Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21
Azhar berdiri kaku di depan jendela, matanya masih menatap kosong ke arah kepergian istrinya. “Dari awal pernikahan sampai sekarang, sikapnya selalu begitu. Membangkang, menolak, bahkan nggak pernah mau dengar nasihatku. Dian nggak pernah berubah, malah tambah liar,” keluhnya dengan suara serak.
Nisa mendekat, menepuk pelan bahu suaminya, lalu memeluk erat tubuh tegap itu. “Mas harus sabar. Insya Allah, suatu hari nanti Mbak Dian bisa berubah. Mungkin sekarang dia lagi salah jalan, lagi kebawa arus. Aku yakin Allah kasih kesempatan buat setiap orang,” ujarnya lembut menenangkan.
Azhar menghela napas panjang, wajahnya penuh beban. “Aku gagal Nisa. Aku gagal didik dia. Dunia bikin dia lupa daratan, matanya tertutup sama gemerlap,” katanya lirih.
Pelukan Nisa semakin erat. Tangannya mengusap lembut punggung suaminya, mencoba meredakan keresahan di hati lelaki itu. Ia sendiri merasa kecewa, sedih, bahkan marah dengan tingkah Dian. “Aku tahu perasaan Mas. Aku juga ikut sakit hati lihat Mbak Dian begitu kasar balas ucapan Mas tadi. Kayak nggak ada rasa hormat sama sekali,” imbuhnya dengan mata berkaca.
Di sudut ruangan, Berliana memperhatikan diam-diam. Anak kecil itu tidak merengek atau bermanja seperti biasanya. Ia hanya menatap kepergian mamanya dengan wajah polos penuh tanda tanya.
Azhar kembali bersuara, nadanya getir. “Semoga Allah kasih hidayah buat dia. Perilakunya sudah jauh dari kebaikan, nggak mencerminkan seorang muslimah. Aku takut dia makin rusak,” gumamnya sambil mengusap wajah.
Nisa menatap wajah lelah suaminya, penuh kerut frustasi. Ia hanya bisa berdoa dalam hati, Ya Allah, kenapa hidup Mbak Dian harus sejauh itu dari jalan-Mu? Tolong jaga Mas Azhar dari rasa putus asa.
Sementara itu di lobby rumah sakit, Hafsah berdiri terpaku. Matanya terbelalak ketika melihat sosok yang sangat dikenalnya. “Astaghfirullah, itu kan Mbak Dian? Apa aku salah lihat?” serunya pelan sambil menutup mulutnya.
Ia memicingkan mata, memastikan pandangannya tidak keliru. Seorang wanita berlari kecil menuju mobil putih mewah di parkiran. Beberapa detik kemudian, Hafsah terkejut setengah mati. Wanita itu berpelukan mesra dengan seorang pria lalu berciuman singkat di balik kaca mobil yang terbuka.
“Ya Allah… benar itu Mbak Dian. Berarti gosip selama ini bukan bohong,” bisiknya gemetar.
Akbar, yang baru datang setelah memeriksa mobilnya, memandang heran istrinya. “Sayang, kamu kenapa? Kok wajahmu pucat gitu? Barusan kamu ngomong apa?” tanyanya sambil melingkarkan tangan ke pinggang Hafsah.
Hafsah buru-buru tersenyum, mencoba menutupi keterkejutannya. “Nggak kok Mas, aku cuma bilang Mbak Dian itu istri dan mama yang baik,” elaknya cepat.
Akbar mengernyit, lalu mengangguk tanpa curiga. Hafsah dalam hati merintih, Ya Allah, aku nggak bisa ceritain ini. Aku takut bikin rumah tangga Abang Azhar hancur. Semoga saja Mbak Dian cepat sadar sebelum semuanya terlambat.
“Ayo, kasihan Abang Azhar sudah lama nunggu,” ajak Akbar sambil merangkul erat istrinya.
“Iya Mas. Oh ya, kue sama roti buat keponakan kita nggak ketinggalan kan?” ucap Hafsah sambil mengalihkan topik.
Akbar mengangkat dua kotak box dengan senyum bangga. “Tenang, ini favoritnya Berliana.”
Mereka pun berjalan menuju lift. Dari samping, pasangan itu terlihat sangat serasi. Hampir setahun menikah tanpa anak, tapi cinta mereka tetap mekar, tak pernah pudar. Hafsah sesekali melirik ke arah parkiran, bayangan Dian dan pria itu masih menghantui benaknya.
Sesampainya di kamar perawatan, suasana berbeda terasa. Azhar sedang bercanda dengan Berliana sambil menirukan suara hewan dari buku cerita.
“Papa lucu banget,” tawa Berliana pecah, matanya berbinar.
Azhar mengusap lembut rambut anaknya. “Alhamdulillah kalau putrinya papa senang. Sekarang waktunya bobo ya, sudah malam.”
Berliana merengek manja. “Mama cantik, bacain kisah nabi lagi kayak kemarin ya,” pintanya sambil menggenggam tangan Nisa.
Azhar sempat melirik Nisa, khawatir ia kelelahan. Tapi Nisa tersenyum tulus. “Nggak apa-apa Mas, justru bagus kalau dia terbiasa dengar kisah teladan,” ucapnya penuh keyakinan.
Azhar akhirnya mengangguk. “Baiklah, tapi doa dulu sebelum tidur biar nggak lupa,” katanya lembut.
Nisa menuntun putri kecil itu membaca doa. “Bismika Allahumma ahya wa bismika amut…” ucapnya.
Berliana mengulang pelan, suaranya terbata. “Amin ya rabbal alamin,” cicitnya polos.
Azhar tersenyum penuh syukur. “Ya Allah, terima kasih Engkau hadirkan Nisa dalam hidupku. Dia seperti bidadari tanpa sayap yang menuntunku saat aku hampir kehilangan arah, batinnya penuh haru.
Berliana menguap kecil. “Mama cantik, doa bikin aku nggak takut mimpi buruk kan?” tanyanya polos.
“Betul sayang. Doa bikin hati tenang, jadi tidur pun nyenyak. Besok Mama ajarin doa bangun tidur ya,” imbuh Nisa sambil mengecup keningnya.
Berliana menarik selimutnya lebih rapat, matanya berbinar penuh antusias. “Mama cantik bacain dongeng tentang kisah nabi Muhammad dong,” pintanya polos sambil menggenggam jari Nisa erat.
Nisa menoleh sebentar ke arah Azhar, seolah meminta izin. Lelaki itu hanya tersenyum hangat dan mengangguk pelan. “Silakan, aku juga pengin dengar,” ucapnya lembut.
Nisa menghela napas kecil, lalu mulai bercerita dengan suara lembut yang penuh kasih sayang. “Dulu, waktu Nabi Muhammad SAW masih kecil, beliau ditinggal wafat oleh ayahnya. Ibunya, Siti Aminah, sangat sayang sama beliau. Tapi nggak lama setelah itu, ibunya pun meninggal. Jadi, Nabi tumbuh sebagai anak yatim piatu.”
Berliana memasang wajah sendu. “Kasihan banget ya, Ma,” katanya lirih.
“Iya sayang, tapi meskipun begitu, Allah selalu jagain beliau. Nabi kemudian dirawat oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Kakeknya sangat sayang sama beliau, sampai nggak pernah mau jauh-jauh. Setelah kakeknya wafat, Nabi diasuh lagi sama pamannya, Abu Thalib,” imbuh Nisa, suaranya tenang penuh makna.
Azhar ikut menatap penuh perhatian, matanya sesekali beralih dari wajah istrinya ke putri kecilnya. Ia tersenyum tipis, hatinya hangat melihat bagaimana Nisa begitu sabar menanamkan kisah teladan ke dalam hati anaknya.
“Terus, Mama, Nabi kecilnya main apa? Dia suka ketawa kayak aku juga nggak?” tanya Berliana polos sambil mengusap matanya yang mulai berat.
Nisa tersenyum. “Nabi Muhammad kecil itu anak yang jujur, penyayang, nggak pernah bohong. Teman-temannya suka main sama beliau karena beliau baik hati. Sampai-sampai semua orang percaya dan kasih julukan Al-Amin yang artinya orang yang bisa dipercaya.”
“Al-Amin,” ulang Berliana pelan, lidahnya terbata-bata. “Mama, kalau aku juga nggak suka bohong, bisa jadi kayak Nabi juga?” tanyanya lagi penuh harapan.
“Insya Allah, Berliana bisa. Kalau Berliana jujur, baik hati, dan selalu ingat Allah, pasti bisa jadi anak solehah yang dicintai semua orang,” ucap Nisa sambil membelai rambut halus putrinya.
Berliana tersenyum kecil, matanya semakin berat menahan kantuk. “Aku mau kayak Nabi Muhammad… supaya Papa Mama bangga,” cicitnya sebelum akhirnya matanya terpejam.
Nisa menutup buku cerita dengan hati-hati, lalu menunduk mengecup kening Berliana sekali lagi. Azhar menatap pemandangan itu dengan mata berkaca-kaca. “Makasih Nisa, kamu sudah jadi cahaya di tengah gelapnya rumah tangga ini,” ujarnya lirih.
Nisa menoleh, wajahnya merona malu. “Aku cuma berusaha sebaik mungkin, Mas. Semua karena Allah, bukan karena aku hebat,” balasnya tulus.
Azhar menggenggam jemari Nisa, meremasnya hangat. “Tapi tetap saja, kamu yang bikin aku kuat. Kamu yang bikin aku yakin rumah tangga ini masih punya harapan,” ucapnya penuh rasa syukur.
Nisa terdiam, hanya menunduk sambil tersenyum tipis. Di dalam hatinya ia pun berdoa, semoga Azhar dan keluarganya menemukan kebahagiaan yang benar-benar diridhai Allah.
Azhar menatap keduanya dengan cinta. Namun, momen hangat itu buyar ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Akbar dan Hafsah hampir bersamaan.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” balas Azhar dan Nisa cepat, sedikit panik.
Azhar buru-buru menjaga sikap, ia sadar betul apa yang barusan hampir terjadi dengan Nisa bisa menimbulkan salah paham.
“Ini Alfathunisa Husna, babysitternya anak-anak. Dian yang rekrut dia, kalian tahu kan Dian sibuk kerja. Minggu depan aku juga berangkat dinas ke Lebanon,” jelasnya terburu-buru.
Nisa ikut salah tingkah, wajahnya memerah, matanya gelisah. Hafsah dan Akbar menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Ya Allah, semoga mereka nggak curiga dengan apa yang tadi hampir terjadi, batin Nisa resah.
nanti bagaimana nasib anak2nya Pak Mayit.
semngat ya.....
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor