Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Yang Hadir
🌸
🌸
“Kenapa tidak menginap saja sih, Mah?” Alendra mengantarkan kedua orang tuanya hingga masuk ke mobil yang sudah siap.
“Lain kali saja, tanggung. Tadi Mama dan Papa hanya khawatir karena kamu nggak jawab telepon. Takutnya kamu kenapa-napa.” Bu Andin mengusap lengan putranya yang membukakan pintu.
“Cuma Mama yang khawatir, kalau Papa sih nggak.” Sedangkan Pak Seno sudah lebih dulu masuk lewat pintu sebelahnya.
“Papa ‘kan memang gitu, mana ada khawatir sama anak-anaknya?” Sang istri mendelik.
“Kenapa juga harus khawatir? Lendra ‘kan sudah dewasa.”
“Bukan masalah dewasa atau belum.”
“Lalu apa?”
“Ah, Papa mana ngerti sama perasaan Mama?”
Alendra tertawa menyimak perdebatan kedua orang tuanya. Mereka memang tidak pernah berubah meski dirinya kini sudah dewasa, selalu seperti itu terutama dengan ibunya yang selalu mengkhawatirkan hal-hal kecil. Apalagi semenjak dirinya bercerai dari Silvia, bu Andin selalu menaruh perhatian lebih padanya.
“Makanya, Le. Lain kali kalau mama menelpon langsung jawab, bukannya diabaikan. Begini ‘kan jadinya? Papa lagi yang kena.” Pak Seno berkelakar.
“Iya, maaf. Tadi subuh ‘kan tidak sengaja. Lagi mengurus administrasi nya Tirta dan lupa bawa hape.”
“Hmm ….” Bu Andin hanya mencebik.
“Nanti taun baru kamu pulang nggak?” tanya sang ayah ketika istrinya sudah duduk di samping.
“Nggak tau, lihat nanti saja.”
“Kok nggak tau? Ya pulang lah. Mas dan mbak mu juga pasti pulang, mana ada kita masing-masing di waktu liburan?”
“Ale usahakan, Mah. Tapi nggak janji. Soalnya masih banyak deadline yang harus diselesaikan.”
“Lho? Masa harus bekerja? Itu ‘kan hari libur sedunia? Tega sekali perusahaan kamu. Kemarin-kemarin bisa libur?”
“Itu beda, Mah. Dulu ‘kan di Jakarta, sedangkan sekarang Ale baru saja pindah. Jelas nggak akan sama lah.”
“Ini lah, makanya Mama minta kamu resign saja dan urus pabrik sama mbak dan mas mu. Biar kalau musim liburan begini nggak harus kerja terus. Kan enak kalau di perusahaan sendiri, nggak terikat.”
Alendra hanya tersenyum. Dia tak mau menyanggah ucapan mamanya apalagi kalau sudah menyinggung soal pabrik. Bisa panjang urusannya dan kedua orang tuanya tidak akan kunjung pulang.
“Sudah, Ma. Bahas pabrik terus? Kalau Lendra nggak mau ya sudah, jangan dipaksa. Nggak akan betul dia bekerja.” Pak Seno menepuk pundak sopirnya agar mobil yang sudah mereka naiki cepat bergerak.
“Ya sudah, jaga diri baik-baik. Jangan kerja terus yang kamu pikirkan. Kesehatan juga harus diutamakan.” Bu Andin memberikan pesannya yang terakhir, dan Alendra menanggapinya dengan senyum dan anggukkan. Lalu perempuan itu melirik ke arah di mana Asyla tampak memperhatikan dari samping rumah dengan Tirta yang berada dalam gendongan, dan balita itu terlihat melambaikan tangan saat mobil mulai melaju.
“Papa tau nggak, Lendra sama siapa itu art nya?” Kendaraan beroda empat itu keluar dari pekarangan.
“Asyla?”
“Iya, Asyla.”
“Kenapa?”
“Akrab bener. Dia berani bercanda.” Bu Andin mengingat interaksi yang terjadi antara putranya dengan Asyla di ruang makan tadi ketika dirinya baru saja keluar dari kamar.
“Terus masalahnya apa?”
“Dia ‘kan nggak biasanya gitu, apalagi sama pegawai perempuan.”
“Memang biasanya bagaimana?”
“Ya agak jaga jarak lah, kecuali kalau dengan yang sudah dekat.”
“Mungkin anak kita berubah.”
“Perubahannya aneh.”
“Nggak aneh, karena setiap manusia itu akan berubah setelah melewati beberapa fase dalam hidupnya.”
“Apa karena bercerai dia jadi begitu?”
“Nggak tau.”
Lalu pasangan itu sama-sama terdiam untuk menikmati perjalanan kembali ke kota Jakarta.
***
“Anak ganteng, nggak boleh gitu dong. Kan ibu nya jadi sakit.” Terdengar keluhan Asyla yang tengah berada di halaman belakang. Beberapa kali bahkan dia merintih seperti orang kesakitan. Dan hal tersebut mengundang perhatian Alendra yang memang sedang mencarinya karena bermaksud meminta dibuatkan kopi.
“Kalau gitu terus, Ibu nggak akan kasih ‘nen lagi nih.” Lalu ucapan itu membuat Alendra menghentikan langkah, bersamaan dengan Asyla yang melepaskan Tirta yang sedang menyusu dari pay*daranya. Dan adegan tersebut tampak jelas karena wanita itu memang duduk menghadap ke arah di mana dirinya muncul.
Untuk beberapa saat Alendra tertegun dan dia tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Karena ini memang tak pernah dia duga.
Maksudnya, dirinya tau jika Asyla masih menyusui Tirta. Tetapi sama sekali belum pernah melihatnya dalam keadaan seperti barusan.
Seharusnya ini menjadi hal biasa, kan? Pada umumnya semua perempuan yang sedang menyusui memang begitu, bukan?Tapi mengapa dadanya mendadak berdebar.
“Pak?” Lalu suara Asyla menyadarkannya dari lamunan, dan dia mendapati wanita itu bangkir setelah menurunkan putranya.
“Mbuuu!! Mbuu!!” Namun Tirta enggan diturunkan dan kedua tangannya terulur meminta kembali digendong.
“Umm … saya … mau minta kopi, tapi —”
“Boleh, Pak. Sebentar.” Secepat kilat Asyla merebut cangkir kopi di tangan Alendra kemudian menghambur ke dalam dapur untuk membuatkannya kopi.
Pria itu masih tertegun di tempatnya berdiri, tetapi tangisan Tirta kembali menyadarkannya.
“Ah, kenapa sih dia malah meninggalkan anak ini? Menangis ‘kan jadinya.” Lalu dia segera menghampiri dan meraup tubuh kecil anak itu.
“Ini, Pak kopinya. Hati-hati masih panas.” Lalu Asyla kembali, dan seperti biasa dia mengingatkan Alendra untuk berhati-hati dengan minuman yang baru dibuatnya itu. Kemudian dia beralih meraih Tirta dari gendongan Alendra.
Namun entah mengapa suasana jadi terasa canggung saat wanita itu mendekat, yang membuat Alendra salah tingkah ketika kedua tangan itu terulur meraih tubuh Tirta.
Ada desiran aneh yang muncul saat permukaan kulitnya yang hangat bersentuhan dengan dadanya meski tanpa sengaja, dan itu sedikit membuatnya merasa gugup. Tanpa sadar dirinya mengeratkan pelukan terhadap Tirta, sehingga terjadi saling tarik menarik untuk beberapa detik.
“Pak, Tirta nya?” Asyla mendongak dan seketika pandangan mereka bertemu.
Alendra bergeming, tetapi dia menikmati perasaan yang perlahan timbul.
“P-pak?” panggil Asyla lagi yang akhirnya membuat pria itu melepaskan dekapannya dari Tirta.
“Mbu, ‘nen agi.” ucap anak itu sambil menepuk-nepuk dada Asyla. Meski terdengar tidak jelas tetapi mereka memahaminya.
“Maaf, Pak?” Asyla pun mundur kemudian melangkah ke arah kamarnya yang terletak di belakang, sambil menanggapi ocehan putranya.
“Nen terus, dari tadi ‘kan udah.”
“Mm … mau ‘nen agi!!”
“Tapi habis ‘nen mandi, ya?”
“Nggak mau, maunya ‘nen.”
“Iya, habis ‘nen kita mandi.”
“Mau sama Ibu.”
“Oke.” Asyla tampak mencium kedua pipi putranya secara bergantian sehingga anak itu tertawa-tawa, lalu mereka masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Alendra masih tertegun di tempatnya semula, mencoba meraba hati yang sejak beberapa saat lalu berdesir-desir tak karuan.
“Apa-apaan ini?” gumamnya yang bergegas kembali ke ruang kerjanya di lantai dua.
🌸
🌸
Uhuk🤭🤭
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.
takut jantung gak aman lagi ya Le
nanti Asyla beres² rumah, Mas Ale ngasuh Tirta..