Elizabeth bukanlah gadis yang anggun. Apa pun yang dilakukannya selalu mengikuti kata hati dan pikirannya, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Dan ya, akibat ulahnya itu, ia harus berurusan dengan Altezza Pamungkas—pria dengan sejuta pesona.
Meski tampan dan dipuja banyak wanita, Elizabeth sama sekali tidak tertarik pada Altezza. Sayangnya, pria itu selalu memiliki seribu cara agar membuat Elizabeth selalu berada dalam genggamannya.
"Aku hanya ingin berkenalan dengannya, kenapa tidak boleh?"
"Karena kamu adalah milikku, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
"Pa, ada lowongan kerja?"
Elizabeth menghampiri papanya yang sedang menonton TV bersama sang mama.
"Kenapa tiba-tiba bertanya lowongan kerja, Nak?" Austin menatap putrinya.
"Aku bosan di rumah, sakit telinga mendengar mama mengomel," jawab Elizabeth kelewat jujur.
Hal itu membuat Geisha melotot. "Kamu—"
"Lihat! Papa bisa lihat sendiri, kan? Mama mengomel!" sela Elizabeth heboh.
Austin menggelengkan kepalanya melihat tingkah istri dan anaknya.
"Bagaimana Mama tidak mengomel kalau kamu saja terus bertingkah?!" balas Geisha.
"Bertingkah apa, Ma? Aku bermain ponsel, Mama bilang tidak ada kerjaan, lalu aku keluar rumah, Mama bilang tidak tau waktu." Elizabeth berdecak malas. "Kalau ada papa, Mama langsung diam, kalau papa sedang bekerja, Mama mengomel terus," cibirnya.
"Intinya Papa harus carikan aku kerja!" lanjut Eliza pada Austin.
"Baiklah, nanti akan Papa carikan," balas Austin pada akhirnya. Sedangkan Geisha menggerutu sambil memeluk suaminya.
Meski papanya memiliki perusahaan yang besar, Elizabeth tidak pernah ingin bekerja di sana. Lebih baik dia cari perusahaan lain, itung-itung nambah teman dan jalur mandiri. Dan untungnya, keluarga tidak ada yang melarang. Meski sebenarnya Austin masih mampu membiayai hidup Elizabeth.
Tentang Sadipta, dia memiliki rumah sendiri, letaknya tepat di samping rumah orang tuanya. Karena memang tanah milik ayahnya ada di sana dan diwariskan untuknya, jadilah Sadipta membuat rumah di sana.
"Secepatnya, Pa, aku malas berdiam di rumah tanpa melakukan apa-apa," ujar Elizabeth sambil melirik Geisha sekilas, lalu ia kembali ke kamar untuk lanjut menonton film.
Geisha berdecak melihat itu, untung ada suaminya, jika tidak, dia pasti akan mencubit tubuh Elizabeth dengan cubitan mautnya.
Melihat putrinya sudah masuk ke kamar, Austin menatap istrinya sambil mengelus punggungnya. "Jangan terlalu sering mengomel pada Elizabeth, Sayang. Kasihan dia," ujarnya menegur.
Karena sang suami sudah turun tangan, Geisha pun tidak mengelak. Dia memeluk lengan Austin dan menyandarkan kepalanya di pundak sang suami. "Iya, tidak lagi ...."
****
Mulut Elizabeth menganga lebar. Ia menatap gedung perusahaan di depannya hingga mendongak, karena memang gedung itu tinggi dan mewah. Wajar saja kalau dia kagum.
"Heuh?" Elizabeth menggaruk kepalanya. "Ini kan— "
"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" Seseorang datang menghampiri Elizabeth dan membuat gadis itu terpaksa melihat ke arahnya.
"Saya ingin melamar pekerjaan. Katanya di sini ada lowongan kerja, apa benar?" tanya Elizabeth.
Perempuan dengan name tag Sabrina itu mengangguk paham, bibirnya setia tersenyum ramah.
"Benar, Nona. Mari saya antar ke ruangan HRD."
Elizabeth mengangguk, dia pun mengikuti Sabrina yang sudah lebih dulu melangkah.
"Pamungkas Company? Ini kan perusahaan paman yang itu?" batin Elizabeth. Dia meringis karena baru sadar. Mana dia sudah terlanjur masuk lagi. Tak apa lah, lagi pula masalah mereka sudah selesai, jadi bukankah dia tidak perlu lebay?
Setelah Elizabeth selesai berurusan dengan HRD, ia pun diantar menuju ruang CEO untuk informasi lebih lanjut. Sebenarnya dia belum diberitahu posisinya sebagai apa. Katanya hanya CEO yang menentukan. Meski bingung, Elizabeth tetap patuh, semua demi uang.
Sang HRD yang memiliki nama Gumilang itu mengetuk pintu ruangan CEO, lalu ia membuka pintunya dan masuk lebih dulu.
Elizabeth memejamkan matanya erat ketika sudah tau siapa CEO tersebut. Benar, Altezza Pamungkas, dia orangnya. Demi apapun, Elizabeth benar-benar tidak ingin berurusan dengan Altezza lagi, tapi dia sedang butuh pekerjaan sekarang. Jika harus mencari ke tempat lain, belum berarti diterima, kan? Jadi, mau tidak mau Elizabeth melangkah masuk dengan kepala menunduk.
"Ini karyawan baru yang Anda minta, Pak. Kalau begitu saya permisi." Gumilang menunduk hormat sebelum keluar dari sana, meninggalkan Elizabeth dan Altezza yang sama-sama terdiam.
"S–selamat pagi, Paman— eh, Pak." Elizabeth menepuk bibirnya ketika salah menyebut. Ia tersenyum canggung saat Altezza menatapnya dengan datar.
"Pagi. Silakan duduk." Elizabeth pun menurut, dia duduk di depan Altezza dengan gugup. Pria itu berdeham singkat sebelum kembali bersuara. "Sebenarnya saya ragu memposisikan kamu di bagian ini, tapi, karena saya sangat membutuhkan sekertaris, jadi, mulai hari ini, kamu jadi sekertaris saya. Tolong kerja sama nya, ya."
Sebenarnya cara bicara Altezza terdengar ramah, hanya saja, wajahnya itu yang membuat Elizabeth ketar-ketir, datar tanpa ekspresi.
"H–hah? Sekertaris? Anda tidak salah, Pak? Saya baru melamar, lho?" Tentu saja Elizabeth tidak menerimanya begitu saja. Dulu pertama kali melamar kerja, Elizabeth harus di tes dulu, bisa atau tidak di posisi ini, kalau tidak sanggup, akan ganti ke posisi yang lainnya. Tapi ini? Belum apa-apa sudah dijadikan sekertaris.
Sebenarnya sebelumnya Altezza memiliki sekertaris, tapi sekertaris nya mengundurkan diri karena ingin pindah ke luar negeri menyusul calon istrinya. Jadilah Altezza membuka lowongan kerja untuk mencari sekertaris.
Altezza menghela nafas pelan, dia mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen, tatapan matanya benar-benar datar. "Jadi, kamu mau atau tidak? Jika tidak mau, saya bisa cari karyawan baru yang lain untuk jadi sekertaris saya."
Elizabeth menggeleng heboh, tidak, dia tidak boleh kehilangan kesempatan emas ini! "Saya mau, Pak! Saya mau!" jawabnya cepat.
Altezza mengangguk puas. "Kamu ada pengalaman jadi sekertaris?"
Elizabeth mengangguk. "Ada, Pak."
"Bagus. Setelah makan siang nanti, ikut saya bertemu klien. Selanjutnya, saya akan beri tahu kamu tentang jadwal-jadwal saya. Setelah dua Minggu kerja, kamu yang akan atur jadwal saya, mengerti?"
"Mengerti, Pak!"
"Semoga kamu tidak merugikan saya lagi kali ini," ujar Altezza membuat Elizabeth terkekeh canggung. "Kamu boleh keluar, ruangan kamu ada di samping ruangan saya," lanjutnya kemudian.
Elizabeth berdiri dan menunduk dengan sopan. "Terimakasih, Pak. Saya permisi."
Altezza mengangguk singkat, dia kembali fokus pada kertas di hadapannya dan membiarkan Elizabeth keluar.
Di luar, Elizabeth mengelus dadanya, jantungnya masih deg-deg an. Padahal ini bukan pertemuan pertama mereka. Tapi, aura yang dipancarkan Altezza begitu kuat hingga mampu membuatnya ketar-ketir. Jiwa kepemimpinan Altezza memang se-mencolok itu, tegas dan berwibawa. Padahal dulu Arhan, mantannya juga seorang pemimpin, tapi, auranya berbeda dengan Altezza. Aura Altezza lebih dominan.
"Dia tampan, tapi aku takut. Semoga saja tidak galak," gumam Elizabeth seraya melangkah menuju ruangannya.
Dia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Matanya berbinar melihat isi ruangan itu. Tidak terlalu ramai alias kosong. Hanya ada rak buku, meja kerja dan sofa panjang serta meja. Elizabeth suka dengan ruangan yang seperti ini, rapi dan nyaman dilihat.
Dia mendudukkan diri di kursi kerja nya dengan senyum lebar. "Oke Eliza, semangat untuk bertempur! Demi uang!" Dia mendongak seraya memejamkan matanya, bibirnya pun masih tersenyum lebar.
Namun, sedetik kemudian dia menegakkan tubuhnya, senyumnya hilang, digantikan dengan wajah kaku.
"Tunggu, aku jadi sekertaris? Artinya, aku akan bertemu dia setiap hari dan melihat wajah datar yang seperti triplek itu? Ya Tuhan ..." Dia merengek. "Tidak papa, yang terpenting aku dapat uang!" lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dia harus fokus kerja, bodo amat tentang wajah datar Altezza.
****
Seperti apa yang diberitahukan oleh Altezza tadi, setelah makan siang, Elizabeth menemani Altezza bertemu klien. Klien kali ini datang dari luar kota. Elizabeth tidak melakukan apapun selain mencatat inti pertemuan siang ini. Sedangkan Altezza dan kliennya sibuk membahas apa yang mereka rencanakan. Untung saja Elizabeth sudah mahir dalam hal ini, jadi dia paham dan tidak bingung.
"Baik, terimakasih atas waktunya kali ini, Pak. Semoga rencana kita berjalan lancar."
Elizabeth ikut berdiri saat Altezza dan Tio berdiri dan bersalaman. Gadis itu tersenyum menyambut tangan Tio.
"Terimakasih kembali karena Anda menyempatkan waktu untuk datang kemari," balas Altezza dengan senyum tipisnya.
"Ah, bukan masalah besar, sudah semestinya saya datang ke sini. Kalau begitu, saya permisi, karena harus mengurus hal lain," pamit Tio.
Altezza dan Elizabeth mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya Tio pergi dari ruangan itu, meninggalkan Altezza dan Elizabeth di sana.
"Kita kembali ke kantor," ujar Altezza.
Elizabeth yang sedang meminum milkshake nya pun hampir tersedak. Dia mengangguk dan segera menyusul Altezza yang sudah lebih dulu keluar. Mereka bertemu klien di sebuah restoran mewah, tepatnya di ruang VIP. Tentu saja semuanya Altezza yang mengurus.
"Besok pagi ada rapat di kantor. Kamu pahami isi berkas ini dan persentasikan besok." Altezza memberikan sebuah map pada Elizabeth.
"Baik, Pak."
Dirasa sang sekertaris sudah siap, Altezza pun melajukan mobilnya pergi dari area restoran.
Sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka suara, Elizabeth juga memilih untuk diam melihat jalanan yang agak macet.
"Umm ... ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Bapak sekarang?" tanya Elizabeth memecah keheningan. Dia tidak kuat jika terus diam.
"Baik."
"Cuek sekali!" batin Elizabeth berteriak, namun bibirnya tetap tersenyum meski hatinya kesal.
"Apa Bapak masih merasa sakit di bagian tertentu? Misalnya, kepala, kaki—"
"Saya baik-baik saja, Elizabeth. Dan lupakan kejadian beberapa hari lalu," sela Altezza.
Elizabeth mengatupkan bibirnya. Dia tersenyum canggung lalu mengangguk paham. "Baik, Pak. Maaf kalau saya lancang. Saya hanya sedikit khawatir kalau Bapak tiba-tiba pingsan." Dia terkekeh canggung.
Altezza mendengus mendengarnya. "Kamu pikir saya selemah itu?" Dia melirik Elizabeth sekilas saat berhenti di lampu merah.
Elizabeth langsung melambaikan tangannya dengan panik. "T–tidak! B–bukan begitu, Pak! Saya hanya khawatir. Bagaimanapun juga, saya lah penyebab Bapak kecelakaan, hehehe ...."
"Saya sudah bilang, lupakan kejadian itu," ujar Altezza dengan datar, dia melajukan mobilnya lagi setelah lampu berubah jadi hijau.
"Iya, Pak. Maaf ...." Elizabeth memilin ujung kemejanya dengan gugup.
Setelah itu mereka tidak bicara lagi, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Canggung sebenarnya, tapi Elizabeth berusaha biasa saja.
****
"Aku pulang ...." Elizabeth melangkah lesu mendekati Geisha yang sedang bersantai sambil nonton TV.
"Kenapa wajahmu kusut seperti itu?" tanya Geisha bingung. Dia menggeser tubuhnya saat Elizabeth menghempaskan diri di sampingnya.
"Papa kenapa tidak memberitahu kalau lowongan kerja itu dari perusahaannya keluarga Pamungkas?" Elizabeth cemberut.
"Oh ya? Bukankah bagus? Kamu bisa memperbaiki hubungan dengan keluarga mereka nanti," ujar Geisha.
"Bagus apanya, Ma? Aku bingung tau! Dia itu seperti robot, wajahnya datar seolah tidak memiliki gairah hidup!" Elizabeth semakin cemberut.
"Lalu apa masalahnya? Kamu berharap dia tantrum seperti kamu?" Geisha memutar bola matanya malas. "Sudah, nikmati saja pekerjaanmu. Yang penting sekarang sudah tidak menganggur lagi, kan? Tapi ingat, jangan macam-macam lagi, Eliza. Mama tidak mau menanggung malu lagi! Cukup sekali saja kita berurusan dengan keluarga mereka."
"Iya-iya!" Elizabeth mengambil toples berisi kue kering yang berada di pangkuan mamanya.
Sebenarnya Elizabeth juga berharap tidak akan berurusan dengan Pamungkas lagi, mengingat wajah datar Altezza dia tiba-tiba merinding.
"Aku ke kamar dulu!"
Tanpa menunggu jawaban sang mama, Elizabeth langsung berlari menuju kamarnya untuk membersihkan diri.
Baiklah, kerja bagus untuk hari ini. Semoga besok tetap bagus dan tidak ceroboh.
Setelah selesai membersihkan diri, Elizabeth memilih rebahan sambil menghubungi kedua sahabatnya.
"Ada kabar buruk," ujar Elizabeth dengan bibir cemberut.
Tentu saja perkataannya itu mampu membuat Thea dan Senna melotot kaget.
"Apa?! Kabar buruk apa?! Kamu kecelakaan lagi, ya?!" Thea bertanya dengan heboh.
"Astaga, El, kamu baru saja keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, dan sekarang masuk rumah sakit lagi?" Itu suara Senna.
Elizabeth berdecak. "Bukan itu!" kesalnya.
"Lalu apa?"
Elizabeth menghela nafas kasar sebelum menjawab. "Aku bekerja di perusahaan Pamungkas, kalian sudah pasti tau siapa—"
"APA?!" Thea dan Senna berteriak bersamaan. Hal itu membuat Elizabeth mendesis kesal karena telinganya berdengung.
"Kabar buruk nya itu? Astaga, El! Itu kabar baik, bukan buruk!" seru Senna.
"Pamungkas, El, Pamungkas! Orang-orang yang bisa masuk ke perusahaan itu bukan orang sembarangan, lho! Kualitas kerja karyawan mereka bagus-bagus! Harusnya kamu senang!" ujar Thea pula.
Elizabeth memutar bola matanya malas. Kedua temannya ini memang selalu beda pendapat dengan dirinya. "Pokoknya ini adalah kabar buruk!"
Thea dan Senna berdecak. "Memangnya kamu di posisi apa?" tanya Senna.
"Sekertaris paman wajah datar it—"
"APA?!" Lagi-lagi keduanya memekik.
Makin sakit saja telinga Elizabeth.
"Jangan teriak!" geram gadis itu.
"SEKERTARIS?! KAMU BERCANDA?!"
"Senna!" kesal Elizabeth.
Senna menyengir di seberang sana. "Oke, maaf. Aku agak kaget."
"Kenapa bisa langsung jadi sekertaris, El? Kalau seperti itu aku juga mau! Rezeki nomplok!" ujar Thea. "Sebagus itu kamu anggap kabar buruk? Sakit kamu!" lanjutnya.
"Bener! Padahal itu posisi yang diimpikan orang-orang, lho! Harusnya kamu senang. Kerja di perusahaan Pamungkas terus dapat posisi sekertaris, gajinya juga besar, kalau aku jadi kamu, aku pasti akan mengadakan acara syukuran, El," sahut Senna.
Bagi Elizabeth, kedua temannya ini terlalu berlebihan. Andai saja mereka berada di posisinya, bertemu orang yang tidak ingin dia temui lagi, tapi takdir malah mempertemukan mereka kembali.
"Ah, sudahlah! Cerita dengan kalian itu tidak ada bedanya bercerita dengan mama!" Elizabeth cemberut. "Coba saja kalian jadi aku, setiap hari akan melihat wajah datar si Altezza Altezza itu, bicara pun seadanya, matanya setajam silet, aku sampai takut kalau berada di dekat dia," lanjutnya mengeluh.
"Apa yang harus kamu takuti? Dia tampan, mapan, kaya—"
Tut.
Elizabeth langsung mematikan sambungannya. Dia kesal sekali, mereka bertiga tidak memiliki pendapat yang sama sepertinya.
Dia menghela nafas kasar lalu melempar ponselnya ke sembarang arah. "Apa aku mengundurkan diri saja, ya?" gumamnya semakin tak masuk akal.
Sebenarnya semuanya baik-baik saja, tapi, hati Elizabeth yang gelisah. Entah apa penyebabnya. Semua yang dikatakan Thea dan Senna memang benar adanya, tapi Elizabeth sulit menerima fakta tersebut. Mungkin karena dia sudah pernah mencari gara-gara dengan Altezza, jadi Elizabeth merasa janggal saat kembali bertemu dengan pria itu.
"Tapi, nanti aku akan menganggur lagi jika aku mengundurkan diri. Huh! Mencari uang ternyata banyak ujiannya, ya?" Dia menghela nafas kasar dan merebahkan diri di kasur.
bersambung...