Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
Leni yang sedari tadi ikut mendampingi hanya bisa menangis, meremas pundak sahabatnya erat-erat.
Sementara itu, dari kejauhan, beberapa tetangga masih memperhatikan dengan wajah tak setuju, seolah kepergian Naia adalah keputusan yang mereka tunggu.
Dibalik kerumunan itu ada seseorang yang tersenyum bahagia melihat kepergian Naia.
“Syukurlah, aku dengan anak-anak akan menguasai harta warisan peninggalan Mas Anwar Zahid, karena aku yakin Naia anak durhaka itu nggak bakalan balik lagi untuk selamanya.” batinnya.
Dan begitulah, dengan hati yang sedih , penuh penyesalan dan kesedihan Naia meninggalkan kampung kelahirannya.
Hanya doa di pusara orang tua yang ia bawa, bersama janin kecil dalam rahimnya yang kini menjadi satu-satunya harapan untuk bertahan hidup.
“Aku akan pergi untuk selamanya, makasih banyak, Leni.”
Naia mengucap pelan sambil memeluk sahabatnya. Suara itu serak, tetapi tegas sebuah penegasan yang tak ingin ia ulangi lagi.
Leni menahan tangis, mukanya pucat. Naia meraih tas kecilnya di dalam ranselnya, memberikan sebuah amplop tipis untuk sahabatnya itu yang dikenal anak yatim piatu.
“Len, ini ada sedikit dari aku. Jangan ditolak karena kamu selalu ada untukku,” suaranya tercekat.
Naia kemudian menggenggam tangan Leni erat-erat. “Jangan nangis, Len. Aku harus pergi sekarang, insha Allah kalau aku butuh bantuan kamu pasti aku akan telpon kamu lagi.”
Dia tersenyum tipis, mencoba menenangkan sahabatnya. Di balik senyum itu ada keputusasaan dan keteguhan yang saling beradu.
Ojek yang menunggu di pinggir jalan membunyikan klakson pendek yang mampu memisahkan perpisahan kedua sahabat itu. Angin siang menerpa, membawa aroma tanah dan debu.
Naia menaiki jok belakang motor itu, memeluk tas ranselnya. Leni berdiri sampai ojek itu melaju, melambai tanpa henti sampai debu menutup punggungnya.
Perlahan ojek menyusuri jalan kampung yang berdebu, melewati rumah-rumah yang kini terasa asing untuknya.
Ia menatap setiap sudutnya, pohon mangga tempat ia dan ibunya menjemur pakaian dulu, gapura kecil mushola, bale tempat tetangga berkumpul.
Semua tampak seperti adegan dalam mimpi yang tak ingin ia jalani lagi. Hati Naia nyeri, tetapi langkahnya tetap maju.
Pagi menjelang siang hari itu, dengan langkah berat, Naia akhirnya menurut. Ia memilih pergi, meski hatinya hancur berkeping.
Sebelum meninggalkan kampungnya, ia menyempatkan diri ke pemakaman sederhana di belakang masjid desa.
Langkah Naia terasa begitu berat. Tubuhnya gontai, seakan kehilangan tenaganya. Setiap tarikan napasnya seperti membawa beban ribuan batu.
Ia menatap barisan nisan putih yang terhampar sunyi, lalu pandangannya jatuh pada dua gundukan tanah yang masih tampak baru yaitu rumah persinggahan terakhir kedua orang tuanya.
Begitu sampai di hadapan makam itu, lutut Naia langsung goyah. Ia tersungkur, berlutut dan tangannya gemetar menyentuh tanah yang masih lembap.
Air matanya luruh tanpa bisa ditahan, membasahi pipi, hingga ujung hijabnya ikut basah terkena tetesan itu.
“Ya Allah…,” bisiknya lirih seraya berlutut di depan dua pusara yang masih baru, tanahnya belum kering benar.
“Bapak... Ibu...” suaranya parau, nyaris tak terdengar.
“Maafin Naia nggak bisa jagain kalian. Naia nggak bisa ada di samping kalian di saat terakhir. Tapi percayalah Naia nggak pernah berniat bikin kalian menderita, semua ini bukan keinginan Naia...” cicitnya sambil menyeka air matanya.
Tangisnya pecah lagi, mengguncang seluruh tubuhnya. Ia menempelkan kening di nisan ayahnya, lalu ke nisan ibunya.
“Doakan Naia, Pak, Bu... semoga Allah jaga anak yang ada di kandunganku. Semoga Naia masih bisa kuat, meski tanpa kalian…” lirihnya.
Air mata semakin deras. Hatinya koyak mengingat luka lama yang belum sempat sembuh. Dua bulan lalu, hanya dalam sehari, ia harus kehilangan dua sosok paling berharga dalam hidupnya.
Sang ayah, Pak Anwar Zahid, yang meninggal mendadak setelah mendengar kabar buruk tentang dirinya. Dan sore harinya, sang ibu, Bu Ratih, menyusul karena tak sanggup menahan beban rasa malu dan hinaan dari pihak besan.
Naia menggenggam erat tanah di pusara itu, suaranya pecah oleh tangis.
“Bapak… Ibu… maafin Naia. Gara-gara Naia, kalian pergi secepat ini. Naia yang bodoh, Naia yang gagal jadi anak kebanggaan kalian.” sesalnya.
Tangannya gemetar, memukul tanah di atas makam seakan menyalahkan dirinya sendiri.
“Argh!” Pekik Naia.
“Semua ini karena Naia percaya sama Arya. Naia kira dia suami yang baik yang sayang sama istrinya. Tapi ternyata, dia tega menjual Naia di malam pertama. Lima miliar, Bapak… Ibu. Nyawa dan harga diri Naia ditukar dengan uang. Dan begitu kabar itu sampai di telinga kalian, semua hancur. Bapak pergi, dan Ibu pun menyusul. Naia yang bunuh kalian dengan kebodohan sendiri,” ratapnya.
Suara tangisnya meraung, menggema di pemakaman yang lengang. Beberapa daun kering jatuh tertiup angin, menemani kepedihannya.
Naia lalu menelungkup, merebahkan tubuh di atas pusara, memeluk tanah yang menutupi jasad kedua orang tuanya.
“Bapak… Ibu…” isaknya makin lirih,
“Kenapa kalian nggak ngajak Naia ikut pergi? Naia nggak sanggup hidup sendirian. Dunia ini terlalu kejam untuk Naia hadapi sendirian…” suaranya semakin serak.
Ia mengusap perutnya yang masih datar, tangannya bergetar ketakutan.
“Apalagi sekarang Naia sedang mengandung, anaknya Tuan Muda Atharva. Naia takut, Pak… Ibu… kalau suatu hari dia datang dan merenggut anak ini dari pelukanku. Naia nggak sanggup kehilangannya lagi. Tolong dari alam sana, jagain Naia, jagain cucu kalian ini.”
Tangisnya kembali pecah, kali ini lebih sunyi, seperti hanya ingin didengar oleh bumi tempat kedua orang tuanya bersemayam.
Naia mengusap wajahnya perlahan, mencoba menenangkan diri setelah puas meluapkan semua keluh kesah dan penyesalannya.
Napasnya terdengar tersengal, matanya masih sembab, tapi ia memaksa dirinya untuk kembali tegar di hadapan pusara kedua orang tuanya.
Tangannya merogoh tas kecil yang selalu ia bawa, mengambil ponsel, lalu membuka aplikasi Al-Qur’an digital.
Dengan suara serak, ia mulai melantunkan ayat-ayat suci kalam Ilahi. Bacaan itu lirih, penuh getaran, tapi indah terdengar di tengah sunyi pemakaman siang hari itu.
Angin sepoi berhembus lembut, seolah ikut menjadi saksi doa seorang anak untuk orang tuanya.
QS. Ibrahim ayat 41, “Rabbi ighfir lī wa liwālidayya wa lil-mu’minīna yauma yaqūmul ḥisāb.” Artinya: “Ya Tuhanku, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan seluruh orang-orang mukmin pada hari diadakan perhitungan (kiamat).”
QS. Nuh ayat 28, “Rabbi-ghfir lī wa liwālidayya wa liman dakhala baiti-ya mu’minan wa lil-mu’minīna wal-mu’mināt. Wa lā tazidiẓ-ẓālimīna illā tabārā.”
Artinya: “Ya Tuhanku, ampunilah aku, kedua orang tuaku, orang yang masuk ke rumahku dalam keadaan beriman, serta semua orang yang beriman laki-laki maupun perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang zalim kecuali kebinasaan.”
QS. Al-Isra ayat 24 “Wa qurrabbi rḥamhumā kamā rabbayānī ṣaghīrā.”
Artinya: “Ya Tuhanku, sayangilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.”
Selesai membaca, Naia memejamkan mata. Kedua tangannya terangkat, menengadah ke langit dengan hati yang bergetar.
“Ya Allah… ampunilah dosa-dosa Bapak dan Ibu. Lapangkanlah kuburnya, jadikanlah taman surga tempat peristirahatan mereka. Tempatkanlah keduanya di sisi-Mu, bersama orang-orang yang Engkau cintai. Jangan biarkan mereka merasakan azab-Mu, ya Rabb, tapi limpahkanlah rahmat dan kasih sayang-Mu seperti mereka telah menyayangi Naia sejak kecil.”
Suaranya kembali bergetar, air matanya menetes satu-satu jatuh di tanah pusara itu.
“Ya Allah… sampaikan rasa cinta dan rindu Naia untuk Bapak dan Ibu. Jadikan doa-doa ini cahaya untuk mereka dalam kuburnya. Dan tolong, ya Rabb… kuatkan hati Naia untuk menjalani hidup tanpa mereka di sisi Naia.”
Naia menunduk, mencium nisan yang dingin dengan penuh kasih. Hatinya perih, namun ada sedikit ketenangan setelah mengaji dan berdoa. Ia tahu, hanya doa yang bisa dihadiahkan untuk kedua orang tuanya sekarang.
Sebelum benar-benar meninggalkan kampung halamannya, Naia menyiapkan semua barang-barang oleh-oleh yang dulu ia belikan untuk kedua orang tuanya.
Dengan hati bergetar, ia memutuskan menyedekahkan semuanya atas nama mendiang ayah dan ibunya.
Bahkan, anting-anting emas 24 karat bertatahkan berlian kecil pemberian Atharva di malam pernikahan mereka ia lepaskan dari telinganya dan ikut disedekahkan.
Orang-orang sekitar pemakaman menerima pemberian itu dengan wajah bersyukur.
Ada yang menepuk bahu Naia, ada pula yang mendoakan kebaikan untuk kedua orang tuanya dan menyemangati Naia agar lebih sabar dan tegar.
Hingga hati Naia terasa sedikit lega, seakan bebannya berkurang walau hanya seujung kuku.
Usai berpamitan, ia melangkah pelan meninggalkan area pemakaman menuju terminal.
Namun, sesampainya di sana, kebingungan melandanya. Tatapannya kosong, langkahnya ragu.
“Mau ke mana aku setelah ini? Ke Jakarta sudah tak mungkin lagi. Arya pasti mencariku…,” gumamnya getir.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Layar menampilkan sebuah nama yang membuatnya tertegun Galuh, sahabat SMA-nya yang kini tinggal di Pangalengan, Bandung, bersama suaminya.
Naia heran, bagaimana mungkin Galuh tahu nomor ponselnya yang baru.
“Assalamu’alaikum, Naia?” suara Galuh terdengar hangat dari seberang.
Naia tercekat, matanya berkaca-kaca. “Wa’alaikumussalam Galuh? Kok bisa tahu nomorku?”
“Dapat dari Leni. Aku kaget dengar kabar tentangmu. Kalau kamu mau, datanglah ke Pangalengan. Tinggal di sini dulu. Anggap saja rumahku rumahmu juga.” ujar Galuh yang bernada permintaan.
Naia menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan isak haru. Seolah Allah langsung memberinya jalan keluar lewat suara sahabat lamanya.
Akhirnya ia memutuskan Pangalengan akan jadi tempatnya memulai hidup baru. Sebelum berangkat, ia menyempatkan diri mengecek tabungannya selama bekerja di peternakan milik Haji Abidin dan Bu Hajah Wahidah. Setidaknya, dana itu cukup untuk beberapa bulan ke depan.
Selain itu, ia memberanikan diri menjual kalung berlian besar yang nilainya ditaksir ratusan juta.
Semua itu ia niatkan untuk membuka usaha kecil di bidang peternakan, perkebunan sesuai obrolannya dengan Galuh.
Hanya satu yang ia sisakan yaitu cincin pernikahan dari Atharva. Cincin itu tak ia jual. Baginya, cincin itu bukan sekadar perhiasan, melainkan pengingat bahwa ia masih berstatus istri Tuan Muda Atharva hingga detik ini.
Naia mengusap perutnya yang masih datar. Suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara hiruk pikuk kesibukan orang-orang di terminal.
“Bismillahirrahmanirrahim… Nak, mungkin ini jalan keluar yang Allah kasih buat kita. Semoga kita bisa kuat.” gumamnya seraya menyunggingkan senyum tipisnya.
Angin sore menerpa wajahnya. Ada getir, ada takut, tapi juga secercah harapan baru yang mulai tumbuh di hati Naia.
Sesampainya di Pangalengan, udara sejuk pegunungan langsung menyapa wajah Naia.
Hamparan kebun teh, ladang sayuran, dan peternakan sapi di sepanjang jalan membuat hatinya terasa lebih ringan.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan ketenangan meski hanya sekejap.
“Ya Allah lancarkan lah niat baikku demi masa depan anakku kelak,”