Nico Melviano, dia merasa dirinya pria bodoh membuang waktu bertahun-tahun menunggu cinta berbalas. Tapi ternyata salah, wanita itu tidak pantas untuk ditunggu.
Cut Sucita Yasmin, gadis Aceh berdarah Arab. Hanya bisa menangis pilu saat calon suaminya membatalkan pernikahan yang akan digelar 2 minggu lagi hanya karena dirinya cacat, karena insiden tertabrak saat di Medan. Sucita memilih meninggalkan Banda Aceh karena selalu terbayang kenangan manis bersama kekasih yang berakhir patah hati.
Takdir mempertemukan Nico dengan Suci dan mengikat keduanya dalam sebuah akad nikah. Untuk sementara, pernikahannya terpaksa disembunyikan karena cinta keduanya terhalang oleh obsesi seorang perempuan yang menginginkan Nico.
Bagaimana perjalanan rumah tangga keduanya yang juga mengalami berbagai ujian? Cus lanjut baca.
Cover by Pinterest
Edit by Me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Dua Pria
Candra dan Rachel, keduanya duduk berhadapan dalam satu meja. Belum ada kata yang terucap, hanya saling menatap dalam, saling menyalurkan rasa. Pendar mata keduanya tersirat kerinduan. Biasanya, video call lah sebagai jembatan hubungan kedekatan keduanya.
Rachel, gadis ayu asal Tasikmalaya. Wanita istimewa yang bertahta di hati Candra sejak setahun ini. Awal pertemuan mereka tak sengaja, saat Candra dan teman-temannya liburan ke pantai Pangandaran, begitu pula Rachel. Mereka bertemu dan berkenalan saat sedang menikmati sunset di Batu Hiu.
Enam bulan yang lalu adalah rencana untuk memperkenalkannya pada Umi dan Suci sebagai kekasihnya. Ia berencana melamarnya setelah Suci menikah. Namun kecelakaan Suci membuatnya harus menunda niatnya itu dan menjadi rahasia sendiri kalau ia sebenarnya sudah punya kekasih.
"Aku kangen..." dua kata lirih mendayu terucap dari bibir Rachel membuat seulas senyum terbit di bibir Candra.
"Aku lebih kangen..." tiga kata yang diucap tegas diiringi sorot mata teduh sang pria membuat pipi putih Rachel merona seperti buah tomat.
Rachel menceritakan, ia datang ke Jakarta kemarin bersama dua temannya karena ada teman kuliah yang menikah. Besok akan kembali pulang ke Tasikmalaya.
"Rachel, maaf sekali aku disini gak lama. Lagi mengantar Suci belanja kebutuhan dapur. Oh ya, teman-temanmu dimana?"
"Sepertinya masih di toko buku Gramed. Aku tadi pamit ke toilet, eh tak disangka bertemu denganmu..." Rachel tersenyum malu sekaligus senang. Hubungan jarak jauh selama ini hanya bisa saling menatap di layar ponsel, kini nyata berhadapan. Candra baru dua kali berkunjung ke rumahnya, setelah mereka jadian.
Candra terkekeh melihat kekasihnya yang nampak malu itu."Tak ada yang kebetulan, pertemuan ini Allah sudah takdirkan!" ucap Candra dengan tatapan lembutnya.
Obrolan diantara keduanya mengalir begitu saja. Bongkahan rindu mencair dengan sendirinya, rindu yang berat menjadi ringan dengan perjumpaan. Tiba-tiba ponsel keduanya berdering bersamaan, rupanya Suci maupun temannya Rachel sudah menunggunya.
"Rachel, kamu masih sabar menungguku kan?"
Candra sudah menceritakan tentang keluarganya, tentang Suci yang gagal menikah juga tentang amanah almarhum Abi nya.
"InsyaAllah Mas Candra. Aku tidak meminta buru-buru kok. Saat ini aku sedang menikmati pengabdianku menjadi guru SD," jawab Rachel jujur.
"Nanti aku hubungi kamu lagi setelah sampai rumah ya, Bu guru cantik..." goda Candra dengan senyum. Membuat wajah Rachel kembali merona.
"Salam untuk Mamah dan Bapak ya..." pungkas Candra. Ia hanya mengusap puncak kepala Rachel yang terbalut hijab, sebelum akhirnya mereka berpisah dengan perasaan yang mengembang.
****
Dengan lunglai, Nico menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Ia melempar jas sembarang arah dan meletakkan tas kerjanya di karpet begitu saja. Nico memijat-mijat pelipisnya yang mendadak pusing dan berat. Serangan virus cinta melanda hatinya, lebih kuat dari serangan virus cinta pertama.
"Fixed. Aku mencintainya!" batin Nico, yakin.
Bunda yang baru menuruni tangga, memperhatikan tingkah gelisah anaknya itu. Ia tersenyum, mengingat dirinya yang pernah muda dulu mengalami sindrom cinta yang sama kepada ayahnya Nico.
"Kamu sama kayak Bunda dulu. Tersiksa virus cinta kepada ayahmu. Mau diungkapkan, gengsi. Karena Bunda perempuan. Tak diungkapkan, takut. Bagaimana kalau ayahmu memilih perempuan lain...."
Nico menoleh menatap Bunda yang tanpa diketahuinya sudah duduk di sisinya. "Lalu?" Nico mengangkat kedua alisnya, penasaran.
"Yaaa Bunda ungkapkan aja daripada jadi beban. Eh, ternyata Ayahmu punya perasaan yang sama juga. Dia kan orangnya pendiam, irit bicara tapi baik dan perhatian..." Mata Bunda menerawang mengingat perjalanan hidupnya bersama sang suami.
"Dan kalau marah, tamparannya luar biasa...sakit!" Nico menambahkan sendiri karakter Ayahnya itu.
"Nak, Ayah tak akan menamparmu kalau kamu tidak melakukan kesalahan fatal. Ayah sangat menyayangi istri dan anak-anaknya dengan caranya sendiri...."
"Iya Bun, aku tahu itu. Aku bisa berubah seperti sekarang juga hasil buah tangan Ayah..." Nico terkekeh mengingat kembali sambutan sang Ayah saat dirinya pulang dari Medan.
"Bukan karena Ayah saja, juga karena gadis itu...." ujar Bunda dengan senyum mesem.
"Tapi dia gak menatapku, Bun.." Nico menghela nafas, menyandarkan kembali punggungnya di sandaran sofa. Wajah Suci membayang di pelupuk mata. Orang bijak bilang, mata adalah jendela hati. Nico melihat pandangan Suci adalah pandangan yang biasa, tak mencerminkan rasa 'suka' padanya. Beda dengan dirinya, yang selalu menatap Suci dengan dalam, mengisyaratkan hatinya yamg jatuh cinta.
"Kamu harus semangat dan percaya diri. Bunda akan membantumu karena Bunda juga suka sama gadis itu. Dia ibarat burung Merpati, tampak jinak tapi sulit untuk ditangkap. Jadi, untuk menggapainya harus dengan cara halus..." Bunda membisikkan idenya di telinga sang anak. Nico mendengarnya dengan seksama sampai keningnya mengkerut.
"Bunda yakin?" tanya Nico yang terlihat ragu.
Bunda mengangguk kuat. "Tapi ada syarat agar niatmu cepat berhasil." Bunda menatap lembut anak bungsunya itu.
Nico diam sambil menatap Bunda, seolah menungu kelanjutan penjelasan Ibunya itu.
"Nak, Suci gadis yang alim. Pasti yang ia cari calon suami yang baik, taat beribadah, yang sejalan dengannya. Ingat, kalau kita ingin punya pasangan yang baik, maka kitanya dulu yang harus baik. Jadi syaratnya kamu harus berubah dulu ya, sayang..." Bunda mengusap bahu Nico memberinya motivasi.
Di kamarnya, Nico merenungi nasihat Bunda tadi. Ia melangkah menuju lemari, membukanya, mencari sarung dan sajadah yang terlipat yang hanya dipakai setahun sekali saat hari raya Idul Fitri. Sebetulnya, ia sudah memulai berubah, sudah mau melaksanakan sholat jum'at. Hanya perubahannya belum kuat, masih malas untuk sholat 5 waktu.
"Bismillah, aku niat berubah karena Allah dengan perantara kehadiranmu, Sucita..." Nico mendekap sarung dan sajadahnya di dada.
Cocok sih...pengusaha emas dan pengusaha hotel 😍