NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:160
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gerbang Velmore Hollow

Kabut semakin pekat saat langkah Anzu dan Alfred menapaki jalan berbatu menuju gerbang lembah.

Udara di sekeliling mereka terasa hidup — berat, lembap, dan dipenuhi bisikan samar yang datang entah dari mana. Seolah lembah itu bernafas, memperhatikan setiap langkah mereka dengan mata tak kasat mata.

Dari balik kabut, dua pilar batu raksasa menjulang menembus langit kelabu.

Di antara keduanya berdiri gerbang tua berlumut, dipenuhi ukiran kuno yang memancarkan cahaya biru redup.

Angin berputar pelan di sekitar mereka, membawa aroma aneh — campuran antara bunga liar dan besi berkarat.

Alfred menelan ludah, pandangannya berkeliling gugup.

“Tempat ini... tidak terasa seperti dunia yang sama,” gumamnya.

Anzu menatap ke atas, menelusuri pola-pola rumit di batu raksasa itu.

“Velmore Hollow... gerbangnya masih hidup,” ujarnya pelan.

Begitu ia melangkah lebih dekat, simbol-simbol pada batu menyala satu per satu, membentuk lingkaran cahaya yang mengambang di udara.

Kabut di sekeliling mereka bergetar keras — lalu pecah seperti kaca.

Dalam sekejap, dunia berubah.

Langit di balik gerbang itu berwarna kebiruan seperti kaca cair. Tanahnya diselimuti rumput bercahaya lembut, sungai berkelok dengan air perak yang berkilau memantulkan cahaya batu kristal di tebing.

Bangunan-bangunan berdiri di kejauhan — bukan dari batu atau kayu, melainkan dari logam alami yang memantulkan cahaya hangat seperti napas bintang.

Dan di antara semua itu… mereka melihat para Velmari.

Ratusan sosok ramping berjalan di jalan bercahaya. Kulit mereka pucat lembut, telinga panjang melengkung, mata keperakan berkilau seperti bulan di air.

Beberapa berhenti dan menatap — bukan dengan kebencian, melainkan keheranan.

Seolah dua manusia di hadapan mereka adalah legenda yang tiba-tiba hidup.

"Mereka... ras Velmari,” bisik Anzu.

“Jadi tempat ini... bukan cuma dongeng?” Alfred menatap sekeliling dengan mulut menganga.

Salah satu Velmari muda lewat, menatap mereka dengan mata lebar.

“Manusia...?” gumamnya, nyaris tak percaya, sebelum cepat-cepat pergi.

Tatapan-tatapan mengikuti langkah mereka. Anzu bisa merasakannya — rasa ingin tahu, kewaspadaan, dan bisikan halus di udara.

“Kita seperti binatang langka di kebun suci,” gumam Alfred, separuh canggung.

“Diam dan jalan,” sahut Anzu datar.

“Oke... tapi kalau mereka mulai menyentuhku, aku kabur duluan.”

Mereka menuruni jalan batu menuju pusat lembah, di mana berdiri sebuah pohon raksasa berakar kristal.

Batangnya setinggi menara, rantingnya berpendar lembut seperti gugusan bintang yang menetes ke bumi.

Di bawahnya berdiri rumah besar dari logam putih keperakan — indah, tapi terasa tua dan sakral.

Seorang Velmari tua sudah menunggu di depan. Rambutnya seputih salju, matanya keperakan pekat. Saat berbicara, suaranya dalam tapi lembut, seperti gema dari masa lampau.

"Sudah lama sekali... ras manusia menjejakkan kaki di lembah ini.”

Anzu menunduk hormat.

"Kami tidak bermaksud mengusik. Kami hanya mencari jalan menuju utara. Jika tempat ini.......”

“Velmore Hollow,” potong sang tua dengan senyum samar. “Kalian sudah berada di jantungnya.”

Alfred berbisik pelan,

“Hebat, bahkan tanpa niat pun kita bisa nyasar ke tempat legendaris. Kalau begini terus, kita bisa buka jasa wisata tersesat.”

Anzu menahan diri untuk tidak meninju perutnya di tempat.

Velmari tua itu menatap mereka lama sebelum berucap lagi.

“Datanglah. Ada hal yang perlu kita bicarakan. Dunia luar... seperti apa sekarang?”

Kalimat itu membuat Anzu menatapnya tajam.

“Dunia luar?”

Sang pemimpin berjalan perlahan menuju rumahnya, langkahnya tenang tapi penuh wibawa.

“Lembah ini dulunya tempat perlindungan. Kami, para Velmari, pernah hidup berdampingan dengan manusia."

"bertukar ilmu dan darah, tapi ketika dunia luar dilanda perang dan dosa, kami menutup kabut pelindung ini."

"Lembah ini... adalah dunia yang terasing dari waktu.”

“Jadi tempat ini sudah terputus dari dunia luar selama ratusan tahun?” tanya Alfred, separuh tak percaya.

“Tidak ada peta yang bisa menunjukkannya lagi,” jawab sang tua pelan. “Hanya mereka yang ditakdirkan... atau tersesat, yang bisa tiba di sini.”

Keduanya saling pandang — menyadari, mungkin mereka adalah keduanya sekaligus.

Namun Anzu tetap curiga.

“Jika lembah ini dijaga kabut dan roh penjaga, kenapa kami bisa masuk begitu mudah? Kami tidak bertemu satu pun makhluk penjaga.”

Senyum sang pemimpin lenyap.

“Itu... tidak mungkin,” bisiknya. “Tak seorang pun bisa melewati kabut tanpa ujian.”

Angin lembah berhembus aneh, membawa bisikan samar seperti nyanyian dari bawah tanah.

Anzu merasakan bulu kuduk nya berdiri.

"Ujian, ya...?” Alfred mencoba tertawa canggung. “Kuharap hadiahnya bukan kematian.”

Pemimpin itu tak menjawab. Ia hanya menatap langit dengan wajah berat.

“Masuklah dulu. Kalian perlu istirahat. Dan makanlah. Kita bicara setelah itu.”

Rumah sang pemimpin terasa hangat dan damai. Batu-batu bercahaya menempel di dinding, menerangi ruangan dengan sinar lembut kebiruan.

Di atas meja, tersaji hidangan aneh namun menggoda, buah biru transparan, daging panggang beraroma manis, dan minuman seperti air kristal.

Anzu memandangi makanan itu penuh curiga, sementara Alfred... sudah menyerang meja seperti prajurit kelaparan.

"Wah! Ini luar biasa!” Alfred mengunyah cepat, matanya berbinar.

“Manis, gurih, dan ada rasa... hmm, seperti ayam yang jatuh ke kolam madu!”

“Kau bahkan tidak tahu itu dari makhluk apa,” kata Anzu dingin.

“Kalau rasanya begini, aku tidak peduli itu dari naga, roh, atau sandal dewa. Aku ambil resepnya kalau bisa!”

Sang pemimpin tertawa kecil — tawa lembut tapi samar, seperti suara seseorang yang sudah lama lupa caranya tertawa.

“Kalian membawa jejak yang asing,” katanya pelan. “Dan sesuatu yang lama tertidur di lembah ini... kini bergetar lagi.”

“Apa maksudmu?” tanya Anzu, matanya menajam.

Velmari tua itu hanya menatap api kecil di ruang tengah, suaranya merendah seperti doa.

"Dunia luar telah lama melupakan tempat ini... tapi tampaknya, dunia luar mulai memanggil kami kembali.”

Di luar, angin kabut kembali berhembus — kali ini disertai denting aneh. Seperti logam yang bergesekan, jauh di dalam kabut.

Anzu berdiri perlahan, tangannya otomatis meraih gagang pedang. Instingnya berteriak.

Sementara Alfred, masih dengan pipi penuh makanan, menatap ke jendela.

“Eh... suara apa itu?” katanya pelan.

“Masalah,” jawab Anzu pendek.

“...Dan aku belum selesai makan. Sial.”

Dari balik kabut, cahaya biru mulai berputar — dan suara langkah berat mulai bergema.

Masalah itu datang lebih cepat dari yang mereka duga.

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!