Mereka terpaksa menikah meski sudah berjanji tidak akan menikah lagi setelah menjanda dan menduda untuk menghormati pasangan terdahulu yang sudah tiada.
Tetapi video amatir yang tersebar di grup RT mengharuskan mereka berada dalam selimut yang sama meski sudah puluhan tahun hidup di kuali yang sama.
Ialah, Rinjani dan Nanang, pernah menjadi cinta pertama dan hidup saling membutuhkan sebagai saudara ipar. Lantas, bahagia kah mereka setelah menyatu kembali di usia kepala lima?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa panas
“Bunda.”
“Bubu.”
“Burus.”
Rinjani menelan serabi kuah santannya dengan cepat sampai mulutnya penuh sesak.
‘Kenapa Mas Nanang tidak bisa mencegah mereka dulu sampai aku tenang?’ Rinjani menutup mulutnya seraya pergi ke gudang, bukan, dia keluar lagi dari sana, Rinjani terlihat melangkah ke kamar si kembar sebelum dia masuk ke kamar mandi. Duduk termenung seraya mengunyah serabinya pelan-pelan dengan jantung yang terasa semakin berdetak liar.
“Bunda...”
“Burus...”
“Bubu...”
Suara itu mendekat. Rinjani menutup kedua telinganya. ‘Kenapa Nanang ikut-ikutan Pandu dan Jalu Aji? Apa dia sudah merindukan sapu lidiku?’
“Bunda...”
Tok... tok... tok... Pintu kamar mandi diketuk oleh Pandu yang terlihat cengengesan, terlebih Jalu Aji yang kini resmi menjadi adik sepenuhnya tampak bersemangat menjadi anggotanya.
“Bunda pasti lagi menyiapkan atraksi.” kata Pandu. Di belakangnya Nanang meringis, sedang Jalu Aji mengangguk. Hafal betul istri Bapaknya yang baru itu.
“Bapak tidak mengizinkan kalian lama-lama mengganggunya. Nanti pingsan.” Nanang mengetuk pintu dan Rinjani yang jengkel menendangnya.
Dugh...
Tiga pasang mata pria yang menjadi kelompok paling iseng dan mudah bergaul di trah Adiguna Pangarep itu membelalakkan mata. Senang. Ada tanda-tanda di dalam sana.
“Bunda di dalam?” seru Pandu.
Dugh...
“Nanti kakinya sakit.” seru Nanang.
Rinjani mengambil shower cebok dan bersiap melakukan serangan. Pintu terbuka, tiga laki-laki di depannya mundur sambil angkat tangan. Senjata berisi air itu menyeramkan, bisa membuat dandanan hancur dan tidak keren lagi.
“Kalian bertiga mau apa?”
Nanang lebih dulu menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan senyum, sedangkan dua anak muda yang menggemaskan di depannya tetap angkat tangan.
“Kalau airnya keluar, Bunda tandanya mau mandiin kita berdua lagi seperti waktu kecil.” ucap Pandu, Jalu Aji mengangguk. Setuju banget.
Rinjani menekan tombol pengendali air perlahan-lahan sampai lubang-lubang kecil yang jumlahnya puluhan itu mengeluarkan air.
Pandu dan Jalu Aji spontan memejamkan mata. Tetapi mereka menyunggingkan senyum senang.
“Masuk!”
Tidak, Pandu menggeleng. “Aku sudah besar, Bun. Bisa mandi sendiri, bisa dimandikan istriku.”
“Masuk!” desak Rinjani, dia terlihat serius. Sementara Nanang memang tidak pergi, melainkan ikut merasakan sensasi air yang mengalir dan mulai membanjiri koridor rumah.
“Kamu mau apa?” Rinjani berseru waktu Nanang hendak ikut ke dalam kamar mandi.
“Mau ikut dimandikan sekalian.” Nanang meringis, itukan seru, kapan lagi kan hal itu kejadian. Apalagi Rinjani terlihat setuju meski kemudian dia menyerahkan senjatanya.
“Kamu mandikan anak-anakmu sekalian, aku harus mengambil handuk dan menyiapkan pakaian kalian.”
Wajah semringah Nanang langsung menghilang, memandikan Pandu dan Jalu Aji waktu bayi sudah sering, kalau sekarang harus memandikan mereka yang sudah setinggi dirinya, jelas dia tidak mau.
Nanang menyerahkan shower toilet duduk ke Pandu seraya menyusul Rinjani ke kamar.
Rinjani berdecak sembari menyerahkan handuk. “Kamu ini seperti anak kecil!”
Nanang mengusap wajah dan rambutnya. “Itu yang membuatku awet muda.”
“Tetapi tadi tidak lucu.” Rinjani memilih pakaian baru untuknya. “Di mana yang lain?”
“Rumah utama.” Nanang mengamati Rinjani yang melepas kancing rompinya. “Yang wanita memasak dan menghias rumah, yang laki-laki membahas bisnis.”
“Dan kamu?” Rinjani menentang tatapannya. “Kamu kumat?”
Nanang melepas kaos metalnya seraya menyunggingkan senyum. “Aku hanya ikut-ikutan Jalu dan Pandu.”
“Astaga!” Rinjani spontan teringat anak-anaknya. “Mereka pasti senang-senang di kamar mandi! Kamu pakai baju sendiri.”
Rinjani mengambil dua handuk bersih di lemari seraya meninggalkan Nanang yang sebetulnya ingin diperhatikan juga.
“Di mata Rinjani aku tetap kalah sama anak-anak.” Nanang memakai pakaian dengan gaya yang sama, kaos metal dan jas rompi, sedang Rinjani segera menghentikan diskusi Pandu dan Jalu Aji dengan menggedor pintu.
“Cepat keluar!”
Pintu terbuka, makin sesak napas Rinjani dibuatnya. Pandu dan Jalu Aji hanya memakai celana kolor dan benar-benar mandi.
“Kalian ini...” Rinjani tidak melanjutkan ucapannya. “Selesaikan terus pakai baju.”
“Minta tolong panggilkan Dewi ya Bun, baju gantiku masih di tas ransel.” seru Pandu sambil memandangi punggung ibunya.
Rinjani memutar mata, dan Nanang yang sudah selesai berdandan dia mintai tolong untuk menelepon Dewi Laya Bajramaya. Mantunya paling unik.
“Kita foto-foto di dalam ruang kerjaku saja kalau kamu malu di lihat seluruh anak-anakmu.” ucap Nanang sambil memandangi dua pria yang keluar dari kamar mandi.
“Sudah ada Pandu dan Jalu, dua-duanya pintar fotografi dan menjadi perwakilan anak-anak kita.”
Rinjani memanyunkan bibirnya alih-alih protes. ‘Justru kedua anak itu yang cengengesan dan membuatku salah tingkah. Dari wajahnya saja sudah mengisyaratkan banyak sesuatu.’
Itu benar. Belum apa-apa Pandu sudah berdehem-dehem di belakang ibunya. “Ganggu nggak nih?”
Rinjani menundukkan kepala. Nanang pun paham, adakalanya wanita itu masih memiliki kegelisahan yang besar untuk menghadapi darah daging kakaknya.
“Kami tunggu di ruang kerjaku, kalian...” Nanang menatap Jalu Aji dan Pandu bergantian, “Jangan bercanda.”
Rinjani mengikuti Nanang ke ruang kerjanya sembari menutupi sisi matanya dengan kedua tangan. Kalaupun ada yang jual kacamata kuda khusus manusia, dia ingin membelinya sekarang biar tidak di lihat anak-anaknya kalau wajahnya merona.
“Kamu malu kenapa?” Nanang menarik kursi tinggi ke depan kain putih yang digunakan sebagai latar belakang.
“Aku tidak akan menjawabnya.
Nanang tersenyum. Paling-paling urusan hati.
“Kamu mau aku mengatur anak-anakmu biar diam dan tidak mengganggumu?”
Rinjani mengangguk.
“Apa itu artinya kamu tidak ingin menemui mereka sebentar saja?”
“Bukan begitu maksudnya, Nang.”
“Mas Nanang, Ri. Nanang lagi.”
“Maaf.” Rinjani tersenyum kecut. “Aku belum bilang kepada mereka kalau aku sudah menerima pernikahan ini. Aku malu dan takut dengan Suryawijaya.” Rinjani menutup wajahnya setelah bicara.
Sumpah rasanya mirip remaja yang baru merasakan jatuh cinta dan takut ketahuan keluarga.
“Aku bisa pingsan kalau semuanya senyum-senyum sambil lihat aku, Mas.”
Nanang lagi-lagi tersenyum. Tidak kuasa melihat Rinjani yang mengalami peremajaan usia dan kelakuan. Kendati demikian dia tidak bisa mencubit pipinya seperti waktu muda dulu, dia hanya menyentuh keningnya dengan jari telunjuk.
“Kamu itu ibu, bukan lelucon. Jadi tidak perlu pingsan daripada nanti aku kasih napas buatan. Mau kamu?”
“Enggak.”
“Masa’ enggak? Tapi baguslah, daripada kamu nanti membandingkan ciumanku dengan ciuman Mas Kaysan, aku pasti kalah. Dia kan posesif dan nafsuan.”
Rinjani tertawa, sementara diluar ruangan itu spontan Pandu menutup kuping Jalu Aji dan menyeretnya mundur. Menjauh dari ruangan yang menimbulkan rasa panas.
-