Aini mengira kedatangan keluarga Julian hendak melamarnya. namun ternyata, mereka malah melamar Sakira, adik satu ayah yang baru ia ketahui kemudian hari. padahal sebelumnya, Julian berjanji akan menikahinya. ternyata itu hanya tipuan untuk memanfaatkan kebaikan Aini.
Tidak sampai disitu, ayahnya malah memaksa untuk menjodohkan Aini dengan duda yang sering kawin cerai.
karena kecewa, Aini malah pergi bersenang-senang bersama temannya dan menghabiskan malam dengan lelaki asing. bahkan sampai hamil.
Lantas, bagaimana nasib Aini. apakah lelaki itu mau bertanggung jawab atau dia malah menerima pinangan dari pria yang hendak dijodohkan dengannya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Herka Rizwan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Aini bangun setelah istirahat sejenak. Tidurnya benar-benar pulas sekali. Ditambah dia mengkonsumsi vitamin yang direkomendasikan oleh dokter kandungan.
"Kamu udah bangun, sayang?" Arjun yang duduk tidak jauh darinya nampak tersenyum melihat istrinya.
"Uhm!" angguk Aini. "Aku kira, kamu gak ada di sini."
"Mana mungkin aku meninggalkan istriku yang sedang tidak enak badan. Gimana keadaan kamu, udah ada perubahan?"
"Iya, sekarang aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih ya, karena kamu begitu perhatian sama aku!"
Pria itu tak menjawab, melainkan berjalan ke arah Aini. Wajahnya teduh, menatap istrinya yang terlihat gugup.
"Kamu gak perlu berterima kasih. Sudah menjadi kewajiban ku, untuk membuat kamu aman dan nyaman."
Entah kenapa, saat ini Aini merasa ada kenyamanan di samping Arjun. Mungkin saja ini terjadi karena kehamilannya. Atau, mungkin juga dia sudah jauh cinta pada suaminya itu.
"Kenapa diam? Apa kamu mau makan sesuatu?" Arjun bertanya lembut.
"Aku mau makan mangga muda. Bisakah kamu membawanya untuk ku?"
Seketika kening Arjun mengerut. Begitu banyaknya buah yang dijual di toko. Tapi kenapa Aini malah meminta mangga muda. Yang saat ini begitu susah ditemukan keberadaannya.
"Mangga muda kan asam, Sayang. Apa kamu gak bakalan sakit perut memakannya?"
"Aku juga gak terlalu suka mangga muda. Tapi rasanya, aku ingin sekali menikmati buah itu."
Sepertinya pasutri ini belum tahu tentang mengidam. Sesuatu rasa yang timbul di saat kehamilan terjadi. Biasanya ada keinginan mencicipi makanan atau buah muda yang biasa dibuat untuk rujak.
"Aku akan meminta tolong pada asistenku kalau begitu."
Tapi sebelum itu, Arjun bertanya lebih dulu pada Bu Rara. Tentang keinginan Aini yang terkesan aneh menurutnya.
"Tuan, itu bukan hal aneh. Biasanya seorang perempuan yang sedang hamil sering menginginkan sesuatu yang tidak masuk akal. Mereka mengidam, seperti ingin makan mangga muda, rujak pepaya, bahkan memaksa suaminya untuk berbuat sesuai perasaannya," jelas Bu Rara tersenyum.
"Jadi, itu lumrah bagi Aini?"
"Iya, Tuan. Itu masih wajar. Dulu tetangga saya lebih parah. Istrinya hamil dan meminta suaminya buat membeli apel di kota Malang."
"Kalau gak dipenuhi bagaimana?"
"Katanya, bayi yang dilahirkan bakal ileran!"
"Hah benarkah? Lalu bagaimana dengan tetangga Ibu tadi?"
"Dia meminta bantuan seseorang. Kebetulan salah satu temannya sedang bertugas di Malang. Eh, pas udah datang, istrinya cuma makan satu gigitan doang. Lucu kan?"
Arjun mengangguk, ternyata begitu kisahnya. Tapi dia lega, setidaknya Aini berterus terang padanya. Setidaknya gadis itu menghargai dirinya sebagai suami.
"Saya mau meminta asisten saya buat mencari buah mangga muda. Di mana kira-kira bisa menemukannya ya, Bu?"
"Hm, biar saya saja yang mencarinya, Tuan."
"Ibu tahu, di mana ada buah tersebut?"
Bu Rara mengedipkan kedua matanya. Dia bergegas pergi entah kemana.
Beberapa jam kemudian, dia sudah kembali dengan membawa satu plastik kresek mangga muda. Arjun saja terperangah, dari mana kepala pelayan itu bisa mendapatkan buah itu.
"Ah, Tuan gak usah banyak tanya. Ini merupakan rezeki anak Tuan dan Nyonya muda. Buruan dikasih, jangan lupa bawa piring sama pisaunya!"
Setelah mengucapkan terima kasih dan juga memberikan tip, Arjun pun segera ke kamarnya. Aini yang masih menonton TV, menoleh ke arah pintu.
"Kamu bawa apa?" tanyanya sembari menatap plastik kresek yang ada di tangan suaminya.
"Coba tebak, ini apa?" balas Arjun tersenyum.
Kepala Aini menggeleng, kembali fokus menonton film kesukaannya.
Arjun duduk di sofa. Mengeluarkan buah mangga dan juga piring kecil serta pisau.
Aroma mangga muda yang khas, seketika tercium oleh Aini. Matanya berbinar saat melihat suaminya sedang sibuk mengupas buah yang ia idamkan itu.
"Arjun, dari mana kamu mendapatkan buah mangga muda?" tanya Aini seraya mendekati sang suami.
"Hm, dari Bu Rara. Tapi, ini tidak gratis ya."
"Maksudnya?"
"Ada harga untuk mangga muda ini. Terutama buat kamu!"
"Aku makin gak ngerti!"
Arjun menaruh mangga muda itu di atas meja. Lalu memandang Aini yang tampak menelan ludah karena begitu tak sabar untuk mencicipinya.
"Sebelum kamu menikmati buahnya, terlebih dulu kamu harus melakukan sesuatu untukku," pinta Arjun memegang bahu istrinya.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya lembut.
"Cium aku, sayang."
Aini sedikit terkejut, tapi akhirnya dia pun menyodorkan bibirnya ke pipi Arjun meski hanya sekilas.
"Bukan hanya di situ. Tapi juga di sini!" Arjun menunjuk ke arah bibirnya sendiri.
"A-pa? Tapi..."
"Tapi kenapa? Aku suamimu, Aini. Tak ada yang harus kita tutupi lagi. Cuma sebuah ciuman saja. Supaya kamu bisa membuktikan cintamu padaku."
Gadis itu menarik napas sesaat. Malu dan takut bercampur jadi satu.
Namun, dia pun luluh juga. Perlahan, dia mengecup bibir Arjun. Detak jantungnya ikut bertambah cepat.
Arjun yang belum puas, malah sengaja memainkan belahan bibir Aini selama mungkin. Meski hendak memberontak, tapi perasaan Aini mendadak bahagia. Bahkan, tanpa sadar dia juga membalas ciuman itu.
Sampai keduanya hampir kekurangan oksigen. Bibir yang saling tertaut itu pun akhirnya terlepas.
"Manis, lebih dari buah apapun," puji Arjun membuat Aini tersipu malu.
"Aku mau makan mangga dulu!" Aini dengan lekas mengambil satu potong mangga muda. Lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Gimana rasanya, sayang?" tanya Arjun terlihat bergidik ngeri.
"Enak! Gurih dan menyegarkan!"
Tangan Aini kembali mengambil satu potong. Arjun meneguk ludahnya, melihat sang istri begitu menikmati buah yang masih asam plus kecut itu.
"Kamu gak mau nyobain?" tawar Aini menyodorkan irisan kecil mangga ke mulut suaminya.
"Ah, kamu makan aja Sayang."
"Serius kamu gak mau. Ini beneran enak loh!"
Karena sudah ditawari, Arjun pun mencobanya. Perlahan dia mengunyahnya sembari memejamkan mata.
Entah karena bawaan istrinya hamil, mendadak Arjun ikut menyukai mangga muda tersebut. Tanpa sadar, sudah tiga potong mangga masuk ke dalam mulutnya.
Begitu habis, Arjun mulai merasakan perutnya nyeri. Dia tak ingat, kalau dia punya riwayat sakit asam lambung.
Tak mau membebani Aini, dia segera mencari obatnya. Sayangnya, dia kehabisan stok. Arjun pun keluar kamar untuk mencari Bu Rara. Sembari memegang perutnya, dia meminta tolong agar dipanggilkan dokter keluarga.
Tapi Arjun sudah tak kuat menahan sakitnya. Dia malah jatuh pingsan di dekat tangga.
Begitu ia terbangun, tubuhnya sudah berpindah ke ranjang tidurnya. Di sisinya, ada Aini yang terlihat khawatir.
"Sayang, apa yang terjadi?" tanyanya lirih.
"Arjun, kamu sudah sadar? maaf ya, gara-gara aku, asam lambung kamu jadi kumat. Seharusnya aku gak nawarin kamu buat makan mangga muda itu," kata Aini tertunduk.
"Kamu gak salah, Sayang. Aku yang lupa dengan keadaan ku sendiri," balas Arjun mengusap tangan istrinya.
"Tuan Arjun baik-baik saja, Nyonya. Karena Tuan hanya memakannya sedikit, " ujar Bu Rara menenangkan Aini.
"Iya, Bu Rara. Terima kasih atas bantuannya," ucap Arjun tersenyum.
Tiba-tiba terdengar suara orang masuk ke kamar. Ternyata Zeta beserta Arum dan Rama datang berkunjung.
"Arjun, kamu udah baikan? Apa yang terjadi, Nak?" tanya Zeta duduk di samping cucunya.
"Aku gak papa, Nek!" sahut Arjun tak ingin membuat Zeta cemas.
Tatapan Arum terlihat benci begitu melihat Aini. Dengan kasarnya dia menarik gadis itu dari sisi Arjun.
"Ini pasti salah kamu. Dasar pembawa sial, mendingan kamu gak usah ada di sini. Pergi sekarang juga!" usir Arum menunjuk ke arah pintu kamar.
Bersambung...