Aluna Maharani dan Reza Mahesa sudah bersahabat sejak SMA. Mereka kuliah di jurusan yang sama, lalu bersama-sama bekerja di PT. Graha Pratama hingga hampir tujuh tahun lamanya.
Kedekatan yang terjalin membuat Aluna yakin, perhatian kecil yang Reza berikan selama ini adalah tanda cinta. Baginya, Reza adalah rumah.
Namun keyakinan itu mulai goyah saat Kezia Ayudira, pegawai kontrak baru, masuk ke kantor mereka. Sejak awal pertemuan, Aluna merasakan ada yang berbeda dari cara Reza memperlakukan Kezia.
Di tengah kegelisahannya, hadir sosok Revan Dirgantara. Seorang CEO muda yang berwibawa dari perusahaan sebelah, sekaligus sahabat Reza. Revan yang awalnya sekadar dikenalkan oleh Reza, justru membuka lembaran baru dalam hidup Aluna. Berbeda dengan Reza, perhatian Revan terasa nyata, matang, dan tidak membuatnya menebak-nebak.
Sebuah kisah tentang cinta yang salah tafsir, persahabatan yang diuji, dan keberanian untuk melepaskan demi menemukan arti kebahagiaan yang sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqueena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JADIKAN AKU PELAMPIASAN
Rintik hujan pagi itu membasahi jendela kamar. Awan gelap menggantung berat, seolah ikut menyelimuti hati yang lelah.
Di dalam kamarnya, Aluna duduk menekuk lutut di atas kasur.
Pakaian kerja yang ia kenakan semalam masih berserakan di lantai.
Matanya sembab, bukti nyata malam panjang yang baru saja ia lalui.
Hari ini, ia memutuskan untuk diam di rumah. Tak mengirim kabar, tak membuka pesan dari siapa pun.
Kepalanya terasa berat, sisa tangis semalam masih menekan di pelipisnya. Ia berusaha keras menghapus bayangan Reza dan Kezia, dua orang yang semalam ia lihat bercumbu di depan matanya sendiri.
Namun yang lebih rumit adalah pikirannya tentang Revan. Pria itu yang beberapa hari ini selalu hadir di setiap momen rapuhnya.
Ia semalam bahkan memeluk tubuh Aluna yang goyah dengan begitu erat, hingga rasa hangat itu nyaris menembus pertahanan hatinya.
"Biar aku sembuhkan dulu hati ini. Aku ingin menutup pintu hati sementara waktu, sampai seseorang benar-benar mengetuknya." -Aluna
Sementara itu, di kantor, suasana sedikit berbeda. Yuna berulang kali mencoba menghubungi Aluna, tapi tak ada jawaban.
Begitu juga dengan Reza dan Robin, ketiganya sama-sama khawatir, meski dengan alasan yang berbeda.
Yuna: "Kayaknya ada sesuatu yang ganggu Aluna deh. Nggak biasanya dia nggak kabar sama sekali."
Reza: "Apa dia sakit? Tapi biasanya kalau sakit pun dia tetap ngabarin."
Robin: "Jangan-jangan dia patah hati gara-gara ending drama semalam nggak sesuai harapan."
Batin mereka.
Mereka bertiga menghela nafas secara bersamaan. Tak satu pun dari panggilan mereka dijawab. Bahkan Pak Ardi, atasan mereka, sampai ikut menanyakan kabar Aluna tapi tidak ada yang tahu pasti.
****
Hujan reda menjelang siang, meninggalkan genangan air di jalanan. Aluna kini duduk di meja makan, menatap semangkuk mie instan yang baru saja diseduh. Tangannya sibuk mengaduk, tapi pandangannya kosong.
Ketika satu suapan masuk ke mulutnya, matanya kembali berair. Memang sulit menelan makanan ketika hati ikut sakit. Kata orang, menahan tangis sambil makan hanya membuat rasa sesaknya makin kuat.
Baru hendak menyuap lagi, bel pintu berbunyi.
Sekilas ia melirik, tapi memilih mengabaikannya.
Bel itu berbunyi lagi, kali ini lebih lama.
Aluna akhirnya berdiri, menyeka air mata dengan punggung tangan, lalu melangkah pelan ke arah pintu.
Ceklek.
Pintu terbuka, Revan berdiri di sana, membawa kantong berisi makanan.
Ia tersenyum kecil, memiringkan kepala sambil menatap Aluna yang tampak letih.
"Selamat siang," ucapnya lembut, mengangkat kantong itu sedikit. "Mau makan siang bareng?"
Aluna terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. "Masuklah."
...****...
Di dalam apartemen, keduanya duduk bersila di lantai ruang tamu. Kotak-kotak berisi ayam goreng kini memenuhi meja, aromanya menggoda dan hangat.
"Kamu bilang mau datang malam nanti?" tanya Aluna heran.
Revan menyandarkan punggungnya ke sofa, tersenyum tipis. "Memang. Tapi rasanya lama banget kalau harus nunggu sampai malam."
Ia mengambil sepotong ayam bersaus pedas, mencobanya, lalu mengulurkan potongan lain pada Aluna. "Cobain, yang ini enak banget."
Aluna buru-buru menggeleng. "Nggak usah, aku udah kenyang."
Revan tak menyerah. Ia mendekat sedikit, tetap menawarkannya. "Ayo, sekali aja. Aku yakin kamu suka."
Aluna memandang wajahnya sebentar, lalu menghela napas kecil. Akhirnya ia membuka mulut dan menggigit sedikit. Matanya langsung berbinar.
"Wah… ternyata kamu bener, enak banget," katanya sambil tersenyum kecil.
Revan ikut tersenyum puas. "Tuh kan, aku nggak mungkin salah soal makanan."
Perlahan suasana berubah. Tawa ringan mulai terdengar, mengisi ruang yang tadinya sepi.
Candaan Revan membuat Aluna lupa sejenak pada luka yang baru semalam ia tangisi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, wajahnya terlihat benar-benar tenang.
...****...
Setelah selesai menikmati makanan tadi, Revan segera melangkah menuju dapur untuk mencuci tangan. Aluna ikut masuk, membereskan beberapa gelas yang tadi mereka gunakan.
Ketika ia berbalik setelah meletakkan gelas di atas meja dapur, Revan juga berbalik dari wastafel, tubuh mereka hampir bersentuhan.
Sejenak, keduanya saling terpaku. Jarak mereka begitu dekat hingga Aluna refleks sedikit bersandar ke meja di belakangnya, mencoba menciptakan ruang. Wajahnya memanas, sementara jantungnya berdetak lebih cepat.
Revan, yang sama salah tingkahnya, segera mengalihkan pandangan. Dan bergerak ragu-ragu sebelum melangkah ke ruang tamu.
Aluna masih berdiri di tempatnya, lalu memegang sisi meja erat-erat. Nafasnya berusaha ia atur, tapi rasa gugup itu belum juga reda.
"Nggak boleh, Aluna. Jangan menaruh hati padanya, itu sama saja menjadikannya pelampiasan." batinnya.
Beberapa detik setelah itu, ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya menyusul Revan ke ruang tamu.
****
Senja datang tanpa terasa. Langit jingga menembus jendela, menyoroti ruangan dengan cahaya hangat. Televisi masih menyala, tapi suara film nyaris tak terdengar.
Aluna tertidur bersandar di bahu Revan. Napasnya tenang, wajahnya damai.
Revan, yang awalnya hanya ingin meminjamkan bahu untuk sandaran, akhirnya ikut terlelap.
Kepalanya sedikit miring, bersentuhan dengan Aluna. Sesekali tubuhnya bergerak kecil, tapi ia tidak merubah posisi sama sekali.
Beberapa jam kemudian, Revan terbangun lebih dulu.
Ia menatap wajah Aluna yang masih terlelap, lalu perlahan mengangkat tangannya, menyibak sedikit rambut dari wajahnya.
Senyum kecil muncul tanpa sadar.
Namun sentuhan lembut itu membuat Aluna menggeliat pelan. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Begitu sadar kepalanya bersandar di bahu Revan, ia buru-buru menjauh.
Maaf…” ucapnya lirih, memalingkan wajah.
Revan hanya menatapnya diam-diam.
Perlahan ia mendekat, lalu menepuk lembut bahu Aluna hingga gadis itu menoleh.
Tatapan mereka bertemu, lama.
Revan menatap lekat kedua mata Aluna bergantian, Suaranya merendah, nyaris seperti bisikan yang menelusup begitu saja ke ruang hatinya.
"Jadikan aku pelampiasan mu, Na."
✒️ Bersambung
...----------------...
Revan sudah berdiri di garis start nih. Kira-kira Aluna mau nggak yah jadikan Revan sebagai Pelampiasannya? Walaupun sebenarnya itu kurang pantas untuk seorang Revan.
Temani kisah Aluna sampai akhir yah 🥰
GAMSAHAMNIDA 🌹🙏🏻