Ketika membuka mata, Dani menemukan dirinya berada di sebuah kamar. Ia tak mengingat apapun tentang dirinya. Di sana dia bertemu dengan pria yang mengaku sebagai bosnya. Pria itu mengatakan kalau Dani merupakan personal trainer di gymnya yang diketahui juga melakukan pekerjaan p|us-p|us.
Namun semua itu tak berlangsung lama, karena ingatan Dani perlahan pulih setelah bertemu wanita yang mengetahui masa lalunya. Saat itulah Dani menggunakan keahlian hipnotisnya dan mengambil alih bisnis gym. Siapa yang menduga? Bisnis itu menjadi sukses besar saat dikelola oleh Dani.
"Layanan trainer-trainer di gym 24 luar biasa. Pokoknya bikin lemas dan banjir lendir. Eh, maksudnya lendir keringat. Hehe..." ucap salah satu tante langganan gym 24.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26 - Kedekatan Dani & Kalina
Hujan turun tipis ketika Dani tiba di rumah Kalina untuk sesi sore. Udara lembap menempel pada kulit, dan aroma tanah basah menyusup ke ruang fitness kecil di sisi timur rumah. Kalina menyambut dengan rambut disanggul seadanya dan sweater tipis menutupi atasan olahraga. Senyumnya ramah, namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar antusias berolahraga—sejak beberapa godaan terakhir Dani, ekspresi itu sering muncul: setengah gugup, setengah penasaran.
“Datang juga, Dek,” sapa Kalina. “Aku kira kamu bakal kehujanan.”
“Kalau buat Kakak, hujan juga disalip,” jawab Dani ringan. Ia menaruh tas, menatapnya hangat. “Hari ini latihan ringan aja. Kakak keliatan capek.”
Kalina menarik napas, duduk di ujung matras. “Seharian meeting. Yayasan juga lagi persiapan gala. Pusing.”
“Kalau gitu kita fokus release tension,” ujar Dani, mengeluarkan roller busa dan band elastis. “Napasnya diikuti, biar bebannya kebagi rata.”
Latihan dimulai dengan gerakan napas dan peregangan. Dani sengaja menjaga tempo lambat, memberi ruang percakapan. Di sela-sela hitungan, ia melontarkan kalimat-kalimat kecil yang terdengar sepele tapi mengendap.
“Kadang orang paling capek bukan karena kerjaan,” katanya pelan, membantu Kalina menurunkan bahu yang menegang, “tapi karena nahan hal-hal yang pengin diucapin.”
Kalina terdiam, mengerjap. “Kamu ngomong kayak psikolog.”
“Bukan psikolog, cuma kebetulan bergaul sama banyak orang. Semua,” Dani menatapnya sebentar, “punya rahasia.”
Kalina mengalihkan pandang, namun suaranya menghangat. “Termasuk kamu?”
“Termasuk aku,” Dani tersenyum tipis. “Tapi aku nggak jago menyembunyikan rasa.”
Kalina tertawa—lirih, tapi jujur. “Rasa apa?”
“Rasa nyaman tiap ada Kakak.”
Jawaban itu menggantung, seperti uap hujan di kaca. Kalina menghela napas, memejam sejenak, lalu kembali mengikuti instruksi latihan. Mereka menuntaskan set dasar: shoulder opener, hip flexor stretch, lalu sedikit aktivasi glute. Dani memastikan sentuhan koreksinya selalu diizinkan—ia bertanya dulu, menunggu anggukan, baru menyentuh. Sikap itu membuat Kalina lebih rileks; kepercayaan tumbuh, pelan namun stabil.
Saat cooldown, Dani mengambilkan handuk dan menyodorkan botol minuman jahe hangat. “Biar anget dari dalam.”
Kalina meminumnya, menatap ke arah hujan yang merintik di luar jendela. “Aku nggak nyangka personal trainer bisa sepanas ini,” godanya, kali ini berani.
Dani tertawa kecil. “Aku juga nggak nyangka klien bisa secantik ini.”
“Jadi kita imbang?” tanya Kalina.
“Imbang,” balas Dani. “Kalau Kakak mau, habis latihan kita ngobrol di ruang kerja sana. Aku bawa beberapa ide program—nggak cuma latihan, tapi wellness menyeluruh. Biar capek-capek gala bisa kebantu.”
Kalina mengangguk. “Oke. Aku penasaran.”
Ruang kerja Kalina tidak sebesar ruang Eddy, tapi hangat. Ada rak buku yang berisi majalah interior dan katalog acara. Dani menata laptopnya, menampilkan slide sederhana: jadwal latihan, makanan, tidur, dan “ritual pemulihan”—terapi napas, pijat otot, serta journaling singkat. Semua tampak profesional, dan yang terpenting: terdengar seperti sesuatu yang bisa membuat hidup Kalina lebih teratur.
“Aku nggak jual mimpi,” ujar Dani, menatapnya serius. “Tapi kalau Kakak mengikuti ini konsisten sebulan, aku berani bilang kualitas tidur naik, pegal berkurang, mood stabil. Bonusnya, Kakak akan punya waktu kosong lebih untuk hal-hal yang… Kakak sukai.”
“Hal-hal yang kusukai?” Kalina menyandarkan punggung, mempermainkan gelas. “Apa misalnya?”
Dani menahan senyum. “Apapun yang bikin Kakak merasa dilihat. Dihargai. Dan… diperlakukan istimewa.”
Keheningan sejenak. Hujan di luar menebal, menambah intim suasana. Kalina yang telah lama menjadi penyangga rumah besar ini, menjadi manajer tanpa jabatan untuk urusan sosial keluarga, merasa kalimat itu seperti potongan kunci yang pas di pintu hatinya. Ia tidak menjawab, hanya menunduk dengan senyum sulit ditahan.
“Program ini retainer bulanan,” lanjut Dani lembut. “Aku akan datang tiga kali seminggu, dan ada sesi online singkat tiap malam untuk tracking. Kalau cocok, kita lanjut. Kalau nggak, berhenti kapan saja. Simple, no pressure.”
“Berapa?” tanya Kalina.
Dani menyebut angka yang “premium namun masuk akal” untuk seorang trainer plus wellness coach. Ia sengaja tidak menempatkan harga di titik serakah—tujuannya bukan uang retainer itu, melainkan akses. Kalina mengangguk, tanpa menawar.
“Deal,” katanya. “Aku butuh sesuatu yang kurasa ‘punyaku’, bukan milik semua orang di rumah ini.”
“Kakak punya kendali penuh,” jawab Dani. “Termasuk atas dirinya sendiri.”
Kalina menatapnya—tajam, lalu melunak. “Termasuk atas… siapa yang boleh dekat?”
“Termasuk,” ucap Dani pelan.
Ia menutup laptop. Saat itulah, seperti disepakati tanpa kata, jarak di antara mereka menyusut. Kalina mendekat dan menatap bibir Dani. Jelas dia sedang berharap ciuman dari lelaki itu.
semoga nanti bisa bersatu dengan Dani .
bahagia bersama anak mereka
jangan-jangan nanti Lexy juga hamil...