Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balasan Jingga…
Tak lama setelah Nisa duduk kembali di mejanya, pintu ruangan Savero terbuka. Laki-laki itu keluar dengan ekspresi datar seperti biasa, tangannya masih menggenggam sebuah map tebal. Namun, Jingga yang sudah “siap sedia” memasang mata elang, segera menangkap momen itu.
Ia melihat sekilas tatapan Savero yang singgah pada Nisa, lalu cepat-cepat dialihkan ke arah lain. Singkat, nyaris tak berarti, tapi bagi Jingga yang sudah terlanjur punya dugaan, hal itu jadi bukti tambahan.
“Hah! Lihat kan? Pasti ada sesuatu. Mana tadi Nisa senyum-senyum, sekarang giliran dia pura-pura cuek. Klise banget, kayak sinetron jam tujuh malam.” Jingga hampir saja terkikik sendiri, untung ia masih bisa menahannya.
Savero berjalan melewati area meja kerja tanpa banyak bicara. Jingga yang duduk bersandar pura-pura sibuk menyalakan komputernya, tapi matanya mengikuti setiap langkah Savero. Ketika pria itu berhenti sejenak untuk memberi instruksi pada staf lain, Jingga menunduk, pura-pura mengetik, padahal dalam hatinya terus berkomentar.
“Ih, dingin gitu… padahal pasti ada manisnya kalau sama Nisa. Biarpun kelihatan kaku, aku yakin deh kalau lagi berdua mereka tuh romantis. Aih, Pak Savero, nggak nyangka ya… ternyata tipe yang suka sembunyiin rasa.”
Begitu Savero kembali ke ruangannya, Jingga menahan tawa. Ia sampai menutup mulutnya dengan tangan, pura-pura menguap.
Nisa sempat melirik, heran melihat tingkah Jingga yang kelihatan “heboh” sendiri.
“Kamu kenapa sih, Jingga?” tanyanya pelan.
Jingga cepat-cepat geleng, “Nggak, nggak. Cuma kebayang sesuatu aja. Lucu.”
Nisa mengangkat alis, masih bingung, tapi tak bertanya lebih jauh. Sementara Jingga hanya menunduk ke layar monitor, menahan senyum penuh rahasia seolah baru saja menguak skandal besar.
Setelah puas menebak-nebak dan tertawa dalam hati, suasana mulai mereda. Jingga kembali serius di depan layar komputernya. Tapi semakin lama, pikirannya malah melantur. Senyum yang tadi mengembang perlahan memudar.
Ia melirik sekilas ke arah Nisa, sahabat baiknya di kantor. Perempuan itu masih sibuk mengetik, sesekali bercakap dengan staf lain. Ada aura hangat yang biasa selalu membuat Jingga nyaman. Namun, mendadak Jingga merasa ada jarak yang tidak terlihat di antara mereka.
“Kalau Nisa tahu kenyataan bahwa aku dan Pak Savero sebenarnya suami istri, gimana? Dia pasti benci aku. Dia pasti nggak bisa terima. Dia pikir aku ini temennya… padahal di belakang, aku udah nyimpen rahasia segede ini.”
Jingga menunduk, tangannya meremas rok kerjanya di bawah meja. Dadanya tiba-tiba terasa sesak.
“Nikah sama Pak Savero aja udah cukup bikin aku nggak tenang. Tapi kalau Nisa sampai tahu aku pernah diperkosa… aku nggak kebayang. Dia pasti jijik. Dia pasti merasa dikhianati. Aku takut kehilangan dia. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain Nisa.”
Wajah Mahesa dan Lidya ikut menyelip masuk dalam pikirannya, menambah beban yang sudah berat. Perselingkuhan itu saja sudah cukup menghancurkan hatinya. Dan sekarang, ada ancaman lain, bukan dari luar, tapi dari dalam lingkaran pertemanannya sendiri.
Ia menghela napas pelan, nyaris tak terdengar. Tapi Nisa yang duduk di dekatnya sempat menoleh.
“Kamu capek ya, Jingga? Tumben banyak diamnya?” tanyanya lembut.
Jingga cepat menggeleng, berusaha memaksakan senyum ceria khasnya. “Nggak, nggak. Aku cuma lapar. Ntar kalau jam makan siang aku pasti rusuh lagi kayak biasa.”
Nisa terkekeh ringan, percaya begitu saja. “Ya udah, nanti aku temenin ke kantin.”
Jingga hanya mengangguk. Tapi dalam hatinya, perasaan bersalah makin menumpuk. “Nis… kalau kamu tahu semua ini, apa kamu masih mau duduk di samping aku kayak sekarang? Apa kamu masih mau bilang aku temenmu?”
Pandangan Jingga kembali kosong. Senyum yang ia tunjukkan pada Nisa terasa rapuh, seperti topeng tipis yang sewaktu-waktu bisa pecah.
Jam makan siang baru saja dimulai ketika Lidya melangkah masuk ke ruang kerja bersama senyum lebarnya. Rambutnya tergerai rapi, lipstik merahnya tampak menyala. Seolah tak ada beban, seolah semalam ia bukan orang yang merobek hati sahabatnya.
“Eh, kalian udah makan belum?” Lidya bertanya ringan, menaruh tasnya di meja. Tatapannya sempat melirik cepat ke arah Jingga.
Jingga yang sedang sibuk membereskan dokumen menoleh, lalu tersenyum cerah seolah dunia baik-baik saja. “Belum, Lid. Kamu traktir, ya? Aku pengen banget makan daging panggang. Tapi dompetku lagi puasa.”
Nisa di sebelahnya mendengus, malas menanggapi. “Pakai acara nanya segala, padahal kalaupun aku belum makan, kamu tetep gak peduli juga, kan?”
Lidya tersenyum sinis, tapi tak menjawab. Jingga bisa merasakan ketegangan kecil itu, dan di dalam dadanya, bara api kembali menyala. Namun wajahnya tetap jenaka, sama sekali tak menunjukkan luka yang ia bawa.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar. Mahesa muncul dengan kotak bekal di tangannya. Aroma tumisan dan sambal bawang menyeruak, membuat beberapa rekan kerja langsung menoleh.
Seperti biasa…” Mahesa mendekati meja Jingga, sedikit kikuk. “Ibuku titip ini buat kamu, Jingga.”
Ruangan mendadak hening sepersekian detik. Lidya menegang, dan tatapannya menancap ke kotak bekal itu. Jingga menatap kotak tersebut, lalu menoleh ke Mahesa dengan senyum cerah. Seolah semua luka semalam hanyalah mimpi.
“Wah, Mas Maheeeesss… idaman mertua banget! Bawain masakan rumah ke kantor.” Jingga cepat berdiri, menghampiri Mahesa, lalu tanpa ragu bergelayut manja di lengannya. “Kalau gini caranya, aku nggak usah masak lagi dong di rumah. Hemat gas, hemat listrik.”
Semua orang di sekitar langsung bersorak menggoda.
“Cieee, Jingga–Mahesa!”
“Pasangan idaman kantor nih, yang lain minggir!”
“Hati-hati, Mahesa, jangan sampai Jingga kabur diambil orang!”
Jingga tertawa lepas, menutup mulutnya sambil berpura-pura malu. Padahal di balik tawanya, jantungnya berdegup kencang, dadanya penuh amarah yang ia tekan habis-habisan.
Mahesa terlihat kikuk, bahkan keringat tipis muncul di pelipisnya. Sesekali ia melirik Lidya, yang kini duduk dengan wajah ditahan agar tetap ramah, meski jelas rahangnya mengeras.
Nisa, yang sudah membaca arah permainan Jingga, ikut menambah bara. “Iya lho, kalian tuh cocok banget. Cantik sama ganteng. Kalau ada award ‘pasangan paling serasi kantor’, pasti kalian juara satu.”
“Bener, Nis!” timpal seorang rekan lain.
Nisa menyunggingkan senyum manis, lalu menambahkan dengan suara santai tapi sarat sindiran, “Jarang lho ada yang kayak Jingga. Orangnya tulus, ceria, nggak suka menusuk dari belakang. Apalagi rebut punya orang. Kan sekarang banyak tuh, wanita murahan yang kelihatannya baik padahal aslinya…” ia sengaja menggantung kalimatnya.
Beberapa rekan tertawa, ada yang menoleh penuh rasa ingin tahu, tapi tak ada yang benar-benar menyadari arah sindiran itu. Hanya Lidya yang duduk kaku, wajahnya memerah menahan emosi. Tangannya mencengkeram pena begitu erat sampai buku catatannya bergetar halus.
Jingga pura-pura tak tahu, justru semakin manja pada Mahesa. “Ayo, Mas, kita makan bareng. Aku udah laper banget. Bekalnya pasti enak, soalnya dimasak sama calon ibu mertua.”
Mahesa tersenyum kaku, nyaris tak mampu berkata apa-apa. “I-iya…” jawabnya pendek, jelas bingung antara menikmati peran atau takut rahasia mereka terbongkar.
Sementara itu, Lidya berusaha tetap tersenyum, meski sorot matanya tajam menusuk ke arah Jingga. Dalam hati Jingga bergemuruh. Nikmati saja, Lid. Ini baru permulaan.
Saat makan siang, meja pantry kantor yang biasanya dipenuhi tawa ringan kini jadi ajang panggung. Jingga duduk bersebelahan dengan Mahesa, bekal dari ibu Mahesa terbuka di meja: ayam goreng kremes, tumis buncis, dan sambal bawang yang aromanya bikin semua orang menelan ludah.
“Wih, ini sih level restoran bintang lima,” celetuk salah satu rekan kerja.
“Iya, Mas Mahesa bisa bikin kita semua minder. Udah ganteng, calon menantu idaman pula,” tambah yang lain.
Jingga terkekeh, mengambil sepotong ayam dengan sendok. “Coba ya, aku icip dulu. Kalau enak, berarti restu calon mertua udah turun.” Ia sengaja menatap Mahesa sambil menyuapkan ayam itu ke mulut. “Hmm… gila, enak banget! Mas, kalau nanti nikah sama aku, aku nggak usah belajar masak deh. Tinggal minta kirim bekal tiap hari.”
Seketika ruangan meledak dengan tawa.
“Cieee, udah ngomongin nikah!”
“Beneran serius kayaknya nih, Jingga–Mahesa!”
Mahesa tersenyum kaku, sambil meneguk air minum cepat-cepat. Lidya yang duduk agak jauh hanya bisa pura-pura membuka kotak bekalnya sendiri, tapi sendok di tangannya bergetar halus.
Nisa yang duduk di sisi lain meja menatap Jingga sekilas, lalu menambahkan bahan bakar. “Ya ampun, Mas Mahesa beruntung banget. Punya pasangan kayak Jingga tuh rejeki. Cantik, bawel iya, tapi bawelnya bikin hidup rame. Dan yang paling penting: nggak suka ngerebut punya orang. Nggak kayak…” ia berhenti, pura-pura tersedak, lalu meneguk minumnya. “Ah, lupa. Nggak penting deh.”
Beberapa orang tertawa kecil, ada yang saling pandang penasaran. Jingga ikut tertawa keras, menepuk pundak Nisa. “Nis, Nis… kamu ini! Nanti ada yang tersinggung, lho.” Katanya sambil melirik sekilas ke arah Lidya.
Wajah Lidya semakin tegang. Ia mencoba tersenyum, menimpali dengan suara agak tinggi, “Iya, Nis. Kamu jangan sembarangan ngomong. Di kantor ini kan banyak yang punya hubungan baik sama Mahesa , bisa salah paham nanti.”
“Hubungan baik ya?” Jingga menimpali cepat, matanya masih bersinar jenaka. “Iya sih, Lid. Mas Mahesa ini emang punya hubungan baik sama anak-anak kantor. Bedanya kalau hubunganku sama Mas Mahesa bukan cuma baik, tapi serius.” Ia menggandeng lengan Mahesa erat-erat, membuat pria itu hampir tersedak nasi di mulutnya.
Semua kembali tergelak. “Waduh, Mahesa nggak bisa kemana-mana tuh, udah dikunci sama Jingga!”
Mahesa hanya bisa tersenyum kaku, menunduk, sesekali melirik Lidya yang wajahnya mulai merah padam.
Jingga pura-pura tak peduli, malah semakin menggoda. Ia mengambil sendok, lalu menyodorkan sesendok nasi ke arah Mahesa. “Ayo, Mas. Biar adil, aku yang suapin kamu. Masa aku doang yang disayang.”
Sorakan dan tepuk tangan rekan-rekan kerja makin ramai. Mahesa mau tak mau membuka mulut, menyambut suapan Jingga dengan wajah menahan malu.
Lidya menggenggam sendoknya begitu erat sampai buku jarinya memutih. Dalam hatinya, ia ingin berdiri dan pergi, tapi tak bisa. Senyum palsu tetap dipaksakan di bibirnya.
Jingga tahu persis apa yang dirasakan Lidya. Rasa cemburu yang tak mungkin Lidya tunjukkan pada siapa pun. Dan memang itu tujuan Jingga, membuat Lidya tersiksa tanpa bisa berbuat apa-apa.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya