Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
BRAK!
"MENYINGKIR DARI PUTRIKU!"
Gregor sontak berdiri, Axel refleks sigap melindungi Elira. Ternyata gubrakan itu datang dari Cedric, yang kini rautnya tampak murka.
"ASTAGA! PRIA MENYEBALKAN INI LAGI!" pusing Elira sambil memejamkan mata. Ia merasa ekspektasinya buyar begitu saja. Karena kedepannya, Cedric pasti akan terus menghambatnya dalam mengorek informasi.
"Apakah ini kejutan yang kau maksud, Nak?" Cedric dengan tatapan tajamnya melirik ke arah Gregor.
"Paman-"
"Aku tak berbicara denganmu," tukas Cedric memotong ucapan Axel. "Sini!" Elira meringis saat Cedric menariknya secara paksa ke belakang tubuhnya.
"Lepas!" protes Elira seraya mengentakkan tangan, namun genggaman Cedric terlalu kuat.
Gregor melihat Axel begitu gelisah menyaksikan itu. Ia sendiri pun merasa kasihan pada Elira. Ingin membela, tapi kemarahan besar Cedric sepertinya terarah padanya.
"BERHENTI MEMPERLAKUKANKU-"
"DIAM!" bentak Cedric serius, hingga membuat Elira tersentak.
Napas Cedric tersengal, dengan genggaman yang terasa menguat di pergelangan tangan sang anak. Cedric sudah cukup geregetan pada Elira, karena putrinya ini benar-benar keras kepala.
Elira yang merasa diremehkan, tanpa takut menatapnya lebih bengis dan tajam.
"Hah." Elira menyeringai dalam hati. "Sialan sekali. Berani-beraninya tua-tua keladi ini membentakku. Dia pikir aku akan tunduk padanya?"
"Harus berapa kali Ayah katakan?" lirihnya dengan perasaan yang benar-benar lelah. "Apakah sesulit itu untuk berdiam diri di rumah? Kau sudah mengacaukan rencana Ayah, Nak. Apakah masih tidak bisa dimengerti?"
Dengan angkuh Elira membuang muka.
"Dan ...," jedanya seraya melirik Gregor. "Apakah kau tahu siapa pria tua itu?" geram Cedric pada anaknya.
"Dia salah satu komplotan keluarga Vaelric yang pernah mengancam ibumu!"
Elira terkekeh kesal. Kenapa lelaki ini sangat mengesalkan?
"Dia berlagak seperti seseorang yang mengerti segala hal. Apa artinya dia benar-benar menganggapku bodoh? Aku yang lebih tahu segalanya."
Di sisi lain, Axel maupun Gregor masih diam, membiarkan Cedric melampiaskan amarahnya. Gregor sendiri mengakui, dulu ia memang setia pada tuannya, termasuk pada kasus yang melibatkan Naomi di dalamnya.
Akan tetapi semuanya berhenti sejak Vaelric melibatkan Ve di dalamnya. Dan, alasannya kini berada di pihak keluarga Vaelric adalah karena musuh mereka yang sama.
"Kita pulang sekarang," paksa Cedric berusaha menarik putrinya.
Elira mengepal kesal, mengentakkan lagi tangannya. "Lepas. Kubilang lepaskan," geramnya penuh tekanan.
Cedric terdiam. Tatapan mereka saling bertumbuk dalam hening. Hingga akhirnya ia mengalah melepaskan. Pergelangan tangan Elira yang tampak memerah membuatnya merasa agak bersalah.
"Maaf, Ayah terlalu khawatir padamu."
Axel sedikit lega mendengar itu, karena amarah Cedric perlahan padam.
"Ayah. Pikiran kita tak sejalan," ujar Elira. Ia berusaha menjelaskan dengan alasan yang bisa diterima.
"Aku hanya berusaha mencari partner-ku dalam kekacauan ini. Karena Ayah sendiri tak mau membantuku, kan?" sindirnya dengan sunggingan muak.
"Ayah hanya ingin aku seperti tuan putri polos yang tak tahu bahayanya dunia luar, bukan?" Elira menggeleng-geleng.
"Apakah Ayah sadar, kenapa dulu mereka begitu mudah membuat Ayah hancur?"
Cedric menatap lekat wajah putrinya yang tak gentar.
"Karena mereka tahu, jika kelemahanmu setelah Ibu pergi dalah aku, Elira yang lemah dan otaknya dipenuhi dengan kebodohan." Elira menjauhkan wajah setelahnya.
"Elira yang bodoh, karena mempercayai cinta akan menyelamatkan segalanya!" sebal Elira, yang tiba-tiba teringat pada Demian.
Cedric menghela napas, berusaha menetralkan rasa khawatir dan amarah yang bercampur aduk di dalam dadanya.
"Tapi," jeda Cedric mengungkit alasan lain yang membuat dirinya khawatir. "Axel. Kenapa kau mempertemukan pria licik ini dengan putriku?"
Tatapan tajam yang menyorot pada Gregor membuat hati pria itu cukup terusik. Ia memang pernah memiliki konflik dengan Cedric mengenai Naomi.
"Kau berniat mencelakainya?" geram Cedric.
Gregor menghela napas panjang, lalu agak mendekat dengan gestur penuh wibawa. Tubuhnya yang renta memang terlihat dimakan usia, namun aura lamanya sebagai mafia masih terasa. Sorotan matanya tak kalah tajam dari sang lawan bicara
"Aku tak berniat mencelakai Elira," jelas Gregor. "Kalau aku mau, sejak tadi aku sudah bisa melakukannya. Kau terlalu cepat menuduh, Cedric."
Cedric mendengkus sinis. "Kau pikir aku lupa? Kau orang yang dulu ikut menjerumuskan Naomi dalam perangkap mereka. Kalau bukan karena itu, istriku masih hidup sampai sekarang!"
"Selalu drama. Drama lagi, drama lagi. Tak bisakah para tua keladi ini jangan mendebatkan masa lalu?" kesal Elira dalam hati.
Axel mendekat, menjadi penengah di antara Cedric dan Gregor. "Tolong hentikan. Kita jangan sampai lupa pada tujuan awal."
Cedric menatap geram pada Axel. "Siapakah kau, Nak? Kenapa kau seberani ini melangkahiku? Bahkan kau tak meminta izin padaku saat kau membawa putriku."
"Paman-"
"CUKUP!" bentak Elira, lalu menatap ayahnya. "Ayah! Aku bukanlah anak TK! Berhenti mengangguku dengan sifat protektifmu itu! Kau menghambatku, Ayah!" jeritnya frustrasi.
Cedric terdiam, menatap wajah putrinya yang terlihat sangat marah padanya. Jujur, hatinya begitu terluka mendengar itu.
"Sejak kau sadar, kau begitu banyak membantah Ayah, Elira." Cedric berucap begitu lirih.
"Paman-"
"Baiklah kalau itu yang kau mau." Cedric menatap satu per satu orang yang membuatnya merasa dinomorduakan. "Lupakan Ayah, dan pergilah dengan mereka," tekan Cedric, membuat raut Elira berubah seketika.
Cedric menyorot tajam pada Axel dan Gregor. "Urus sendiri nyawamu," finalnya pada Elira, lalu ia melenggang pergi.
"Sial. Kenapa hatiku sesak sekali mendengarnya?" batin Elira.