Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 19
“Buka saja dulu.”
Dengan hati-hati, Nara membuka kotak tersebut. Matanya membesar ketika melihat isinya, Sertifikat hak milik sebuah butik, dengan namanya tercetak jelas di atasnya.
“I-ini… Ma?” suaranya bergetar tak percaya.
“Butik untuk kamu. Mama ingin kamu punya usaha sendiri dan tidak bekerja lagi ditoko orang. Mama tahu ini akan terurus baik di tanganmu,” ucap Melisa, tatapannya penuh kasih.
Nara memeluk Melisa erat. “Terima kasih, Ma… ini terlalu berharga,” katanya dengan suara serak, air mata menggenang di sudut matanya.
Kedua orang tua angkat itu, pak Riyo dan buk Ninik juga ikut bahagia melihat dengan kebahagian sang putrinya,nara.
Zean hanya diam, memperhatikan dari tempat duduknya. Ia tak mempermasalahkan hadiah itu, meski pernikahan ini bukan karena cinta.
“Nanti sore kita lihat butik kamu, ya. Pagi ini Mama ada pekerjaan,” ujar Melisa.
Nara mengangguk bahagia. Di matanya, Melisa adalah sosok mertua yang sempurna, meski hanya ia dan Zean yang tahu, pernikahan ini menyimpan kisah yang berbeda dari yang dilihat orang.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Di tempat lain, yang jauh dari kemewahan itu…
Udara di dalam sebuah rumah kayu itu terasa pengap, bercampur bau tembakau dan aroma lembab air danau yang merayap masuk dari celah jendela. Lampu gantung tua berayun pelan, memantulkan cahaya kekuningan di wajah pria berbadan besar berkulit kecokelatan yang duduk bersandar di kursi reyot.
“Ini pekerjaan yang sangat berbahaya. Kalau kami tertangkap…” suaranya berat dan serak, “…hukuman mati menunggu.”
Di hadapannya, Lusi berdiri tanpa gentar. Senyum sinis terukir di bibirnya, tatapannya seolah menusuk. “Kalian tenang saja. Aku akan membayar dengan jumlah yang tidak akan kalian tolak.”
Pria brewokan di sudut ruangan mengisap rokoknya dalam-dalam. Ujung bara merahnya menyala sesaat sebelum ia menghembuskan asap ke udara, menciptakan lapisan kabut tipis di antara mereka. “Berapa?” tanyanya datar, seolah menguji keseriusan wanita itu.
“Satu miliar,” jawab Lusi mantap, suaranya terdengar dingin namun penuh keyakinan.
Pria brewok itu tersenyum tipis, matanya menyipit. “Hmm… menarik.”
Lusi melangkah maju, meraih ponselnya, lalu memperlihatkan layar yang menampilkan bukti transfer. “Lima ratus juta sebagai uang muka. Sisanya… setelah kalian membereskan pekerjaan ini.”
Pria berbadan besar itu mengangguk pelan. “Siaaap,” ucapnya santai, namun di balik nada ringan itu ada aura haus darah yang menguar.
Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Lusi berbalik, tumit sepatunya mengetuk lantai kayu yang lapuk. Begitu keluar, udara dingin sore hari menyambutnya. Rumah di tepian danau itu kembali tenggelam dalam kesunyian, hanya suara riak air yang memecah keheningan.
Ia masuk ke mobilnya, menyalakan mesin. Senyum sinisnya kembali muncul, kali ini lebih lebar. “Kita lihat saja nasibmu setelah ini, gadis kecil,” gumamnya dingin, memutar setir dan melaju meninggalkan rumah itu, seolah meninggalkan sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Hari ini, Nara datang ke tempat kerjanya yang dulu. Tujuannya jelas ingin menyampaikan surat pengunduran diri secara resmi. Tapi bukannya dibiarkan pergi begitu saja, beberapa teman lamanya justru menahan dan mengajaknya berkumpul sejenak.
Karena jam makan siang telah tiba, mereka pun memilih pindah ke warung makan sederhana di sudut jalan. Aroma tumis bawang bercampur wangi kuah sop memenuhi udara.
“Kamu serius nggak kerja di sini lagi, Ra?” tanya Vina, teman di bagian produksi.
“Ya ampun, Vin,” celetuk salah satu temannya sambil menyeruput es teh. “Buat apa Nara capek kerja? Suaminya kaya raya. Beli sepuluh toko garment kayak kita juga sanggup, kan?
Nara tersenyum tipis, tak ingin membenarkan atau membantah. “Bukan begitu, teman-teman. Aku sengaja tidak bekerja lagi karena atas permintaan mama mertuaku," ucap Nara lembut.
“Berarti mama mertua kamu sayang dong sama kamu, karena dia tidak ingin menantunya yang cantik capek bekerja," kata teman Nara yang lainnya.
“Kamu beruntung banget, sih, Nara. Bisa nikah sama orang kaya dan dapat mertua yang baik hati lagi," ucap vina, dan diangguk setuju mereka semua.
“Nara, kami semua mendoakan pernikahanmu semoga sakinah, mawaddah, warahmah dan segera diberikan kepercayaan untuk mempunyai malaikat kecil disini," ucap Ratih yang dengan lembut mengelus perut Nara.
“Malaikat kecil?” kata itu langsung menggema di kepala Nara, membuat dadanya terasa sesak.