Seorang wanita miskin bernama Kirana secara tidak sengaja mengandung anak dari Tuan Muda Alvaro, pria tampan, dingin, dan pewaris keluarga konglomerat yang kejam dan sudah memiliki tunangan.
Peristiwa itu terjadi saat Kirana dipaksa menggantikan posisi anak majikannya dalam sebuah pesta elite yang berujung tragedi. Kirana pun dibuang, dihina, dan dianggap wanita murahan.
Namun, takdir berkata lain. Saat Alvaro mengetahui Kirana mengandung anaknya. Keduanya pun menikah di atas kertas surat perjanjian.
Apa yang akan terjadi kepada Kirana selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - Kehilangan Arya
"Apa yang kau katakan kepada Kirana?"
Lili menghentikan langkahnya. Alvaro melangkah maju dan menatap dingin kearah ibu tirinya.
"Kenapa, Alvaro?" Kini Lili berbalik menghadap Alvaro.
"Aku tau kau sudah mengatakan sesuatu kepada Kirana. Apa yang ingin kamu lakukan?" Ucap Alvaro dingin mengintimidasi.
Lili terkekeh kecil, "Apa seburuk itu? kamu mencurigakan aku? Aku adalah ibumu, mana mungkin aku ingin mencelakai mu dan anakmu"
Lili menarik nafas, "Ya,, walaupun aku hanya ibu tirimu, Alvaro" ucapnya lirih. Ada kesedihan saat ia mengatakan itu.
"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu tidak harus selalu ikut campur dalam urusan ku. Aku tidak ingin membuat Kirana sedih atau membuat dia merasa tidak di anggap di keluarga ini."
"Ya, baiklah. Terserah padamu saja" jawab Lili.
Alvaro menatap ibu tirinya itu sejenak, lalu melangkah pergi meninggalkan ibu tirinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan harinya. Di Ruang utama kediaman keluarga Wilantara pagi itu dipenuhi banyak orang. Para pelayan terlihat sedang sibuk mempersiapkan sebuah pesta syukuran.
Clarissa nampak datang. Ia berjalan masuk, dan kedua Matanya menatap keheranan kepada semua orang yang nampak sibuk menata ruangan.
"Ada apa ini?" tanya Clarissa kepada salah satu pelayan.
"Tuan akan mengadakan pesta syukuran untuk bayi Arya, Nona. Kami diminta untuk menata ruangan ini karena malam ini akan di adakan pesta di rumah ini dan memperkenalkan bayi Arya kepada semua orang" jawabnya.
Mendengar itu, Clarissa terdiam, mengepal kedua tangannya geram.
"Jadi sekarang kau ingin mengakui anak itu, Alvaro?" lirihnya menggeram.
--------
Malam itu, cahaya lampu kristal berkilauan sangat indah. Tamu-tamu penting, rekan bisnis, dan beberapa awak media telah hadir. Aroma bunga segar bercampur dengan hidangan mewah memenuhi udara, menandai pesta syukuran untuk kelahiran Arya, pewaris keluarga Wilantara sudah tiba.
Alvaro berdiri tegap di depan para tamu, mengenakan setelan hitam elegan. Wajah dinginnya terlihat berbeda malam itu, ada sedikit kebanggaan yang sulit disembunyikan. Sesekali pandangannya melirik ke arah Kirana yang duduk tak jauh diruangan lain, memangku Arya dengan hati-hati.
“saya akan segera memperkenalkan putra saya kepada dunia,” ujar Alvaro pada beberapa tamu dekatnya, suaranya tenang namun sarat wibawa.
Namun, di sisi lain ruangan, Kirana merasa dadanya sesak. Kata-kata Nyonya Lili siang tadi masih terngiang jelas di telinganya:
“Ingat, Kirana. Kau tidak penting. Yang kami butuhkan hanya bayi itu. Jangan pernah berpikir bisa membawa Arya pergi. Dia milik keluarga ini, bukan milikmu.”
Pelukan Kirana pada Arya mengencang tanpa sadar. Tatapannya gelisah. Hatinya bertarung antara kebanggaan karena Alvaro akan mengakui Arya secara terbuka, dan ketakutan yang mencekik karena bayinya bisa direbut kapan saja.
Saat seorang pelayan menghampiri, menyampaikan bahwa Alvaro memintanya untuk bersiap maju bersama, Kirana mendadak kaku. Keringat dingin merembes di pelipisnya.
“Bu, ayo,” desak pelayan itu dengan sopan.
Kirana menoleh pada Arya yang tenang dalam pelukannya, "Jika aku membiarkan dunia tahu bahwa Arya adalah putra Alvaro, maka keluarga ini akan semakin memiliki alasan kuat untuk mengambilnya dariku" batinnya gemetar.
Ketika akhirnya Alvaro menghampirinya langsung, ia berjongkok sebentar, menatap bayi itu dengan mata yang melembut, lalu menatap Kirana. “Ayo. Ini saatnya,” ucapnya singkat namun penuh keyakinan.
Kirana menelan ludah. “Alvaro… apakah ini benar-benar perlu? Arya masih terlalu kecil,” katanya ragu, mencoba mencari alasan.
Alvaro mengernyit, sedikit terkejut. “Kenapa tidak? Dunia harus tahu… dia anakku. Anak kita.”
Kirana hanya menunduk, tak sanggup menjawab. Hatinya digelayuti ketakutan. Jika ia melangkah maju malam ini, mungkin ia benar-benar akan kehilangan segalanya. Kehilangan Arya, bayi yang ia perjuangkan kehidupannya.
"Kirana. Ayo!" desak Alvaro.
Kirana terperanjat dari lamunannya, menatap Alvaro dengan wajah cemas.
"Bisakah menunggu sebentar. Aku harus menyusui Arya karena dia belum minum asi sejak dia tidur tadi"
"Baiklah. Aku menunggumu diluar"
Kirana mengangguk pelan, kemudian Alvaro kembali menuju pesta untuk menyambut para tamu.
Ketika Alvaro sudah pergi, Kirana semakin gelisah. Musik pesta masih mengalun lembut. Senyum para tamu, sorot kamera media, dan bisik-bisik penuh rasa ingin tahu seperti apa bayi Arya seakan menekan dadanya. Tatapan Nyonya Lili dari kejauhan—dingin dan penuh arti—semakin memperkuat ketakutannya.
Pelan-pelan ia berdiri, mendekap Arya erat di dada. Nafasnya terasa sesak. “Aku tidak bisa… aku tidak sanggup di sini,” gumamnya lirih.
Tanpa banyak bicara, Kirana melangkah cepat ke arah pintu belakang, menghindari kerumunan. Ia hanya ingin membawa Arya menjauh sejenak dari semua keramaian, dari tatapan mata yang membuatnya merasa bayi itu akan direbut kapan saja darinya.
Namun, di lorong sepi menuju halaman samping, langkahnya terhenti. Seorang wanita pelayan baru yang wajahnya tidak familiar datang menghampirinya. Senyumnya ramah, tangannya terulur untuk mengambil Arya.
“Ibu, biar saya yang menggendong sebentar. Pasti lelah, ya? Saya diminta membantu,” katanya halus.
Kirana menggeleng cepat. “Tidak, terima kasih. Aku bisa sendiri.”
Ia melangkah lebih cepat, tapi tiba-tiba lampu lorong bergetar sebentar—dan dalam sekejap, dua pria berpakaian hitam muncul dari arah samping. Gerakan mereka cepat, terlalu cepat untuk dihindari.
“Jangan!” teriak Kirana panik ketika salah satu pria merenggut Arya dari pelukannya. Ia berusaha merebut kembali, namun tubuhnya ditahan kuat oleh pria lainnya.
Tangisan Arya pecah di udara.
“Tidak! Tolong! Arya!!” jerit Kirana, matanya memerah, tangannya meronta tanpa daya.
Dalam hitungan detik, bayi itu sudah dibawa masuk ke mobil hitam yang menunggu tak jauh dari pintu belakang. Mesin meraung, ban berdecit, dan mobil melaju kencang meninggalkan tempat itu.
Kirana jatuh berlutut, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya mengalir deras bersamaan dengan suara teriakannya yang menggema memanggil nama Arya.
.
.
.
Bersambung.