolah meminta izin. "Biar nanti saya antar Bu Ayuna kembali ke kantor," tawar Rajendra seperti memohon agar diizinkan untuk bicara berdua dengan Ayuna.
Ibram mengangguk, "Tidak perlu diantar, saya tunggu saja. Silahkan kalau mau bicara dengan Bu Ayuna."
"Saya izin sebentar ya, Pak." Ibram mengangguk, dan membiarkan Ayuna mengikuti Rajendra di meja seberang. Rajendra memilih meja outdoor, namun tetap dalam pantauan Ibram.
"Apa kabar, Ay?" tanya Rajendra mengawali obrolan keduanya. Ayuna hanya mengangguk dengan wajah datar.
"Maaf ya!"
Ayuna masih diam saja, ia tak mau bicara, khawatir ia menangis lagi. Hatinya sudah lumayan tenang, hampir satu bulan mereka putus kenapa sekarang dipertemukan lagi.
"Aku salah sama kamu, aku minta maaf. Bahkan saat itu aku tidak memberikan penjelasan apapun."
Ayuna masih diam. Dia tak mau memancing omongan Rajendra, biar dia yang mengungkap sendiri, karena sedari awal Ayuna hanya minta penjelasan Rajendra.
"Aku sudah tidur dengan Ersa!" percaya lah, rasanya Ayuna seperti ditampar 100 orang. Panas. Pengakuan yang menyakitkan.
"Malam itu, aku teramat pusing dengan urusan kantor. Kepalaku rasanya mau pecah. Hingga aku berbelok ke diskotik."
Ah, Ayuna sudah bisa menebak alur cerita Rajendra. Pasti diawali minum alkohol lalu berlanjut ke hubungan suami istri bersama Ersa. Seketika air mata Ayuna turun, ia sudah membayangkan apa yang terjadi. Sakit banget. Dikhianati dua orang terdekatnya.
Ayuna tidak bisa menatap Rajendra lagi, ia tidak kuat. Lelaki kesayangannya telah mengkhianati kisah mereka. Ayuna lebih baik mengalihkan pandangan sembari mengusap air mata. Hati yang baru saja ditata, kembali diobrak abrik.
"Aku masih sadar, Ay, saat melakukan itu. Aku tidak munafik kalau aku tergoda dengan Ersa malam itu. Kami memang tidak janjian, kebetulan bertemu di sana."
"Oke, tak usah diceritakan lagi. Telinga gue panas, karena terlalu menjijikkan." Ayuna bahkan menekan setiap intonasi agar tangisnya tak keluar.
"Gue akuin lo jahat banget, Ndra. Di saat lo sadar kenapa lo gak ingat gue, kenapa lo lebih menuruti hawa nafsu lo ketimbang menjaga komitmen kita. Lo sadar gak sih, kebahagiaan gue bergantung sama lo. Hidup gue butuh lo, Ndra." pecah sudah tangis Ayuna, suaranya tidak keras tapi sangat menyayat hati. Rajendra pun ikut menangis.
"Lo tahu hancurnya hidup gue gimana, dan sekarang lo makin menghancurkannya. Salah gue apa sih, Ndra, sampai lo tega menyiksa batin gue begini." Ayuna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Pundaknya naik turun, tak lama ia pun meletakkan kepala di meja. Tiba-tiba pening saja. Rajendra mengelus rambut Ayuna namun ditepis.
"Sampai detik ini gue masih berharap kita balikan. Bahkan gue pernah telepon Ersa, berusaha tidak curiga akan kedekatan lo dengan dia saat di rumah sakit. Tapi nyatanya, kalian berdua kejam banget sama gue."
"Iya, Ay. Aku salah, aku salah banget sama kamu. Bahkan aku dua hari menghilang, sangat menyesal sudah melakukan hal itu."
"Udah deh, Ndra. Gue udah puas dengar pengakuan Lo. Gue harap gue gak ketemu sama lo lagi. Proyek ini pun pada akhirnya tidak melibatkan gue juga. Aku mohon maaf," Ayuna menjeda ucapannya, tak kuat menahan air mata. Bibirnya bergetar hebat. "Dan terimakasih sudah menemaniku di saat aku tak punya siapa-siapa. Doakan aku kuat menjalani hidup ini sendiri. Salam ke Ersa, jadi cewek jangan terlalu murah."
Ayuna pun mengusap air matanya sebentar, kemudian berdiri dan menemui Ibram. Tak menyangka sang bos begitu sabar menunggunya.
"Sudah?" tanya Ibram yang melihat Ayuna mengambil tas berkas.
"Sudah, Pak," jawab Ayuna dengan suara parau. Ibram menyimpan ponselnya lalu berjalan beriringan dengan Ayuna menuju mobil.
"Mau nangis?" tanya Ibram sembari menyodorkan tisu. Ayuna hanya menatap tisu itu, lalu mengambilnya. Ia kembali menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tak peduli ada Ibram, ia hanya ingin menangis saja.
Ibram hanya diam, sembari mendengar sesenggukan Ayuna, ia juga tak segera menyalakan mesin mobil.
"Dia jahat banget, Pak sama saya!" akhirnya Ayuna bicara, namun tangisan kembali terdengar. Ibram tiba-tiba mengelus rambut Ayuna berusaha menenangkannya.
"Maaf, Pak!" ucap Ayuna kemudian. Wajah, mata, hidung semua memerah. Untungnya ingus dan air mata sempat diusap dengan tisu.
"Mantan kamu?" Ayuna mengangguk.
"Kenapa? Kasih penjelasan?" tebak Ibram dan diangguki Ayuna. "Lalu, mengajak balikan?" kali ini Ayuna menggeleng.
"Saya juga gak bakal mau balikan sama dia," curhatnya pada Ibram. Tumben juga ia mau terbuka pada bosnya itu.
"Gak mau balikan kok nangis begini. Sini," Ibram mengelap air mata yang masih ada pipi Ayuna menyingkirkan anak rambut yang ikut melekat di pipi juga.
"Mantan buang aja ke laut ya," saran Ibram layaknya seorang kakak menasehati adiknya.
Ayuna mewek dengan perlakuan sederhana Ibram, tak menyangka juga ia mau disentuh sang bos, yah meski hanya pipi.
"Kok tambah mewek?" baru selesai mengusap, eh air mata Ayuna tumpah lagi. Spontan saja Ibram memeluk Ayuna, agar Ayuna segera berhenti menangis. Meski Ibram pernah disakiti sang mantan, bukan berarti ia tak peka kalau seorang perempuan sedang sedih pasti butuh sandaran. Apalagi Ibram melihat ketulusan Ayuna pada sang mantan, pasti dia patah hati sekali.
"Maaf, Pak. Jas bapak basah," ucap Ayuna dan mulai sadar bahwa yang memeluknya tadi bos ganteng. Ibram hanya tersenyum, lalu melepas jas itu, dan meletakkannya di kursi belakang.
"Gak pa-pa, nanti saya cuci. Sudah siap balik kantor?" Ayuna mengangguk.
Ayuna menyenderkan kepalanya di jendela mobil, Ibram juga tak mengajaknya bicara, dan saat memasuki area kantor, Ibram menoleh sebentar ternyata Ayuna tidur.
Ibram berusaha menahan tawa, habis nangis bisa ya tidur nyenyak begitu. Ia pun memotret wajah sembap Ayuna. Sebuah pengalaman manis, menemani seorang gadis menangis karena putus cinta.
Ibram pun menyenderkan kepalanya di kursi. Hatinya tergerak untuk mengakui, gadis seperti Ayuna lah yang ia inginkan. Setia.
Ibram pun memiringkan badannya menghadap Ayuna, mengamati wajah pulas gadis itu.
"Kenapa kamu datang di dekatku, Ay?"
"Aku tak punya keberanian untuk menyukai perempuan, bahkan tidak berani berharap bertemu jodoh setelah hari itu. Tapi sekarang, aku bertemu kamu, boleh kah mengharap kita berjodoh?"
Drt...drt...ponsel Ayuna berdering, cepat Ibram berubah posisi. Mata Ayuna masih menyipit, memastikan sampai mana.
"Ouh, sudah di kantor, Pak?"
"Iya, barusan sampai. Mau aku bangunkan tapi kamu sudah bangun duluan," ucap Ibram cari aman. Keduanya pun turun dari mobil.
Saat di lobi pun aura bossy seorang Ibram terpancar, ia dengan sengaja meminta Ayuna untuk menggandakan kontrak kerja dan memberikan kepada Uci untuk diarsip.
Dokumentasi saat meeting juga diserahkan ke Uci untuk diarsip. Ibram sengaja memerintah Ayuna saat keduanya berjalan beriringan di lobi, agar karyawan yang melihat tidak berasumsi lain, dan menjaga prasangka orang lain pada Ayuna sebagai karyawan magang tapi sudah meeting berdua dengan Ibram.
Lebih baik mencegah gosip daripada klarifikasi bukan.