Suaminya ketahuan selingkuh dan anak yang dikandungnya meninggal adalah petaka yang paling menyedihkan sepanjang hidup Belcia. Namun, di saat yang bersamaan ada seorang bayi perempuan yang mengira dia adalah ibunya, karena mereka memiliki bentuk rambut yang sama.
Perjalanan hidup Belcia yang penuh ketegangan pun dimulai, di mana ia menjadi sasaran kebencian. Namun, Belcia tak memutuskan tekadnya, menjadi ibu susu bagi bayi perempuan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Penasaran dengan kisah Belcia? Ayo kita ikuti di novel ini🤗
Jangan lupa follow author💝
Ig @nitamelia05
FB @Nita Amelia
TT @Ratu Anu👑
Salam Anu 👑
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ntaamelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Kepulangan Sharon
Belcia yang terlambat menyadari kelakuan Jasper, akhirnya menarik tangannya dari genggaman pria itu setelah mereka sudah berada di depan kamar Leticia.
"Untuk apa Anda menarik-narik tangan saya?!" cetus Belcia dengan alis yang bertautan, sejak kemarin sikap Jasper semakin aneh dan membuatnya bertanya-tanya.
Jasper juga tidak mengerti dengan gerakan refleksnya itu, namun bukannya minta maaf, dia justru mencari alasan lain untuk berkelit.
"Jangan kepedean! Aku justru menyelematkanmu dari semua orang. Memangnya kamu tidak berkaca dulu apa? Lihat air liurmu yang berantakan itu," cetus Jasper sambil membuang pandangan.
Belcia gelagapan dan reflek menyentuh pinggiran bibirnya, lalu mengusap dengan kasar. Sumpah demi apapun, yang tadinya ingin mengomel, kini dia malah malu setengah mati.
'Ya ampun, Cia, kenapa kamu mempermalukan dirimu sendiri? Tapi ... Memangnya aku ileran ya?'
"Ck, malah melamun. Aku mau mandi," cetus Jasper yang langsung membuyarkan pikiran Belcia, satu tangannya berkacak pinggang, yang satunya lagi menggendong Leticia.
"Ya terus?" tanya Belcia dengan pupil mata yang membesar, belum bisa mencerna apa tujuan Jasper berkata seperti itu. Sementara Leticia tertawa-tawa melihat Belcia dan ayahnya berdebat.
"Ehehehe ...."
"Hah, sudahlah, bicara denganmu sama sekali tidak nyambung!" seru Jasper, akhirnya melenggang pergi ke kamarnya sendiri. Dia membawa Leticia, karena ingin sekalian memandikan putrinya juga. Sedangkan Belcia masih terbengong-bengong di tempatnya, sama sekali tak paham dengan apa yang Jasper ucapkan.
Sekali lagi, wanita itu mengelap pinggiran bibirnya menggunakan punggung tangan.
"Benar tidak sih aku ileran?" gumamnya tak percaya.
****
Hari sudah gelap, jalanan mulai diterangi oleh lampu-lampu yang terpasang di pinggiran. Sebuah mobil melandas cepat, memasuki gerbang rumah mewah yang tak lagi dia huni, sang pengemudi turun dari sana, yang tak lain dan tak bukan adalah Sharon, kaki jenjangnya melenggang diiringi raut angkuh, ini kali pertamanya dia menginjakan kaki lagi di rumah orang tuanya.
Para pekerja yang melihat wajah wanita itu langsung tercengang. Dan begitu pandangan Sharon menusuk, mereka langsung menundukkan kepala.
"Di mana Papa?" tanya Sharon dengan nada dingin.
"Tuan sedang makan malam bersama Tuan Marteen," jawab salah satu dari mereka, tanpa menatap lawan bicaranya.
Namun, Sharon tidak peduli, karena dia juga tak memberikan respon lagi, detik selanjutnya dia kembali melanjutkan langkah.
Dia tersenyum sinis saat melihat dua pria berbeda generasi itu benar-benar ada di meja makan. Suasana hangat yang sempat tercipta seketika hancur oleh kedatangannya yang selalu serampangan. Sharon mengambil satu makanan dari piring dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.
Sontak hal tersebut membuat Marteen dan Tuan Den tercengang, mereka sama-sama menatap ke satu arah, sementara Sharon memasang wajah tanpa dosa.
"Eum, makanan di rumah ini masih selalu menjadi yang terenak," puji Sharon sambil mengunyah. Ditemani lipatan dahi Marteen yang semakin dalam.
"Jika Kakak mau makan, makanlah dengan benar," ujar Marteen memperingati wanita itu, sehingga Sharon menatap ke arahnya, dia tersenyum dan menaikkan satu alis.
"Tidak, aku datang ke sini bukan untuk makan. Aku hanya ingin melihat kabar Papaku tercinta, mumpung Papa masih ada," jawab Sharon sambil tersenyum dan menatap Tuan Den.
"Kak, jaga bicaramu!" seru Marteen yang tak suka dengan kalimat yang baru saja wanita itu lontarkan, sangat tidak sopan dan tentunya menyakiti hati ayahnya.
Sementara Tuan Den tak berkomentar banyak, dia selalu membiarkan apapun yang dilakukan oleh putri sulungnya itu, meski kerap mengecewakannya.
"Papa masih sehat karena ingin melihat kamu bahagia, Sharon," balas Tuan Den dengan suara berat dan cukup serak. Setelah ditinggal sang ibu, Sharon memang suka memberontak, dan semakin parah setelah Tuan Den menikah dengan ibunya Maureen serta Marteen.
"Tapi kebahagiaanku sudah lama lenyap, Pa, Mama membawanya," jawab Sharon, dia seperti ini sebenarnya hanya untuk menarik perhatian ayahnya. Karena dia merasa setelah sang ayah punya keluarga baru, dia sisihkan.
Tuan Den hanya mampu menghela napas pelan, sementara Marteen menatap miris. Jujur, sebenarnya dia kasihan, tapi terkadang Sharon lebih banyak menyebalkan.
"Sudahlah, lupakan pembicaraan ini. Setelah melihat Papa baik-baik saja, sekarang aku ingin bicara dengan adikku yang tampan ini," ujar Sharon seraya melayangkan tatapan ke arah Marteen.
Pria itu menangkat satu alisnya, mencoba menerka apa yang akan dibicarakan oleh wanita itu.
"Kita bicara nanti saja setelah aku selesai makan," kata Marteen memutuskan.
Sharon menarik kursi dan duduk tepat berseberangan dengan Marteen. Dia menggelengkan kepala.
"Aku mau sekarang, di sini, dan hanya berdua," tukasnya.
"Tapi Papa masih makan, Kak, biarkan Papa habiskan dulu, atau kita yang pergi!" cetus Marteen, tapi Tuan Den langsung menenangkan putranya dengan isyarat mata.
"Papa akan melanjutkannya di kamar," kata Tuan Den, lalu meminta pelayan untuk mengantarnya.
Rahang Marteen mengeras, sementara Sharon malah tersenyum senang, karena ternyata sang ayah mau mengalah untuk dirinya.
"Aku suka situasi ini. Di mana aku tidak perlu mengalah pada siapapun," ujar Sharon seraya mengambil makanan secara sembarangan lagi.
"Sebenarnya apa yang Kakak inginkan?" tanya Marteen berusaha tetap sopan, dia meletakkan alat-alat makannya karena sudah tak berselera.
Sharon melipat kedua tangannya di atas meja, dan menatap Marteen dengan lekat. "Aku lihat kamu tertarik dengan wanita yang ada di rumah Jasper. Aku ingin minta tolong, bawa dia pergi dari sisi Jasper, semakin hari dia semakin keterlaluan."
"Maksud Kakak Belcia?"
Sharon langsung menganggukkan kepala, jika Marteen lebih dulu mendekati wanita itu, dia yakin posisinya sebagai calon ibu Leticia yang baru tidak akan tergantikan.
"Kak, dia adalah ibu susu Leticia, lagi pula dia tidak seperti apa yang Kakak pikirkan, dia bisa memposisikan dirinya. Jadi, lebih baik Kakak saja yang keluar dari rumah itu, kembalilah ke rumah ini," papar Marteen, dia menilai bahwa Belcia adalah wanita yang baik. Apalagi dengan sikap Jasper yang arogan, tidak mungkin Belcia menggoda kakak iparnya.
Raut wajah Sharon langsung berubah, dia mendengus kasar dan melempar makanan yang sudah hampir masuk ke dalam mulutnya.
"Kalau begitu biar aku saja yang membuatnya pergi dari rumah itu. Dan ingat, aku tidak akan kembali!" balas Sharon seraya bangkit dari tempat duduknya. Hanya karena ambisi, dia selalu ingin merebut apa yang dimiliki oleh Maureen, bahkan setelah wanita itu tiada.
Marteen memejamkan matanya sekilas.
"Apa yang akan dia lakukan?"