Ketua OSIS yang baik hati, lemah lembut, anggun, dan selalu patuh dengan peraturan (X)
Ketua OSIS yang cantik, seksi, liar, gemar dugem, suka mabuk, hingga main cowok (✓)
Itulah Naresha Ardhani Renaya. Di balik reputasi baiknya sebagai seorang ketua OSIS, dirinya memiliki kehidupan yang sangat tidak biasa. Dunia malam, aroma alkohol, hingga genggaman serta pelukan para cowok menjadi kesenangan tersendiri bagi dirinya.
Akan tetapi, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat saat dirinya harus dipaksa menikah dengan Kaizen Wiratma Atmaja—ketua geng motor dan juga musuh terbesarnya saat sedang berada di lingkungan sekolah.
Akankah pernikahan itu menjadi jalan kehancuran untuk keduanya ... Atau justru penyelamat bagi hidup Naresha yang sudah terlalu liar dan sangat sulit untuk dikendalikan? Dan juga, apakah keduanya akan bisa saling mencintai ke depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Handphone Kaizen
Happy reading guys :)
•••
Pintu masuk ruangan basket indoor Batara Senior High School yang sedari tadi tertutup dengan sangat rapat secara perlahan-lahan mulai terbuka, menimbulkan suara cukup keras menggema di dalam sana.
Di ambang pintu, terlihat sosok Naresha sedang mengamati sekeliling ruangan, berusaha mencari keberadaan sang suami di tempat berukuran sangat besar yang kini begitu sunyi. Ia pelan-pelan mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam—tidak lupa menutup pintu agar tidak ada satu pun orang yang dapat melihat interaksi dirinya bersama Kaizen pada nantinya.
Mata indah Naresha masih terus mengamati sekeliling ruangan, sampai pada akhirnya terpaku di salah satu kursi yang berada di tribun atas bagian kanan.
Dari berada sekarang, Naresha dapat melihat sosok Kaizen yang sedang begitu sangat fokus bermain game di dalam layar handphone—dengan mengenakan earphone di kedua telinga.
“Kalau nggak berantem, pasti nge-game … itu aja kerjaan ini anak,” batin Naresha, melangkahkan kaki mendekati tempat Kaizen berada, lantas tanpa aba-aba melepas earphone dari telinga kanan Kaizen dan mengambil alih handphone milik suaminya itu, “Ngapain lu ngajak gue ketemuan di sini?”
Kaizen sedikit melebarkan mata saat tiba-tiba saja aktivitasnya diganggu oleh seseorang, tetapi itu tidak berlangsung lama, karena dirinya seketika mengukir senyuman samar saat menyadari bahwa seseorang itu adalah istrinya sendiri. Ia spontan sedikit mendongakkan kepala, guna menatap wajah cantik Naresha yang kini sudah lebih segar daripada beberapa jam lalu.
“Kunci mobil mana?” tanya Kaizen, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi indera penglihatannya sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi penonton, “Ada barang gue yang ketinggalan di sana.”
Naresha tidak langsung menjawab atau memberikan kunci itu kepada Kaizen. Ia justru menelan air liur dengan sedikit bersusah payah saat melihat senyuman samar suaminya itu—senyuman yang entah kenapa begitu manis dan juga keren saat berpadu dengan beberapa perban serta plester luka.
Melihat hal yang sedang Naresha lakukan, membuat Kaizen refleks sedikit mengangkat alis kanannya. Ia menggerakkan tangan kanan mendekati wajah cantik Naresha, lantas menjentikkan jari beberapa kali di sana.
“Oi, kenapa lu ngelamun?” tanya Kaizen, masih terus-menerus menjentikkan jarinya di hadapan wajah Naresha.
Naresha spontan melebarkan mata dan segera tersadar dari dalam alam lamunannya, saat mendengar serta merasakan jentikan tangan Kaizen di hadapan wajah cantiknya.
“Nggak papa …,” jawab Naresha singkat, sebelum pada akhirnya mengambil kunci mobil dari dalam saku seragam sekolahnya.
“Aaaa … gue tahu ….” Kaizen mengukir senyuman tipis penuh akan arti sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Lu tadi terpesona sama ketampanan gue, kan? Makanya bengong sampai nggak kedip sama sekali ….”
Naresha membelalakkan mata sempurna saat mendengar perkataan Kaizen, lantas tanpa aba-aba segera melemparkan kunci mobil ke arah wajah suaminya itu yang masih dihiasi oleh banyak sekali perban dan plester luka. “Ngaco! Sampai mati pun gue nggak akan pernah terpesona sama lu, ya … Jadi, stop … jangan GR!”
Kaizen dengan begitu sangat sigap menangkap kunci mobil lemparan Naresha tepat sebelum mengenai wajahnya—meskipun dengan sedikit menunjukkan ekspresi kaget yang tidak ketara.
Melihat Kaizen berhasil menangkap kunci lemparannya dengan begitu sangat mudah, membuat Naresha spontan mendengus pelan, lalu tanpa mengatakan sepatah kata pun segera melangkahkan kaki pergi dari dalam ruangan basket sambil menyumpah-serapahi sang suami di dalam hati.
•••
Suasana di dalam koridor Batara Senior High School pada siang hari ini terlihat begitu sangat ramai. Suara obrolan serta tawa dari para siswa-siswi yang sedang berjalan menuju kantin, kelas, perpustakaan, serta beberapa tempat terdengar memenuhi area itu, menciptakan suasana sekolah yang sangat hidup dan penuh akan semangat.
Di antara banyaknya siswa-siswi itu, terlihat Naresha tengah melangkahkan kaki dengan begitu sangat cepat—sambil masih terus menyumpah-serapahi Kaizen di dalam hati. Saking sibuknya melakukan hal itu, Naresha sampai mengabaikan beberapa sapaan dari para adik kelas, teman seangkatan, serta para senior yang sedang berpapasan dengannya.
Beberapa menit berlalu, langkah kaki Naresha seketika terhenti begitu saja di ambang pintu masuk ruangan OSIS, saat tiba-tiba mendengar suara serta merasakan getaran handphone dari tangan kanannya. Ia mengangkat tangan kanan, lantas sedikit melebarkan mata ketika baru saja menyadari bahwa handphone milik Kaizen tanpa sengaja terbawa olehnya.
“Aish … gara-gara kelakuan itu anak, aku sampai nggak sadar kalau masih megang handphone dia,” batin Naresha, seraya refleks melihat ke dalam layar handphone yang sedang menampilkan nama ‘Mama Tersayang’—berusaha menghubungi Kaizen melalui panggilan telepon, “Dari mama Sekar ….”
Naresha menghela napas panjang beberapa kali, sebelum pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan telepon dari sang mama mertua, lalu menempelkan handphone ke telinga kanan agar dapat mendengar suara perempuan paruh baya itu dari dalam sana.
“Adek, kamu lagi ada di mana? Kamu udah nggak lagi ngekang-ngekang Resha, kan?” tanya Sekar to the point, tanpa mengucapkan sapaan sedikit pun saat panggilan telepon baru saja terhubung.
Naresha refleks mengukir senyuman tipis penuh kebahagiaan saat mendengar hal itu, sebelum pada akhirnya membuka suara sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan OSIS yang saat ini terlihat sangat sunyi. “Ah … maaf, Ma … ini Resha, bukan Kaizen ….”
Sekar spontan terdiam beberapa saat, seolah sedang berusaha mencerna perkataan Naresha dari seberang telepon sana. “Eh, ini cantiknya Mama? Kaizen ke mana cantik? Kenapa handphone-nya bisa ada di kamu?”
Naresha mendudukkan tubuh di meja pribadinya, menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil memberikan elusan lembut di pipi kanan yang terasa sedikit gatal.
“Iya, ini Resha, Mama … Kaizen … kayaknya dia lagi main sama teman-teman sekelasnya … Ini handphone dia lagi ada di aku karena … karena … karena tadi dia nitip, katanya dia lagi males banget buat megang handphone,” jawab Naresha, dengan suara sangat tenang, tetapi kata-katanya penuh akan kebohongan.
“Astaga itu anak … pasti dia males angkat telepon dari Mama, makanya dia nitipin handphone ke kamu … awas aja nanti …,” ucap Sekar dengan suara terdengar sedikit kesal saat mendengar jawaban dari Naresha, tetapi tidak berlangsung lama, lantaran sesegera mungkin suaranya kembali berubah menjadi sangat lembut, “Oh, iya, Cantik … kamu udah nggak dikekang-kekang lagi sama Kaizen, kan? Kalau masih, kasih tahu Mama langsung … biar Mama marahin lagi itu suami kamu.”
Naresha refleks terkekeh pelan saat mendengar perkataan sang mama mertua yang entah kenapa terasa begitu sangat hangat serta lucu untuk dirinya. “Nggak, kok, Mama … Mama tenang aja … anak bungsu Mama yang jadi suamiku itu udah nggak berani macem-macem lagi, kok … malah dia sekarang bebasin aku buat ngelakuin apa pun.”
Sekar terdengar mengembuskan napas penuh kelegaan dari seberang telepon sana. “Syukurlah kalau gitu … Mama senang dengernya.”
Setelah mengatakan hal itu, obrolan mereka terus berlanjut hingga lupa akan waktu—mulai dari mengobrolkan tentang jalan-jalan bersama, aktivitas mereka masing-masing, serta masih banyak lagi.
To be continued :)