Kania nama gadis malang itu. Kehidupan sempurnanya kemudian berantakan setelah sang ibu meninggal dunia. Ayahnya kemudian menikahi janda beranak satu di desanya. Kehidupan bahagia yang sempat dirasakannya di masa lalu terasa seperti barang mewah baginya. Kania nama gadis malang itu. Demi menutupi utang keluarganya, sang ayah bahkan tega menjualnya ke seorang rentenir. Pernikahannya bersama rentenir tua itu akan dilaksanakan, namun tiba-tiba seorang pria asing menghentikannya. " Tuan Kamal, bayar utangmu dulu agar kau bebas menikahi gadis mana pun", pria itu berucap dingin. Hari itu, entah keberuntungan atau kesialan yang datang. Bebas dari tuan Kamal, tapi pria dingin itu menginginkan dirinya sebagai pelunas utang. Kania nama gadis itu. Kisahnya bahkan baru saja dimulai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourfee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Kehidupan pernikahan Kania berjalan normal sampai beberapa bulan ke depannya. Tidak ada masalah berarti, Kania bahkan sangat menikmati perannya sebagai seorang istri. Gadis itu mengurus suaminya dengan baik di tengah-tengah kehidupan perkuliahannya. Satu hal yang sedikit mengganjal hatinya adalah sampai saat ini ia tidak tau keadaan ayahnya. Rasa sayangnya pada sang ayah tidak pernah pudar walaupun ia tau pria tua itu berulang kali menyakitinya. Pesan-pesan sang ibu menjelang hari kematiannya selalu terngiang di kepalanya. "Jangan pernah lupakan ayah", ucap wanita itu sambil memaksakan senyum. Sakit telah menggerogoti keseluruhan hidupnya, merebut kebahagaiannya secara paksa. Ingin menjenguk ayahnya tapi ia takut meminta izin pada suaminya. Kania masih larut dalam pikirannya ketika ponselnya berdering nyaring . Gadis itu merogoh saku tasnya untuk mengambil ponsel. "Halo". Sapanya pelan. "Ayahmu sakit Kania. Laki-laki brengsek itu berulang kali menyebut namamu dengan berisik. Kau jangan jadi anak kurang ajar ya, mengabaikan keluargamu setelah dinikahi pria kaya raya. Apakah uang pria itu sudah membayar semua rasa hormatmu pada keluargamu. Kau benar-benar tidak tau diri". Anita memarahi anak tirinya tanpa ampun, berkata seolah-olah Kania adalah penyebab sakit ayahnya. Kania terhenyak, gadis itu bahkan tidak peduli lagi apa yang diucapkan ibu tirinya, yang ia tau hanya ayahnya sedang sakit. Ia mematikan panggilannya tanpa permisi. Tangannya dengan cepat mengetikkan nama kontak suaminya di ponselnya.
"Kak, aku akan menjenguk ayah yang sakit mungkin pulangnya agak malam, bolehkan?"Katanya cepat setelah teleponnya baru saja diangkat oleh suaminya.
"Tunggu aku pulang kita pergi bersama". Putus pria itu sebelum menutup panggilannya. Kania kemudian bergerak cepat menyiapkan dirinya sambil menunggu kedatangan suaminya. Air mata turun membanjiri wajahnya. Gadis itu takut sekali akan terjadi hal buruk pada ayahnya. Rasa sakit saat kehilangan ibunya masih berbekas hingga ia sedewasa ini, ia tak ingin merasakan kembali kejadian buruk itu. Kehilangan orangtuanya seperti momok paling menakutkan baginya. Hatinya memang masih sakit karena perlakuan buruk ayahnya, ayah yang paling dicintainya. Kania menarik napasnya pelan berusaha menenangkan dirinya sambil mendoakan kesembuhan sang ayah. Duh suaminya kenapa lama sekali? Kania meremas-remas kedua tangannya demi menutupi hd. Ketika deru Mobil terdengar dari arah depan, Kania kemudian bergegas mengambil tasnya cepat.
Edward Lamos turun dari mobilnya, wajahnya terlihat sangat lelah karena perusahaannya sedang dilanda masalah serius. Ia dan Felix sedang membereskan beberapa sistem yang kacau ketika Kania menelponnya. Dengan terpaksa, ia meninggalkan Felix ya g berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ahh ingin sekali Edward memeluk kakak kesayangannya itu.
"Kakak tidak ganti baju dulu?" Tanya Kania perlahan. Penampilan suaminya terlihat sangat formal. Dasi dan jas bahkan masih melekat di tubuh jangkungnya. Edward mengecup pipi istrinya kilat membuat pipi gadis itu merona. Entahlah, mereka sudah selama itu menikah tapi Kania masih saja tersipu malu dengan semua sikap manis yang ditunjukkan suaminya.
Edward melepaskan jas kemudian dasi yang mencekik lehernya seharian. Pria itu kemudian menghembuskan napasnya lega ketika benda itu terlepas dari lehernya.
"Aku akan ganti baju dulu, kau tunggulah sebentar". Edward kemudian berlalu meninggalkan istrinya sendirian.
Ganti baju kilat versi Edward berjalan mulus. Pria penuh drama itu menghampiri istrinya yang tengah diliputi perasaan gundah.
"Pria tua itu akan baik-baik saja sayang. Kau tenang saja". Ucapnya lembut
Kania melotot. "Pria tua itu ayahku dan ayah mertuamu. Kau bersikaplah sedikit lebih sopan padanya, Kak". Kania bersungut-sungut kesal.
"Yah tapi faktanya dia juga tua walaupun tidak setua rentenir itu. Kenapa kau tidak terima? Ayahmu memang sudah tua, sayang". Edward berucap tanpa dosa.
Kania terlihat sangat kesal. Ucapan suaminya memang tidak salah, namun cara pria itu berbicara membuatnya ingin mencabik-cabik bibirnya. Kenapa ada pria semenyebalkan ini?
"Ayahku memang tua dan Kau juga sudah tua, Kak?" Kania kemudian keluar sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan kasar ke lantai marmer itu.
Edward terkekeh pelan, ia berhasil menghibur istrinya walaupun hal itu membuat gadis itu naik darah. Edward hanya berusaha menghiburnya, tidak lebih.
Edward kemudian masuk ke dalam mobil dan duduk di balik setir. Ia menoleh ke arah istrinya yang berusaha mengabaikannya.
"Kau sudah makan, Sayang?" Tanyanya lembut.
"Sudah". Cuek Kania.
"Kenapa melihat ke luar. Apakah suamimu kurang tampan sampai-sampai kau tidak ingin memandangku lagi?" Ucapnya lagi.
Kania masih bungkam. Ia sedikit jengkel dengan ucapan suaminya.
"Kania kau tau aku tidak suka diabaikan. Kenapa masih begitu?" Edward sekarang mulai kesal dengan drama yang ia buat sendiri. Laki-laki itu sangat tidak suka diabaikan apalagi oleh istrinya sendiri.
"Maaf". Sahut Kania pelan. Sadar jika ini diteruskan, suaminya akan sekesal apa. Pria sensitif itu benar-benar merepotkan.
Edward menatap istrinya dalam-dalam, sekarang ia tau sebaik apa wanita yang dicintainya ini.
"Aku juga minta maaf". Ucapnya lembut.
"Kakak sudah makan? Kalau belum kita beli makanan dulu. Tidak usah makan di tempat, kita bungkus saja, oke?"
Edward menganggukan kepalanya tanda setuju dengan ucapan istrinya.
30 menit perjalanan diisi dengan percakapan-percakapan ringan mereka. Edward masih sibuk menyetir sambil menerima suapan dari istrinya. Pria dewasa itu persis seperti anak balita sekarang.
"Cukup sayang". Tolaknya ketika Kania memaksa menyuapnya lagi.
"Satu lagi aaa". Kania memaksa.
Edward membuka mulutnya kemudian mengunyah malas. Istrinya selalu saja memaksa.