Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Ruang bawah tanah itu lembap dan hanya diterangi lampu lima watt. Bau besi berkarat bercampur dengan aroma jamur yang menempel di dinding. Cahaya redup dari lampu gantung berayun pelan, menyorot sosok Clara Wu yang duduk di pojok ruangan, memeluk lututnya. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya terengah, keringat dingin membasahi wajah pucatnya.
Dari balik pintu besi, suara langkah kaki terdengar menurun pelan di anak tangga. Seorang wanita paruh baya membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air. Dua pria berjaga di luar ruangan, menatap tanpa emosi.
Wanita itu, Bibi Shu, pelayan lama keluarga Wu, menatap mereka sejenak sebelum memohon, “Aku hanya ingin memberi makan Nona Clara. Dia sudah terlalu lemah.”
Salah satu penjaga mengangguk dingin, dan pintu besi berderit terbuka.
Bibi Shu melangkah masuk, menaruh nampan di lantai, lalu berjongkok di depan Clara. Ia menatap gadis itu dengan mata penuh iba.
“Nona,” ucapnya lembut, suaranya bergetar. “Cepat telan penawarnya sebelum tubuh Nona semakin lemah.”
Dari saku bajunya, Bibi Shu mengeluarkan sebutir pil hitam kecil dan menyodorkannya dengan tangan gemetar.
Clara meraihnya cepat, seolah itu satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari kematian. Ia menelan pil itu dengan air mata yang menetes deras, lalu menarik napas panjang, menahan nyeri yang masih terasa menusuk di perutnya.
“Nona,” lanjut Bibi Shu dengan suara lembut, “makanlah bubur ini. Jangan sampai perutmu kosong."
Dengan tangan yang gemetar hebat, Clara mengambil sendok, lalu perlahan menyuapkan bubur ke mulutnya. Setiap suapan terasa hambar, seperti tak ada rasa hidup yang tersisa.
Bibi Shu duduk di sampingnya, menatapnya lama.
“Nona,” katanya lirih, “setelah keluar dari sini, jangan pernah kembali lagi. Bibi tidak sanggup melihat Nona menderita seperti ini. Bagaimana kalau… Nona memberitahu Tuan Zhou saja?”
Clara terdiam lama sebelum menjawab, suaranya lemah dan getir.
“Andrian… tidak pernah peduli padaku, Bibi. Bahkan saat kami bertemu pun, dia jarang bicara. Kami hanya berbicara kalau ada keluarga yang hadir. Di rumah, dia hanya lewat di depanku seolah aku tidak ada.
Sekalipun dia tahu kondisiku, dia tidak akan peduli. Di matanya… aku hanya benda menjijikkan yang mengotori pandangannya.”
Bibi Shu menggenggam tangan Clara dengan erat. “Nona, bagaimana kalau pergi ke rumah sakit saja? Mungkin masih ada dokter yang bisa menolong dan menghilangkan racun itu?”
Clara menggeleng perlahan, air mata kembali jatuh.
“Dalam tiga tahun ini, aku sudah menemui banyak dokter. Setiap hasil pemeriksaan sama… mereka tidak pernah menemukan racun apa pun di tubuhku. Paman memberikan racun yang tidak bisa terdeteksi. Hanya penawarnya yang bisa membuatku tetap hidup.”
Ia menunduk, suaranya bergetar. “Dengan cara itu, Paman bisa mengendalikanku. Setiap minggu aku kesakitan, dan harus pulang ke rumah ini hanya demi sebutir pil.”
Bibi Shu menutup mulutnya menahan isak. “Nona… Bibi tidak tega. Nona adalah anak yang baik, tapi mereka semua memperlakukan Nona seolah bukan manusia. Menyiksa, memaksa… bahkan menikahkan Nona dengan pria yang kejam dan dingin.”
Clara menatap kosong ke depan.
“Hidupku sudah tidak berarti lagi. Di mata suamiku, aku menjijikkan. Di depan keluarga Wu, aku hanya alat. Sejak Papa dan Mama meninggal, aku hidup di bawah kendali mereka. Penderitaan ini sudah berlangsung bertahun-tahun… dan tiga tahun terakhir adalah yang paling menyakitkan.”
Ia menarik napas panjang, lalu menyingkap lengan bajunya perlahan. Cahaya lampu redup menyorot bekas sayatan kecil di sepanjang lengannya, sebagian sudah mengering, sebagian masih memerah.
“Aku… dipaksa mendekati suamiku, mencuri datanya. Dipaksa minum racun dan obat perangsang agar bisa ‘menarik perhatiannya’. Tapi setiap kali aku menolak… tubuhku yang jadi korban.”
Bibi Shu menutup mulutnya, air mata jatuh deras di pipi tuanya. “Tuan benar-benar tidak punya hati… bagaimana bisa memberimu obat seperti itu, Nona…”
Clara tersenyum pahit. “Bibi, di keluarga Andrian menganggap aku istri paling beruntung. Semua iri padaku karena Andrian adalah pria sempurna — tampan, kaya, dihormati. Tapi mereka tidak tahu… aku hanya istri yang tidak diinginkan.
Setiap kali racun atau efek obat perangsang menyerangku, satu-satunya hal yang terlintas di pikiranku hanyalah mati.”
Prancis.
Mobil hitam berhenti di depan hotel termewah di kota Paris. Lampu-lampu mewah di lobi memantulkan cahaya ke jas hitam yang dikenakan Andrian Zhou, menambah kesan dingin dan berwibawa pada wajahnya yang tegas. Ia turun dari mobil dengan langkah mantap, diikuti oleh asistennya, Kane.
Udara musim dingin Paris menyentuh kulit, namun ekspresi Andrian tetap datar dan penuh kendali. Ia tidak pernah terlihat santai — bahkan di tempat seindah ini.
“Tuan Zhou, orangnya ada di kamar lantai VIP sedang menunggu Anda,” kata Kane dengan sopan, menunduk sedikit.
Andrian mengangguk kecil. “Jangan sampai ada yang mengganggu kami sebelum ada perintah dariku!” suaranya rendah namun penuh tekanan, membuat dua pengawal di dekatnya langsung menegakkan tubuh.
“Baik, Tuan,” jawab Kane cepat.
Keduanya melangkah masuk ke lift berlapis kaca, menuju lantai paling atas. Musik lembut terdengar samar, namun tidak mampu menenangkan ketegangan yang memancar dari aura Andrian.
Setiba di sana, Andrian berjalan menuju salah satu kamar elit di ujung koridor. Lampu gantung kristal berkilauan di atas kepala, sementara langkah sepatunya terdengar mantap di atas karpet merah. Ia mengetuk pintu pelan namun tegas.
Sesaat kemudian, pintu terbuka. Seorang wanita cantik berambut pendek muncul di ambang pintu, mengenakan gaun satin merah yang memperlihatkan pundaknya yang jenjang. Senyum manis menghiasi wajahnya, menyambut kehadiran pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan — antara rindu dan permainan berbahaya.
Andrian melangkah masuk tanpa sepatah kata. Matanya menelusuri ruangan bergaya klasik dengan dinding krem lembut. Meja bundar di tengah ruangan sudah tertata rapi — dua gelas kosong, sebotol wine, dan dua lilin putih yang menyala redup.
Cahaya lilin menari di permukaan wajah mereka, menciptakan suasana yang tampak romantis.