Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 LUKA YANG DIBUKA LAGI
Pagi itu, Amara terbangun dengan notifikasi ponsel yang terus berbunyi. Grup mahasiswa ramai membicarakan satu hal: foto dirinya bersama Davin di kafe, tersebar di media gosip online. Judul artikelnya menusuk hati: “Istri Muda Keluarga Atmadja Ternyata Masih Dekat dengan Pria Misterius?”
Amara duduk terpaku di tepi ranjang. Foto itu bukan fitnah, tapi masa lalu. Ia dan Davin memang pernah duduk di kafe, berbincang layaknya teman. Tapi di tangan orang yang salah, gambar itu bisa dijadikan senjata mematikan.
Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Kenapa masa laluku harus selalu dijadikan alat untuk menjatuhkan?
Arman mengetuk pintu kamar, wajahnya serius. “Nyonya, berita ini sudah menyebar cepat. Media besar belum menulis, tapi forum-forum sudah penuh komentar.”
Amara menarik napas panjang. “Biarkan mereka bicara. Aku tidak akan bersembunyi.”
Namun dalam hatinya, ia tahu badai baru sudah menunggu
Di kampus, suasana semakin panas. Beberapa mahasiswa berkerumun di tangga, memperlihatkan layar ponsel dengan foto yang sama. Begitu Amara lewat, bisik-bisik langsung pecah.
“Itu buktinya! Dia nggak setia.”
“Ah, itu foto lama. Tapi aneh, kok bisa muncul sekarang?”
“Entah. Tapi kalau fotonya asli, gosip lama mungkin benar.”
Amara menegakkan tubuh, menahan air mata. Ia menolak memberi Selvia kepuasan melihatnya rapuh.
Di kelas, dosen baru saja membuka diskusi ketika Selvia mengangkat tangan dengan senyum dingin. “Pak, sebelum kita lanjut, saya ingin bertanya pada Amara. Bagaimana rasanya jadi sorotan media karena foto lama dengan pria lain?”
Kelas bergemuruh. Amara menutup buku catatannya perlahan, lalu menatap Selvia lurus. “Bagaimana rasanya, Selvia, menghabiskan hidup hanya untuk mencari kelemahan orang lain? Foto itu nyata, tapi bukan aib. Itu masa lalu, sebelum aku menikah. Dan aku tidak malu dengan siapa aku pernah berteman.”
Sejenak suasana kelas terdiam. Dosen berdeham keras. “Cukup, kita lanjut materi. Ini bukan forum gosip.”
Amara kembali menunduk, tangannya bergetar. Ia berhasil menahan air mata, tapi hatinya tetap terasa perih.
Sore harinya, Amara kembali ke rumah. Di ruang tamu, Meylani sudah duduk anggun bersama beberapa kerabat. Wajah mereka penuh selidik.
“Amara,” suara Meylani terdengar manis, tapi menusuk, “foto dirimu dengan pria itu sudah ramai. Apa yang ingin kau jelaskan pada keluarga?”
Amara berdiri tegak, meski lututnya lemah. “Itu foto lama, sebelum aku menikah. Tidak ada yang salah dengan dua teman berbincang di kafe.”
Kerabat lain menyela, “Tapi publik tidak peduli waktunya. Mereka hanya lihat siapa yang ada di gambar. Ini bisa mempermalukan nama keluarga.”
Amara menahan napas. “Kalau keluarga lebih peduli pada gosip daripada kebenaran, itu bukan salahku.”
Meylani tersenyum dingin. “Kau bicara berani sekali. Tapi jangan lupa, posisimu di sini rapuh. Sedikit saja kau tergelincir, tidak ada yang bisa menolongmu.”
Amara menatapnya tajam. “Aku tidak butuh perlindungan dari orang yang menunggu aku jatuh. Aku akan berdiri dengan kebenaranku sendiri.”
Kerabat terdiam, suasana menegang.
Malam itu, Bagas mengetuk pintu kamar Amara. Ia membawa berkas cetakan artikel yang sudah ditandai. “Aku tahu soal foto itu. Aku juga tahu itu masa lalumu. Aku tidak peduli, Amara. Yang penting, aku tahu siapa dirimu sekarang.”
Amara menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Tapi semua orang percaya pada yang mereka lihat. Mereka tidak mau mendengar penjelasan.”
“Biarkan mereka bicara,” jawab Bagas pelan. “Tugaskan aku untuk urusan publikasi, dan tugaskan dirimu untuk tetap berdiri. Kau sudah cukup kuat.”
Air mata Amara akhirnya jatuh. Bukan karena lemah, tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar dilihat.
Larut malam, ia duduk di meja kecilnya, membuka buku catatan. Tangannya gemetar, tapi ia menulis:
“Hari ini, masa laluku dibuka untuk melukaiku. Tapi aku tidak akan jatuh karena itu. Aku bukan lagi gadis yang mudah ditindas. Aku adalah Amara, dan aku akan berdiri.”
Ia menutup catatan itu, lalu menatap ke luar jendela. Hujan turun deras, menutup suara kota. Namun di dalam hatinya, ada nyala kecil yang tidak bisa dipadamkan oleh gosip mana pun.
Keesokan paginya, berita foto Amara dan Davin bukan hanya beredar di forum mahasiswa, tapi sudah masuk ke portal berita hiburan. Judulnya dibuat lebih tajam: “Istri Muda Keluarga Atmadja Ketahuan Mesra dengan Pria Misterius.”
Amara menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu foto itu tidak mesra, hanya percakapan biasa. Tapi judul artikel dibuat seolah-olah ia sedang berselingkuh.
Saat tiba di kampus, suasana makin sulit. Beberapa mahasiswa menunjuk-nunjuk ponselnya sambil melirik sinis. Namun yang membuat Amara tertegun, beberapa mahasiswa lain justru menyapanya dengan ramah.
“Amara, jangan pedulikan. Kita tahu itu foto lama.”
“Kalau butuh teman diskusi, gabung ke kelompok kita aja.”
Hatinya bergetar. Di tengah badai, ternyata ada tangan-tangan kecil yang mau menolongnya berdiri.
Di ruang kelas, dosen memulai pelajaran dengan wajah tegang. “Saya tidak peduli gosip di luar. Yang saya lihat, kalian mahasiswa. Dan setiap mahasiswa punya hak yang sama di kelas ini. Jadi saya tidak mau ada yang mempermalukan siapa pun.”
Amara menunduk, matanya panas. Kata-kata sederhana itu membuatnya ingin menangis. Ia merasa masih ada orang dewasa yang adil di tengah keramaian penuh prasangka.
Selvia yang duduk di barisan depan hanya bisa mendengus. “Semua orang terlalu mudah dibodohi,” bisiknya pada temannya. Namun kali ini, tidak banyak yang tertawa.
Sore harinya, Amara kembali ke yayasan untuk menghadiri rapat kecil. Beberapa staf sempat ragu menyapanya, tapi ia tetap menegakkan kepala. Ia membagikan konsep kelas lanjutan, berbicara dengan suara mantap.
“Anak-anak tidak peduli gosip. Mereka hanya ingin belajar. Jadi kita lanjutkan program seperti biasa,” katanya.
Kepala divisi sosial tersenyum kecil. “Ibu Amara, saya kagum. Dengan kondisi begini, masih bisa berdiri di depan.”
Amara hanya menunduk. “Saya tidak punya pilihan selain berdiri.”
Malam itu, ketika kembali ke rumah, ia menemukan Bagas di ruang kerja. Wajahnya letih, namun matanya penuh ketegasan.
“Aku sudah bicara dengan tim media,” katanya. “Artikel itu akan kami tanggapi besok dengan bukti bahwa foto itu diambil dua tahun lalu, jauh sebelum pernikahan. Kita akan kirim pernyataan resmi.”
Amara tercekat. “Kau lakukan semua itu… untukku?”
Bagas menatapnya. “Aku melakukannya untuk kebenaran. Tapi jangan salah paham, Amara. Aku mulai melihatmu berbeda. Kau bukan sekadar perempuan yang dipaksa masuk dalam keluarga ini. Kau lebih dari itu.”
Amara tidak bisa berkata apa-apa. Air matanya jatuh begitu saja. Bukan karena lemah, tapi karena akhirnya ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya apa adanya.
Larut malam, ia kembali ke buku catatannya. Tangannya menulis pelan:
“Hari ini, masa laluku dipelintir menjadi senjata. Tapi aku juga menemukan orang-orang yang percaya. Di kampus, di yayasan, bahkan di rumah ini. Mungkin jalanku masih panjang, tapi aku tidak lagi berjalan sendirian.”
Ia menutup buku itu, memeluknya di dada, lalu menatap langit malam lewat jendela. Badai mungkin belum berhenti, tapi kali ini, ia merasa punya alasan kuat untuk terus melangkah.