Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Klinik Hewan
Mobil keluar dari jalan hutan menuju sebuah halaman rumah tua dengan lampu redup di beranda. Plang kayu tua bertuliskan Klinik Hewan hampir tak terbaca karena catnya terkelupas.
“Dokter ini bisa dipercaya, tapi…” Haris berhenti sejenak, menoleh ke Amara lewat kaca spion. “Dia tak pernah menangani manusia.”
“Kita tidak punya pilihan lain, kita tidak boleh membawanya ke rumah sakit. Ini pilihan terbaik.” potong Amara cepat. Ia menepuk wajah Fai pelan. “Bertahanlah… sebentar lagi kita sampai.”
Haris menghentikan mobil, keluar dengan cepat, lalu mengetuk keras pintu rumah itu. Dari dalam terdengar suara anjing menggonggong. Tak lama, seorang wanita muda muncul, rambutnya acak-acakan. Dia masih menggunakan piyama tidurnya.
“Haris? Tengah malam begini?” tanyanya heran.
”Juliet, aku butuh bantuanmu,” Haris berbisik cepat. “Ini darurat.”
Amara sudah turun, setengah berlari membuka pintu belakang mobil. Ia berusaha membantu mengangkat tubuh Fai, tapi tenaganya tak cukup. Haris segera menolong, dan bersama-sama mereka membawa Fai masuk ke dalam rumah yang berbau obat hewan, darah kering, dan antiseptik murahan.
”Aku mau kau melakukan keahlianmu."
Haris membuka ikatan pada luka Fai. Darah di sekitar luka mulai mengering, terlihat bengkak dan garis merah pada sekitar luka.
Dokter itu terperanjat melihat luka tembak di tubuh Fai. “Haris… ini… ini manusia!” suaranya bergetar.
Amara menatapnya tajam. “Tolong dia. Kalau tidak, dia akan mati di depanmu.”
Dokter itu menatap Amara, lalu pada Haris yang diam dengan rahang mengeras. Hujan di luar mulai turun lagi dengan deras, dan waktu berjalan terasa semakin cepat.
Dengan desahan berat, sang dokter akhirnya mengangguk. “Bawa dia ke meja operasi anjing. Kita tidak punya waktu. Lukanya sudah infeksi.”
Dia memegang lengan Fai, tubuh pria itu sekarang seperti dibakar. Panas bukan hanya pada tubuhnya, tapi juga pada luka tembak itu.
Juliet mengambil sarung tangan lateks, menyalakan lampu bedah.
”Haris, ambilkan ketamin dan jarum suntik! aku akan membiusnya dahulu.” Ia melirik Amara.
”Apa yang harus ku siapkan?” Amara menyambut dengan sigap.
”Siapkan Handuk dan air hangat, lalu ambilah povidone-iodine dan NaCl, aku akan mensterilkan lukanya." Ucap Juliet tegas.
Mereka bergerak cepat, Juliet pun mengangkat lengan Fai perlahan, lebih tinggi dari jantungnya, membalut perban pada sekitar luka tembak. Ia mulai membuat sayatan tambahan pada sekitar jalur peluru, darah yang menggenang ia hisap dengan Suction. Tangan Juliet dengan lincah mencari peluru dan serpihannya. Klem bedah menarik peluru itu perlahan, menghindari kerusakan jaringan sekitarnya.
Juliet selesai dengan bedahnya, kini ia mensterilkan luka Fai dengan NaCl 0.9 Persen. Amoxicillin dia suntikan pada infus yang terpasang pada lengan Fai satunya.
Juliet mengambil jarum dan benang tebal yang biasa dia pakai untuk menjahit kulit Pitbull. Dia mulai menjahit luka, otot, jaringan bawah kulit, lalu kulit. Lalu dia membalut perban steril menutup lukanya.
Juliet melepaskan sarung tangannya, darah kering dan antiseptik menempel di tangannya. Ia bersandar pada lemari obat.
“Aku sudah mengeluarkan pelurunya, membersihkan infeksinya sebisaku. Tapi… aku butuh antibiotik spektrum luas yang kuat, untuk manusia. Aku hanya punya amoxicillin untuk anjing besar,” katanya, suaranya serak. “Dan dia butuh transfusi darah jika demamnya tidak turun dalam satu jam.”
Haris menarik napas dalam-dalam. "Aku akan mencarinya. Katakan apa yang kau butuhkan, Juliet. Aku akan membawanya kemari.”
Juliet menatap Haris, pandangannya tajam dan lelah. “Kau tahu apa yang kau lakukan, Haris? Kau membahayakan lisensiku. Juliet menarik nafas panjang. ”Aku hanya akan membantumu sampai di sini. Sebaiknya kalian segera membawanya ke rumah sakit!”
Amara maju, mendekati Juliet. Tatapannya memohon. “Kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit." Amara melirik pada Haris. ”Dia adalah buronan.”
Juliet hampir saja mengeluarkan biji matanya. “Apa? Kalian sudah gila?! Dengar .. aku ini dokter hewan, bukan dokter manusia, apalagi tempat persembunyian buronan! Aku sudah melanggar sumpahku, etika profesi, dan hukum. Aku tidak punya alasan untuk terus menolong kalian.”
Haris, yang selama ini diam akhirnya bicara. Suaranya rendah dan serak, lebih seperti ancaman daripada penjelasan.
“Alasannya… adalah demi persahabatan, Juliet. Dan karena aku tahu kau adalah satu-satunya yang bisa kupercaya. Aku akan memberimu semua yang kau minta, setelah dia aman kami akan segera membawanya dari sini. Aku janji.” Haris mengambil kunci mobilnya. “Aku butuh daftar obatnya. Yang paling kuat. Dan cara untuk menahan demamnya.”
Juliet menghela napas, kekalahan terlihat jelas di bahunya. Ia tahu Haris tidak akan mundur, dan ia juga tahu, secara profesional, pasien di hadapannya masih dalam bahaya. Insting menyelamatkan yang ada pada setiap dokter, tak peduli untuk spesies apa, mendorongnya.
Ia mengambil pena dan sobekan kertas kuitansi. Dalam beberapa detik, ia menuliskan tiga nama obat dengan tulisan tangan cepat dan cakar ayam.
“Ini. Ceftriaxone atau Meropenem, ini yang paling kuat untuk infeksi parah. Cari apotek yang buka 24 jam. Jangan beli dalam jumlah banyak agar tidak mencurigakan,” kata Juliet sambil menyerahkan kertas itu pada Haris. “Lalu, kau butuh parasetamol injeksi dosis tinggi. Dan dua kantong golongan darah.”
Haris mengambil kertas itu. Matanya langsung tertuju pada kebutuhan darah. "Transfusi? Itu mustahil didapatkan tanpa resep dan prosedur resmi."
“Kalau demamnya mencapai 40 derajat celcius dan tidak turun, jantungnya akan berhenti. Dia sudah kehilangan banyak darah,” kata Juliet dengan nada datar. "Jika kau tidak bisa mendapatkan darah, setidaknya kembali dengan cairan saline dan injeksi parasetamol sebelum matahari terbit."
Amara berdiri di samping Haris. “Aku ikut,” katanya tegas.
Haris menggeleng. “Tidak. Kau tetap di sini. Juliet butuh bantuanmu memonitor Fai. Jika dia sadar atau kejang, kau harus ada di sini. Aku akan lebih cepat sendirian.”
Tanpa menunggu bantahan, Haris memeluk erat Amara sekilas, lalu bergegas keluar. Pintu rumah berderit tertutup di belakangnya, meninggalkan dua wanita itu, satu pasien terbius, dan bau antiseptik yang menyesakkan di tengah malam yang sunyi.
Amara kembali ke samping Fai, memantau wajahnya yang pucat. Ia melihat Juliet, yang kini sedang membersihkan noda darah di wastafel.
“Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan,” kata Amara perlahan, tanpa menoleh. “Mengapa kami mempertaruhkan segalanya untuk satu orang ini.”
Juliet mematikan keran air. Ia tidak menyahut, hanya mengeluarkan sepasang sarung tangan bersih. Ia menuju lemari, mengeluarkan stetoskop usang.
“Aku tidak berpikir, aku bekerja,” balas Juliet dingin. Ia meletakkan stetoskopnya di dada Fai. Mendengarkan detak jantung dan napasnya. “Detak jantungnya lemah. Paru-parunya bersih, syukurlah. Ketamin membantu, tapi ini adalah batas kemampuanku. Setelah ini, aku hanya bisa memberikan perawatan suportif.”
Amara menoleh. "Kami diburu oleh orang-orang yang… tidak peduli dengan hukum. Rumah sakit hanya akan menyerahkannya kepada mereka.”
Juliet menoleh, “Aku tidak ingin terlibat lebih dalam,sebaiknya kau simpan saja ceritamu.”
“Aku minta maaf, melibatkan masa depanmu, ” jawab Amara jujur.
Juliet mendesah, pandangannya melunak. Ia menatap selang infus yang tersambung ke tangan Fai. “Tolong, jangan biarkan infus itu habis. Dan siapkan air dingin di bak. Jika demamnya naik di atas 39 derajat celcius kita akan memindahkannya untuk kompres cepat.”
fai selalu bisa diandalkan...
💪💪💪💪
hebat Amara ayo Brantas kejahatan polisi korup....
betapa lihainya memainkan perasaan mu Amara
good job thor
ini bisa jadi sekutu itu Raditya kira2 masuk gak ya
🤣🤣🤣
Raditya kah???
haduhhhh makin penasaran nih
wah dalam bahaya kau Amara.,..
ati ati y
kok bisa ya secerdik itu dia...
.
wah g nyangka sekalinya Amara dilingkungan toxic...
semoga Amara berhenti JD polisi aja deh, gak guna lencanamu kalau hidupmu sudah dikondisikan dgn mereka para penjilat uang haram...
yok yok semanggad thor
💪💪💪💪
🙏🙏🙏🙏